• Home
  • Fanfictions
    • Naruto
    • Sword Art Online
  • Short Stories
    • Teens
    • Romance
    • Comedy
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Ru'fatiani Blog

Tahun ini adalah tahun pertamaku masuk di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Aku merupakan mahasiswa rantau yang artinya aku tidak lahir dan tinggal di sini, jadi aku harus menyewa satu kamar kos sebagai tempat tinggal. Sebagai mahasiswa rantau, selain lingkungan kampus yang asing orang-orang yang aku temui pun berasal dari daerah yang berbeda-beda. Aku sempat khawatir apakah aku akan dapat teman di sini atau harus menjalani sendiri semua sampai aku lulus karena teman-teman dekatku yang dulu berada di satu SMA tidak masuk ke perguruan tinggi yang sama.

Hari ini, hari pertama aku melihat semua orang-orang yang berada sekelas denganku. Aku segera mencari bangku kosong untuk duduk, dan bangku yang kosong itu ternyata mengharuskan aku duduk dengan seorang pria.
“Kosong?” ujarku.
“Kosong kok, duduk saja” jawabnya. “Namamu siapa?” lanjut pria itu.
“Vara. Kamu?”
“Panggil saja Farrel.” Jawabnya tersenyum.

Kesan pertamaku pada Farrel adalah dia orang yang cool, pinter, dan lain-lain sejenis karakter utama cowok dalam drama korea yang sering aku tonton. Faktanya, dia orang termenyebalkan. Oke, pinternya aku akui.

Setiap masuk kelas kami tidak pernah akur, ada saja hal yang membuat kami bertengkar kecil, tapi ntah kenapa aku ‘senang’. Sehari dia tidak mencari masalah seperti ada yang kurang, lama-lama aku menikmati suasana kelas karena keberadaannya. Pertengkaran kami bahkan terkenal sampai keluar kelas, sampai-sampai ada yang bilang kalau kami akan jadi sepasang kekasih nantinya. Mendengar itu hati tersenyum, walaupun bibirku selalu menolak. Karena jujur saja dia orang pertama yang bias membuat aku nyaman berada di sini. Aku tidak tau dia memiliki perasaan yang sama atau tidak yang jelas aku tidak ingin suasana ini menghilang.

Satu bulan pun berlalu, ada acara dari himpunan yang lokasinya berada di luar kampus. Karena aku dan dia sudah terkenal sering ‘bertengkar’ teman-teman yang lain sengaja menyuruh aku untuk pergi ke lokasi bersamanya. Akhirnya aku dan dia pergi bersama dengan motornya, kami pergi seletah magrib karena acaranya memang malam sampai besok pagi. Sebenarnya kami tidak benar-benar hanya pergi berdua, kami pergi bersama dengan yang lainnya juga hanya saja aku di lokasikan(?) untuk sekendaraan dengan dia. Saat di jalan tiba-tiba motor yang dia kendaradi terjatuh, ntah mungkin karena jalan licin.
“Kamu ngga apa-apa?” ujarnya panik.
“Ngga apa-apa kok. Kamu gimana?”
“Beneran ngga apa-apa? Ada yang sakit ngga? Maaf” ujarnya terlihat sangat merasa bersalah.

Melihatnya panik malah membuatku ingin menangis, dan ternyata beberapa tetes air mata keluar dari mataku.
“Ih jangan nangis. Sakit?”

Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba mataku mengeluarka air mata, sakitnya tidak seberapa dan aku pun tidak merasa sedih justru aku merasa senang. Mungkin aku memang benar-benar sudah jatuh cinta dengan pria ini.

Selama di perjalanan terlihat dia masih merasa bersalah dan panik, yang akhirnya semua orang tau kalau kami jatuh di jalan. Gosip bahwa suatu saat kami aja jadian pun semakin menyebar.

Saat malam hari tiba, acara pun sudah selesai dan dilanjut esok hari. Aku dan dia tetap terjaga di halaman vila. Anehnya kali ini kami tidak berkelahi, tiba-tiba dia menjadi sosok pria yang sering aku lihat di drama-drama yang aku tonton. Seperti bumi pun ikut mendukung, bintang-bintang terlihat sangat indah dan aku mengetahui satu hal yaitu dia suka melihat bintang.

Esok hari pun tiba, acara kembali berlanjut sesuai rancangan acara dan berjalan lancer. Masing-masing dari setiap perserta dan panitia pulang satu per satu. Begitu pula kami, dia mengantarku hingga ke kosan.

Senin pun tiba, tanda aku harus kembali kuliah. Aku berangkat ke kampus seperti biasa, bertemu dengannya lagi seperti biasa. Daaaan seperti biasa kami bertengkar lagi, serasa malam kemarin cuma mimpi dan terus berlanjut seperti itu di hari-hari berikutnya. Meskipun kami sering berkelahi jujur saja dia yang selalu ada dan selalu menemani aku ketika aku bosan dan ingin pergi keluar.

Hari sabtu  15 November 2013, aku bosan dan mengajaknya keluar untuk main dia pun menyetujuinya dan langsung menjemputku di waktu yang kami janjikan. Pertama kami pergi ke sebuah mall di Cimahi, karena aku penasaran dan ingin mencoba pergi ke sana. Walaupun hanya bermodal penasaran dia menuruti perintahku dan akhirnya kami pergi ke mall tersebut.

Sesampai di mall, aku benar-benar hanya memuaskan rasa penasaranku tanpa membeli barang yang berada di sana. Bersyukur dia tidak kesal dan memarahiku. Karena sudah memasuki waktu makan siang, akhirnya kami makan di foodcourt mall itu. Semua seperti biasa, kami mengobrol bercanda dan tetap dia kadang sedikit membuatku kesal dengan candaannya dan aku pun membalikan membuatnya kesal. Sampai suatu saat tiba-tiba suasana menjadi hening.
“Aku suka kamu” ujarnya sembari menatap mataku dan cukup membuatku terkejut.
“Eh?! Kamu lagi bercanda?”
“Ngga, aku serius. Aku nyaman sama kamu. Kamu mau jadi pacar aku?”
Aku pun hanya terdiam, karena masih terkejut sampai bingung harus menjawab apa.
“Yaudah aku tunggu jawabannya sampai malam ini” ujarnya tersenyum.

Aku kira setelahnya akan menjadi canggung karena ungkapan dia yang begitu tiba-tiba, tapi dia tetap bisa membuatku nyaman berada di dekatnya.

Setelah makan, dia langsung mengantarkan aku pulang. Menurunkanku tepat di depan gerbang kosanku. Setelah aku membuka helm dan mengucapkan terimakasih, tiba-tiba tangannya mengangkat dan mengusap kepalaku pelan sembari berkata “Jangan terlalu dipikirin, aku bakal terima semua jawaban kamu” dengan tersenyum lalu melambaikan tangan dan pergi.

Malam pun tiba, aku benar-benar bingung harus jawab apa. Dia memang bisa membuatku nyaman dan sepertinya aku juga menyukainya, pilihanku memang berat ke ‘menerima’ karena jujur aku senang saat dia mengungkapkan perasaannya. Tapi aku tidak ingin langsung menjawabnya, nanti saja sampai tengah malam. Aku ingin membuat dia sedikit galau menunggu jawabanku hehe.

Pukul 23.59 pun tiba, aku sudah menuliskan jawbanku yang tinggal aku kirim. Sembari menutup mata aku menekan tombol Kirim. Dan dalam hitungan detik dari pesan itu di kirim, langsung ada balasan darinya.
“Ternyata dia belum tidur. Aku sukses buat dia galau berarti. Haha” ujarku dalam hati.

Akhirnya kami saling mengirim pesan hingga dini hari, sampai dia memaksaku untuk tidur karena sudah terlalu larut katanya. Pukul 3 dini hari, aku pun menurutinya dan segera bersiap untuk tidur. Namun tetap saja mata ini sulit terpejam, karena masih tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan.
“Jadi sekarang kita pacaran” ujarku dalam hati sembari tersenyum kecil. Sambil tetap memegang handphone akhirnya aku tertidur.

Esok hari pun tiba, aku dan Farrel berangkat bersama ke kampus. Karena memang selalu bersama tidak ada anak kelas yang curiga. Hanya saja tiba-tiba aku dan dia menjadi akur dan munculah pertanyaan-pertanyaan dari anak kelas hingga luar kelas. Tidak lama dari waktu kami jadian, gosip langsung menyebar. Aku tidak terlalu peduli sih, dan justru bagiku itu lumayan menguntungkan. Kalau banyak yang tahu berarti ngga akan ada cewek lain yang rebut dia, tanpa perlu koar-koar ‘He is mine’ haha.

Hari-hari pun berlalu, aku dan dia semakin dekat. Aku benar-benar bergantung padanya sampai kadang aku merasa takut kalau suatu saat dia pergi karena hamper tidak pernah aku melewatkan satu hariku tanpa bersamanya. Aku hanya bisa berharap semoga dia itu jodohku.

Satu hari kami pergi ke suatu tempat yang katanya kalau ada sepasang kekasih pergi ke tempat itu mereka akan putus. Karena aku dan dia sama-sama tidak percaya dengan hal seperti itu kami memberanikan untuk tetap pergi ke tempat itu. Selama di sana kami menghabiskan waktu bersama dan tidak ada hal yang terjadi. Sampai tiba waktunya pulang semua masih berjalan seperti biasa.
“Benarkan itu hanya mitos” ujarku.
“Yaps” balasnya sembari mengusap rambutku pelan.

Langit pun mulai gelap, sebelum pulang kami makan dulu di sebuah tempat makan di jalan yang kami lewati. Ntah kenapa aku benar-benar merasakan rasa takut kehilangan dia yang akhirnya memunculkan sifat manjaku di depannya. Dia tidak protes dan melayani sifat manjaku, dan justru itu malah semakin membuatku takut kalau suatu saat kami harus berpisah.
“Aku janji ngga akan ninggalin kamu.” ujarnya dengan lembut, seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Beberapa hari pun berlalu, tiba-tiba aku tidak menerima kabar darinya. Ini bukan hal yang biasa, kalau sibuk biasanya dia akan tetap memberi kabar. Datang ke kampus pun dia tidak ada, karena khawatir akhirnya aku memutuskan untuk datang ke kosannya. Sesampai di kosannya, ternyata dia sedang tertidur.
“Dia bergadang main game” ujar salah satu temannya. Aku ingin memarahinya tapi memilih untuk membiarkannya tidur dan menyuruh temannya untuk memberitahunya agar datang ke kosanku ketika dia sudah bangun.

Besok sore dia baru menghubungiku sembari meminta maaf dan mengajakku untuk keluar. Aku tidak kesal, karena aku percaya dia akan menepati janjinya hanya saja menghilangnya dia cukup membuat aku ragu.

Kami pun sampai di lokasi.
“Maaf Ra, kayaknya kita putus aja” ujarnya.
“Kamu kenapa? Lagi ada masalah? Ayo cerita, aku siap dengerin kok.” ujarku dengan air mata yang mulai menetes.
“Maaf banget Ra, aku tahu kamu kecewa tapi aku harap kamu bisa dapet yang lebih baik dari aku.”
Aku hanya terdiam sembari berusaha menahan air mata yang terus keluar.
“Maaf karena aku tidak bisa menepati janjiku. Kalau kita memang jodoh takdir pasti mempersatukan kita lagi.” ujarnya.

Suasana mulai berubah, menjadi hening dan akhirnya membuatku memaksa untuk minta pulang. Terlihat dia merasa bersalah, ntah apa yang ada dipikirannya, ntah masalah apa yang sedang dihadapinya sampai harus memutuskan hubunganku dengannya yang jelas hal itu benar-benar membuat luka yang cukup dalam. Diputuskan tiba-tiba tanpa tahu penyebabnya.

Esok harinya aku tidak pergi ke kampus bersamanya, dia pun tidak masuk kelas. Banyak yang menanyakan tentangnya kepadaku dan dengan singkat aku menggelangkan kepala. Sampai akhirnya mereka mengerti kalau hubungan kami sudah berakhir.

Beberapa hari berlalu, aku benar-benar merasa kehilangan sosoknya. Salahku memang yang terlalu bergantung padanya, tapi nasi susah menjadi bubur aku harus bisa melewatinnya walaupun tanpa Farrel.
“Sampai segitunya kah menjauh dariku?” ketusku karena Farrel benar-benar seolah menghilang. Dihubungi via handphone pun tidak direspon. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menemuinya lagi dengan menyusul ke kosannya.
Sesampai di kosannya, aku bertemu dia dan langsung menariknya keluar.
“Kamu tu kenapa? Kalau keberatan gara-gara di kelas ada aku, yaudah aku bisa kok pura-pura ngga kenal, pura-pura ngga liat kamu, pura-pura ngga pernah ada kenangan antara kamu dan aku.” Ujarku kesal.
“Bukan itu.”
“Terus kenapa?!”
“Sebentar aku bawa kunci motorku.”

Dengan motornya dia membawaku pergi, seolah dia tidak ingin ada orang lain yang mendengar. Namun sesampai di lokasi dia tidak benar-benar menceritakan masalahnya, dan tidak pula memberi alasan kenapa memutuskan hubungannya denganku. Kami hanya menghabiskan waktu bersama sebagai teman.

Esoknya dia datang ke kampus, karena aku mengancam akan meneror dia kalau dia tetap bolos. Harusnya aku memang sudah tidak peduli dengannya, tapi bagaimana pun dia orang yang pernah aku sayang atau mungkin sampai sekarang perasaanku padanya tetap sama.

Hari dan bulan terus berlalu. Seharusnya memang aku tidak keberatan dengan apa pun yang dia lakukan tapi semenjak putus ntah kenapa aku merasa dia semakin jauh. Seolah dia selalu menghindar dariku. Rasanya sakit, mungkin karena aku masih menyukainya. Rasanya dijauhi oleh orang yang kita suka itu ternyata seperti ini. Pertanyaannya kenapa harus menjauh? Toh kalau tetap biasa pun aku bakal tahu diri. Ketika aku melihatnya bercanda dengan wanita lain, aku cemburu. Bukan cemburu karena dia wanita, tapi aku cemburu karena sudah tidak sedekat itu dengannya. Ketika melihat itu, kadang aku ingin menangis. Mungkin aku memang benar-benar belum bisa merelakannya pergi. Jika menjadi sepasang kekasih itu hanya memberikan kebahagiaan yang sangat sesaat, aku menyesal tidak menolaknya saja waktu itu.

Tahun pun berlalu, aku mencoba mengembalikan suasana kedekatanku dengannya. Dan mencoba membuka hati untuk pria lain. Walapun butuh waktu yang cukup lama, akhirnya aku berhasil dekat dengannya lagi dan aku berhasil menyukai pria lain selain dia.

Suatu malam dia mengajakku keluar. Dia akhirnya memberitahu ku semua alasan kenapa dia mengajakku putus waktu itu. “Aku tidak ingin pacaran dulu” katanya, alasan lain karena orang tuanya yang tidak mengijinkan. Dalam hati aku berkata “Kenapa dulu kamu nembak?”, ingin kuucapkan itu namun tidak kuucapkan karena waktu dia mengucapkan itu aku benar-benar sudah mengikhlaskannya. Statusku pun sedang menjadi milik orang lain waktu  itu. Dan kejutan lain, dia mengaku kalau dia menyukai temanku. Sesuai keinginannya kalau dia ngga mau pacaran, mereka memang tidak jadian. Tapi jujur saja semenjak tahu itu aku jadi agak cemburu ketika mereka dekat. Yaa, normalah yaa dia pernah jadi orang yang bisa ngebuat aku susah move on. Tapi tetap hanya sebatas cemburu, tidak aku katakana karena seperti yang kubilang bahwa aku sudah mengikhlaskannya.

Hubunganku dengan Farrel pun kembali seperti semula, kembali seperti saat aku belum menjadi kekasihnya. Ntah harus senang, sedih atau kesal karena kedekatanku dengannya justru membuat rasa ini tumbuh lagi. Aku sadar aku sudah menjadi milik pria lain, tapi aku tidak bisa membohongi hatiku bahwa hatiku masih menginginkannya. Untuk menghindari perasaan itu, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan pacarku berharap aku benar-benar bisa mencintai dia tanpa ada sedikit pun rasa untuk Farrel.

Sampai di suatu waktu, tiba-tiba Farrel menghilang lagi. Yaps, absen beruntut dari kelas. Aku tahu dia bukan tipe yang akan menceritakan masalah pribadinya ke siapa pun, dan yang aku pikirkan mungkin dia hanya memendamnya.

BBRRTTT BBRRTTT (suara getar handphone)
Tiba-tiba saja Farrel mengirimku pesan dan mengajakku keluar, mungkin dia butuh tempat untuk cerita pikirku.

Sesampai di sebuah tempat makan, dia menceritakan masalahnya dan dia bilang kalau dia bingung harus cerita ke siapa lagi. Dia memang terlihat aktif dan punya banyak teman, tapi dia tetap memiliki sisi introvert. Aku mencoba memberikan saran dan solusi padanya. Dan mulai dari kejadian hari ini, hari-hari berikutnya aku semakin dekat dengan dia.

Aku benar-benar tidak bisa berbohong pada hatiku, perasaanku pada Farrel benar-benar tumbuh lagi. Dan perasaankupada Gian yang sekarang menjadi pacarku lama-lama semakin memudar. Aku tidak mau jadi antagonis untuk Gian, tapi rasa aku kepadanya benar-benar semakin memudar. Gian tau kalau Farrel adalah mantanku, Gian tau aku sempat sulit melupakan Farrel, dan jika aku pergi bersama Farrel aku selalu minta ijin ke Gian tapi dia selalu mengijinkanku.
“Ini salahmu juga loh Gian” ujarku dalam hati alasan melindungi diri.

Seolah Gian tau kalau rasaku padanya semakin memudar dan rasaku pada Farrel tumbuh kembali, Gian akhirnya memutuskanku. Harusnya aku sedih di sini, tapi kali ini aku senang karena diputuskan. Namun, aku tetap meminta maaf padanya. Aku yakin dia minta putus karena dia ‘tau’ bukan karena dia benar-benar ingin putus. Aku tau karakternya, dia pria yang baik jadi mungkin putus jadi cewek yang ngga setia kayak aku memang hal yang terbaik buat dia.

Setelah putus, hubunganku dan Farrel semakin dekat. Sesuai dengan ucapannya yang tidak ingin pacaran dia memang tidak menembakku lagi namun hubungan kami seperti sepasang kekasih. Orang lain menyebutnya HTS (hubungan tanpa status). Mungkin terkadang tanpa status itu lebih baik, karena aku belum pernah dengar istilah mantan HTS.

Tahun ini adalah tahun keempat, tahun dimana sebentar lagi aku akan meninggalkan kampus ini. Kampus dimana takdir mempertemukan aku dengan dia. Mungkin Farrel mendekatiku lagi karena semakin dekat waktu untuk ‘halal’, hehe. Dia membuat janji lagi akan menikahiku, dan seperti sebelumnya aku percaya padanya. Karena kali ini kurasa dia benar-benar serius, bahkan dia berani datang ke rumahku dan mengobrol dengan orang tua ku.

Aku benar-benar tidak menyangka akan kembali bersamanya lagi, mungkin ini takdir. Takdirku memang bersamanya, belum bisa dibilang seperti itu sih sampai dia benar-benar halal untukku. Yang jelas aku senang dia kembali, aku senang takdir membawa kembali padaku. Semoga kami tidak akan berpisah lagi, semoga takdir terus membawa kami bersama hingga hubungan kami halal. :)

Menunggu itu tidak sepenuhnya salah, memang faktanya aku sempat berpaling. Aku tidak sabaran untuk menunggu sembari berharap, karena aku takut memang sudah benar-benar tidak ada aku di hatinya. Aku penasaran apa dia sempat putus asa ketika aku berpacaran dengan yang lain? Harusnya aku bisa sepertinya, bertahan sembari menunggu. Tapi aku tidak pernah terfikir akan kembali padanya, jadi aku berusaha untuk move on.

Ketika kamu sudah ditakdirkan untuk seseorang, sejauh apa pun kamu berpaling kamu akan kembali padanya, sejauh apa pun dia berpaling dia akan kembali kepadamu. Jadi apa yang kalian pilih? Menunggu sembari berharap? Atau berpaling sembari menunggu? Haha. Tapi ingat ketika kalian berpaling hanya untuk melampiaskan alias sembari berharap seseorang kembali, ada hati orang lain yang kalian sakiti dan mungkin hati itu lebih tulus menyayangi kalian. Intinya percaya aja, kalau jodoh ngga akan kemana. Ngga perlu ada status sekarang yang penting jadi di pelaminan. Haha.
Dekati penciptanya dan kamu akan dapat ciptaan-Nya. :)
.
.
.
Tamat

Note:
Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan cerita, lokasi, nama, dan lain-lain mungkin itu sudah takdir. :v
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Di salah satu kelas, di salah satu SMA negeri di Jakarta.
“Minggu depan udah libur semester nih, main ke dufan yuk?” ajak Via.
“Males, panas” keluh Raka.
“Yaelah, mana ada sih di sini ngga panas” ujar Gian.
“Aku sih ayo aja” jawab Luna.
“Tuh Luna udah mau, Gian juga mau, ayo ih Ka?”
“Lah kapan gua bilang mau?” protes Gian.
“Mau ngga?” tanya Via sembari menatap tajam(?) mata Gian.
“Oke caw” jawab Gian. “Udah lu ikut aja Ka, lu tau sendiri kalo si Via udah kepengen gimana” lanjut Gian.
“Errrr, oke ayo”
“Yeay, sabtu depan yaa”.
Via, Luna, Raka dan Gian adalah empat serangkai yang selalu bersama. Mereka bersahabat dari SD, dan mereka selalu masuk di sekolah yang sama. Kali ini selain di sekolah yang sama mereka dipertemukan dalam satu kelas. Via merupakan siswi yang aktif berorganisasi,  dia ikut banyak kegiatan sekolah dan merupakan yang paling sibuk di antara mereka berempat. Sedangkan Gian merupakan siswa yang aktif dalam berolahraga, Gian sering ikut lomba yang mewakili sekolahnya. Raka dan Luna merupakan siswa dan siswi yang berprestasi, mereka sering ikut olimpiade untuk mewakili sekolah.
Hari sabtu pun tiba, mereka janjian di gerbang depan dufan. Seperti biasa, orang yang paling tepat waktu adalah Luna dan Raka.
“Mereka belum dateng?” tanya Raka pada Luna.
“Belum” jawab Luna sembari menggelengkan kepala.
“Kebiasaan.” ketus Raka.
Setelah sepuluh menit berlalu, Via datang dan segera lari menghampiri Raka dan Luna.
“Sorry, hehe” ujar Via pada Raka dan Luna.
Lima menit kemudian, Gian datang. Melihat hanya dia yang belum datang Gian langsung berlari menghampiri teman-temannya.
“Sorry, macet” ujar Gian terengah-engah.
“Klasik” ketus Raka.
“Gua ngga bilang ke lu, gua bilang bilang buat Luna sama Via yeee”
Luna dan Via tersenyum menahan tawa.
“Bodo, gua balik” ujar Raka.
“Yaelah ini anak satu pundungan amet. Candalah Ka, lu kayak yang baru kenal gua aja” ujar Gian sembari merangkul Raka.
Mereka berempat pun mulai mengantri untuk membeli tiket masuk.
“Vi, mau gua bantuin ngga biar lu bisa berdua sama Raka” bisik Gian pada Via.
“Apaan sih, bilang aja lu mau berdua sama Luna”
“Yaaa itu mah bonus” jawab Gian tertawa.
“Ngga usahlah, kita berempat aja tapi pas naik wahana lu tarik Luna. Wkwkwk”
“Tenanglah masalah Luna mah gua urus.”
“Iya seneng lu mah di kasih Luna”
“Eh baik gua mah, ngebantu lu deket sama Raka.”
“Buat alesan doang itu mah”
“Wkwkwk”
“Ngomongin apaan kalian” tanya Raka.
Serentak Via dan Gian menggelengkan kepala.
Mereka berempat pun masuk ke dufan dan menjajal semua wahana yang ada. Terkadang rencana Via dan Raka berhasil, yaitu memposisikan agar Via berdua sama Raka dan Gian berdua sama Luna atau agar Via bersampingan sama Raka dan Gian bersampingan sama Luna. Tapi kadang juga rencana itu gagal yang akhirnya malah Via berdua sama Gian dan Raka berdua sama Luna. Namun, mereka tetap meninkmati wahana dan kegiatan yang mereka lakukan bersama.
Malam pun tiba, waktunya dufan tutup. Mereka pun bersiap untuk pulang, karena memang sudah malam dan kebetulan Gian membawa mobil walaupun memang nekat karena belum punya sim tapi Gian selalu lolos dari razia polisi. Mereka berempat akhirnya pulang bersama dan di antar Gian. Posisi duduk pun sudah Gian rencanakan, Luna di depan yang artinya di samping Gian sedangkan Via dan Raka di belakang.
Selama di perjalanan, karena lelah Via dan Raka tertidur. Diantara mereka berempat memang Via dan Raka yang memiliki jam tidur lebih cepat dari Luna dan Gian. Karena tidak sadar, kepala Via menyender ke bahu Raka begitu pun kepala Raka yang menyender ke kepala Via.
“Mereka cocok ya?” ujar Gian.
“Iya” jawab Luna dengan anggukkan.
“Kalau lu suka sama siapa Lun?” tanya Gian.
“Ntah Gi, aku belum mikirin hal itu”
“Wajar kok Lun jatuh cinta tuh”
“Hhmm iya sih, tapi punya kalian aja udah cukup buat aku.”
“Unch, haha”
Rumah Via merupakan rumah yang paling dekat diantara mereka berempat. Setelah tiba di depan rumah Via, Luna pun memanggil nama Via agar Via terbangun.
“Vi? Bangun, udah nyampe.” ujar Luna
“Hm?” ujar Via masih belum membuka matanya. Namun panggilan itu malah membangunkan Raka. Raka yang memang ada di samping Via akhirnya ikut membangunkan Via dengan menggoyangkan tangan Via.
“Vi, bangun udah nyampe rumah kamu.” ujar Raka.
“Hm? Bentar ngantuk.” ujar Via dengan nada manja karena memang dibanding Luna Via lebih manja.
“Enak ya Vi tidur di mobil gua?” ujar Gian.
Via sadar kalau kepalanya bersender ke bahu Raka, dan akhirnya segera bangun.
“Cepet masuk, langsung tidur.” ujar Raka.
“Tuh nurut Vi, rumah paling deket aja telat.”
“Ih apaan sih kayak lu ngga telat aja.”
“Eh gua wajar, jauh” ujar Gian dengan sombong.
Via hanya mengulurkan lidah, lalu keluar mobil Gian.
“Makasiih yaaa. Hati-hati kalian.”
Luna, Raka dan Gian pun pamit dan melanjutkan mengantar Luna. Setelah Luna turun, Raka pindah ke depan.
“Ngapain lu Ka?” tanya Gian.
“Lu mau gua dibelakang? Ogah, jad kayak supir gua nanti lu.”
“Lah yang mau nganterin lu siapa?”
“Oke gua turun.”
“Hhahaha, lu mah ngomong doang tapi ngebuka pintu aja kagak” ejek Gian melanjutkan perjalanan.
“Ya kan gua udah tau lu”
“Okelah alasan diterima, haha”
Gian pun mengantar Raka sampai rumah, lalu terakhir Gian pulang ke rumahnya.
Keesokkan hari pun tiba. Semuanya berjalan seperti biasa, walaupun libur semester sibuk dengan organisasinya, Gian dengan olahraganya, Raka dan Luna merupakan yang paling sering punya waktu luang karena hanya sibuk ketika ada olimpiade. Karena Luna ingin membeli buku dan Via tidak bisa menemani Luna jadi Luna meminta Raka untuk menemani dia dan Raka menyetujuinya.
Raka menjemput Luna ke rumahnya, lalu mereka langsung menuju toko buku.
Sesampai di toko buku.
“Mau beli buku apa emang Lun?”
“Pengen beli novel aja sih, daftar bacaan aku habis.”
“Lu suka genre apa?”
“Fantasi sih, dan lebih suka novel terjemahan”
“Gua juga ngoleksi itu tuh, kok gua baru tau lu suka ngoleksi juga.”
“Aku biasanya minta temenin ke Via sih, tapi Vianya lagi sibuk sekarang. Dan emang aku ngga pernah bawa novel ke sekolah, yaa itu khusus bacaan kalau ada waktau luang di rumah aja”
Raka dan Luna pun mengobrol tentang judul-judul buku yang sudah mereka baca, saling memberikan komentar terhadap buku yang mereka baca dan diiringi tawa.
“Udah waktunya makan siang nih, mau nyari makan di luar dulu ngga?” tanya Raka.
“Boleh.”
Luna pun langsung pergi ke kasir untuk membayar buku-buku yang ia pilih. Setelah selesai membayar, mereka berdua pergi ke tempat makan yang tidak jauh dari situ.
“Lun?”
“Ya?”
“Menurut lu, Gian gimana?”
“Gian? Kenapa tiba-tiba nanya tentang Gian?”
“Yaa nanya aja.”
“Hhmm, dia baik, cepet akrab sama orang juga, suka nolong kalau aku butuh bantuan.. Hhmm apa lagi ya?”
“Masuk tipe lu ngga?”
“Hah? Maksudnya?”
“Yaaa Gian tu tipe lu ngga?”
“Hhhmm, ntah sih Ka lagi ngga pengen mikirin gituan”
“Ngga ada cowo yang lagi lu suka?”
“Kenapa sih pada nanyain itu? Kemarin Gian juga nanya itu?”
“Oh dia udah nanya, terus lu jawab apa?”
“Yaa aku bilang lagi ngga pengen mikirin itu”
“Sebenernya aku suka sama kamu Ka, tapi aku tau kalau Via suka sama kamu” lanjut Luna dalam hati.
“Sebenernya gua suka sama lu Lun, tapi gua tau kalau Gian juga suka sama lu” ujar Raka dalam hati.
Pelayan yang mengantar makanan pun tiba. Mereka pun mulai makan makanan yang mereka pesan. Karena lokasi mereka duduk merupakan lokasi yang dekat dengan jendela otomatis mereka akan terlihat dari luar, dan Via tidak sengaja melihat Raka dan Luna. Via pun berjalan menuju tempat makan itu berniat menghampiri mereka, namun Via melihat kedua temannya itu memancarkan wajah bahagia yang biasanya tidak dipancarkan oleh mereka berdua. Melihat hal tersebut, Via menghentikan langkahnya dan meneruskan jalan kembali ke rumah.
“Apa merekaa…….. Ngga ngga Vi, mereka wajar deket kayak gitu mereka sering ada kegiatan sekolah bareng.” ujar Via dalam hati dan terus berjalan.
Waktu libur pun berlalu, mereka berempat akhirnya harus masuk sekolah kembali. Saat mulai masuk, Via melihat kalau Luna dan Raka memang semakin dekat. Walaupun Luna memang masih sering membantu Via untuk dekat dengan Raka, tapi Via merasa kalau Luna dan Raka memang lebih dekat dari sebelumnya. Ada obrolan yang hanya mereka berdua yang mengerti sedangkan Via dan Gian tidak mengerti, sehingga hanya Luna dan Raka yang tertawa. Awalnya Via merasa biasa saja, tapi lama-lama ketika hal itu terjadi Via memilih untuk mencari alasan agar meninggalkan mereka. Gian yang menyadari Via bertingkah aneh akhirnya menyusul Via.
“Lo kenapa?”
“Ngga apa-apa.”
“Cemburu?”
Via hanya terdiam.
“Gue juga sadar kok kalau mereka semakin deket.
“Kayaknya Luna suka sama Raka deh Gi, dan kayaknya Raka juga suka sama Luna”
“Ngga mungkin, bisa aja mereka deket gara-gara yaaa emang mereka suka bareng-bareng.”
“Ngga Gi, pas libur kemarin gue ngeliat mereka makan bareng. Dan lo mau tau ekspresi mereka gimana? Dua-duanya mancarin aura bahagia Gi”
Karena Via dan Gian pergi cukup lama, dan Luna menyadari kalau mungkin Via pergi karena cemburu akhirnya Luna menyusul Via dan disusul oleh Raka.
“Kalian ngapain di sini? Vi, bukannya lu bilang mau ke toilet?” tanya Raka yang tiba-tiba datang.
“Gi, urus ya gue mau ke toilet.” bisik Via lalu pergi tanpa melihat ke arah Raka maupun Luna.
Gian melihat air mata menetes dari mata Via.
“Via kenapa?” tanya Raka.
“Tadi gua cegat dulu dia, salah gua sih jadi dia langsung buru-buru sekarang.”
Melihat Luna yang terlihat merasa bersalah, Gian menggelengkan kepalanya mengartikan kalau itu bukan salah Luna.
“Ka, lu dipanggil guru” ujar salah satu siswa yang sekelas dengan mereka.
“Arrgh, gua tinggal dulu ya” Raka pun pergi ke ruang guru.
“Via kenapa Gi?”
“Ngga apa-apa Lun, biasa.”
Tidak lama kemudian, Via kembali lagi ke tempat Gian dan Luna.
“Hai Lun, kenapa jadi ke sini? Raka mana?”
“Dia dipanggil guru tadi, kamu lama soalnya Vi terus tiba-tiba Gian juga pergi. Kamu kenapa?”
“Hehe, ngga apa-apa Lun itu ngga tau si Gian aja maen cegat jadi ngga bisa langsung ke toilet. Yuk balik lagi ke kelas.”
“Maaf Vi”
“Lah kenapa minta maaf?”
Keesokkan hari pun tiba, menyadari kalau kemungkinan Via cemburu akhirnya Luna mengambil jarak dari Raka. Tidak ada lagi percakapan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Semuanya kembali normal, namun justru terkesan Luna menghindari Raka. Raka yang mengadari kalau Luna mulai menghindar tidak terlalu memperdulikan hal itu, karena dekat pun Raka tetap tidak akan mengutarakan apa yang ia rasakan untuk menjaga perasaan Gian.
Beberapa hari berlalu, Via akhirnya menyadari kalau Luna dan Raka malah jadi canggung. Akhirnya Via mengajak Gian keluar setelah pulang sekolah.
“Gi, ngerasa ada yang aneh ngga sih Luna sama Raka?”
“Ngga, bagus-bagus aja sih menurut gua mah”
“Yeeeeh”
“Hehe, iya iya mereka beda sama waktu pertama masuk. Setelah kejadian lu tiba-tiba pergi.”
“Kok gue jadi ngerasa bersalah.”
“Lah lu gimana sih, mereka deket salah mereka jauh salah.”
“Yaaa ngga jauh kayak gitu juga.”
“Kita tu jahat loh Gi” lanjut Via.
“Lah kenapa bawa-bawa gua?”
“Gue ngga mau Raka deket Luna gara-gara gue suka sama Raka, dan lu ngga mau Luna deket sama Raka gara-gara lu suka sama Luna. Jahat ngga? Kita mentingin ego kita disbanding perasaan mereka. Dan gue punya feeling kalau Luna ngejauh gara-gara ngga enak sama gue.”
“Pernyataan terakhir setuju sih, karena waktu itu Luna sempet sadar kalo dia udah ngebuat lu cemburu.”
(Via menghela nafas)
“Gi?”
“Ya?”
“Gimana kalau kita pura-pura jadian aja?”
“Hah? Buat apa?”
“Biar mereka bisa deket lagi”
“Kalau Luna tau gue udah ngga ngejar Raka, dan Raka tau kalau lu udah ngga ngejar Luna mungkin mereka bakal lebih terus terang.”
“Lo yakin bisa ngerelain Raka?”
“Ya buat sahabat gue sendiri, kenapa ngga?”
“Yakin?”
“Yakin Gi, karena gue sadar ada hal-hal yang emang ngga bisa dipaksakan”
“Nah lu sendiri gimana? Ikhlas Luna sama Raka?” lanjut Via.
“Yaa kayak kata lu, buat sahabat sendiri kenapa ngga?”
“Fix nih ya, kita pura-pura jadian depan mereka aja.”
“Iyaa”
Keesokkan harinya, Via dan Gian datang bersama ke sekolah.
“Lah tumben” ujar Raka.
“Gua jadian sama Via” ujar Gian sembari mengangkat tangan yang memegang tangan Via, ditambah dengan senyuman Via.
“Bukannya..” ujar Luna dan Raka serempak.
“Yang gua ceritain ke lu itu bohong.” ujar Gian pada Raka.
“Yang gue ceritain ke lu juga bohong Lun” ujar Via ke Luna.
“Serius Vi?” tanya Luna masih heran, walaupun memang kedekatan Via dan Gian lebih terlihat dari awal mereka sahabatan.
“Serius, hehe” ujar Via tersenyum.
Raka pun berdiri dari kursinya dan melepaskan tangan Gian yang memegang tangan Via.
“Maaf Vi, gua udah tau dari Luna. Jangan salahin Luna kenapa dia cerita, karena dia cerita gara-gara gua yang maksa. Gua ngeliat lo nangis waktu itu, dan setelah itu Luna menjauh dari gua akhirnya gua tanya sebenernya ada apa dan akhirnya dia cerita. Lo suka sama gua Vi? Dan Luna juga udah tau Gi kalau lo suka sama Luna. Gua tau ini pasti Via yang punya rencana biar kalian pura-pura pacaran, gua udah kenal lo lama Vi, gua tau mana senyum lo yang emang senyum dan mana yang pura-pura.” ujar Raka.
Via mulai meneteskan air mata dan menunduk. Raka mengangkat dagu Via lalu berkata “Maafin gua yang ngga peka sama perasaan lo, tapi gua yakin lo ngelakuin ini gara-gara lo tau kalau gua suka sama Luna. Maafin gua Vi, gua belum bisa bales perasaan lo. Tapi gua ngga akan jadian sama Luna, jujur gua ngga mau ngeliat lo nangis lagi Vi. Via yang gua kenal ngga pernah nangis di depan kita apalagi di depan orang.” lanjut Raka.
“Maafin gue, maafin keegoisan gue.” ujar Via.
“Ini keputusan gua sama Luna kok Vi bukan gara-gara lo.” ujar Raka.
“Iya Vi, aku juga ngaku kalau aku punya rasa sama Raka tapi rasa aku ke Raka ngga sebesar rasa aku ke kalian. Jadi aku dan Raka milih buat lebih mentingin persahabatan kita.” ujar Luna sembari memeluk Via.
“Maafin gue Lun.” ujar Via.
“Jadi ngga usah pura-pura jadian ya, hapus juga air mata lo. Awas aja kalau keliatan nangis lagi.” ujar Raka sembari meletakkan tangannya di kepala Via dan menatap mata Via. Via hanya menganggukkan kepala lalu mengusap air matanya.
“Mmmm, teman-teman by the way kita ada di kelas nih dan sepertinya jadi tontonan.” ujar Gian sembari melihat sekeliling diikuti Via, Luna dan Raka. Ada yang ikut terharu, ada yang bingung, ada yang tidak peduli, dan ada yang ngabadikan gambar (?).
“Oke, ceritanya bersambung. Silahkan kembali ke pekerjaan kalian masing-masing.” ujar Gian agak berteriak. Karena sadar menjadi pusat perhatian, Gian, Via, Luna dan Raka kembali ke bangku mereka masing-masing dengan perasaan malu.
“Lu ngga ngingetin dari awal kita lagi di kelas” bisik Raka.
“Helloo tokoh utama yang diperebutkan, matanya dipake makanya” ketus Gian.
“Sirik aja lu”
“Iyalah, gua kapan diperebutin? Padahal biasanya cewe lebih suka sama cowo yang suka olahraga, tapi kenapa malah lo?” ujar Gian dengan memasang ekspresi miris(?).
“Sabar ya” ujar Raka menepuk pundak Gian.
“Kok gua benci ya kalau lu udah songong”
Raka hanya menaikan bahunya.
“Tch” ketus Gian.
.
.
.
TAMAT
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


BRUKK!
   Terdengar suara motor yang terjatuh ke aspal. Ternyata ada sebuah kecelakaan motor yang menabrak seorang pejalan kaki. Korban terluka cukup parah dibagian kaki, karena tabrakan terjadi cukup keras, sedangkan pengendara terluka dibagian tangan dan kaki namun tidak terlalu parah. Para pejalan kaki dan pedagan yang ada dipinggir lokasi kejadian dengan segera membopong korban dan pengendara ke pinggir jalan, dan seorang membawa motor yang tergeletak ke pinggir jalan.
“Ah!” gerutu pengemudi pelan.
“Kau tidak apa-apa?” ujar pengemudi yang ternyata seorang remaja SMA kepada korban. Sebelum korban menjawab pertanyaan dari pengemudi, dia melihat darah yang cukup banyak di kaki korban. “Ah, aku benar-benar minta maaf. Aku akan membawamu ke rumah sakit.” lanjut gadis itu.
“E..erin?” ujar korban sambal menahan rasa sakit.
“Kau tau namaku?” ujar Erin bingung. Erin melihat seragam yang dipakai korban, ternyata merupakan seragam yang sama yang berarti mereka satu sekolah.
“Tentu saja, kita satu kelas.” jawab sang korban.
   Erin masih kebingungan dan tidak mengenali siapa korban yang iya tabrak. “Pokoknya ayo kita ke rumah sakit dulu, aku tidak mau bertanggung jawab lebih berat hanya karena aku telat bertindak.”
Erin dan sang korban pun menuju rumah sakit, dan korban langsung diberi perawatan. Kaki kanan korban ternyata memang terluka cukup parah, ada bagian yang retak sehingga perlu di gips dan korban terpaksa berjalan menggunakan tongkat untuk sementara.
“Kau masih tidak mengingatku?”
Erin tidak menjawab dan hanya memberikan ekspresi bingung.
“Aku ketua kelas dan kau tidak mengenalku?”
“Oh, Zean?” tanya Erin.
“Kau hanya tau namaku?”
“Maaf, aku tidak mengingat muka semua orang di kelas bahkan nama mereka. Namamu pun aku tau karena tugas harus selalu dikumpul melalui ketua kelas.”
“Kenapa kau tidak pernah berbaur dengan teman yang lain?”
“Bukan urusanmu”
“Baiklah, karena kau yang menabrakku kau harus membantu pekerjaanku sebagai ketua kelas hingga kakiku benar-benar pulih”
“Hah?!”
 “Atau aku akan melaporkanmu ke guru BK kalau kau ngebut di jalan?” Zean tertawa kecil.
“Cih, iya iya”
   Keesokan harinya, akhirnya Erin menyadari kalau ternyata Zean teman sekelasnya dan duduk tepat di depan bangkunya. Sesuai perjanjian yang mereka buat di rumah sakit, Erin benar-benar membantu tugas Zean sebagai ketua kelas.
Satu minggu pun berlalu. Erin masih melakukan pekerjaannya untuk membantu Zean karena memang kakinya belum pulih. Walaupun setiap melakukan pekerjaan itu mereka berdua hanya saling diam, namun terkadang Zean mengerjai Erin yang diakhiri dengan senyum kecil di wajah Erin.
“Kenapa kau tidak mencoba berteman?” tanya Zean.
“Percuma, cepat atau lambat mereka akan menghilang” jawab Erin lalu pergi.
“Tunggu!” Zean berusaha mengejar Erin. “Maksudmu?”
“Mempunyai teman hanya akan membuatmu bergantung pada mereka.”
“Kan justru itu gunanya teman, sebagai orang yang selalu ada.”
“Lalu, apa yang kamu lakukan ketika mereka menghilang?”
“Menghilang?”
“Yap, menghilang. Ketika kau sudah benar-benar bergantung padanya lalu tiba-tiba dia menghilang.”
Zean hanya terdiam sejenak. “Aku tidak akan menghilang.” tegas Zean.
   Erin tidak merespon dan pergi dengan berjalan lebih cepat agar tidak dapat dikejar oleh Zean.
Hari demi hari pun berlalu, hingga akhirnya Zean sembuh dan bisa berjalan normal kembali. Karena Zean sudah sembuh, kewajiban Erin pun sudah terlunasi. Erin menjalani sekolahnya seperti biasa dan sudah tidak bersama Zean lagi. Namun ketika waktu istirahat, Zean menghampiri Erin yang selalu pergi ke taman belakang sekolah pada waktu istirahat.
“Hai, jadi aku bisa menjadi temanmu?” ujar Zean sembari melangkah untuk duduk di samping Erin.
“Urus saja hidupmu sendiri!” ketus Erin.
“Aku janji aku ngga akan menghilang, aku ngga akan seperti orang yang ada di masa lalumu.”
   Erin terdiam, tiba-tiba bayangan tentang masa lalunya datang membuat Erin melamun sesaat dan mengeluarkan sedikit air mata. Ketika sadar, Erin pun menarik nafas dan mengusap matanya. “Aku ke kelas.” ujarnya sembari berjalan cepar menuju kelas.
Zean POV: “Dia menangis.”
   Zean pun menyusul ke kelas, namun tidak mengejar Erin karena Zean berpikir kalau Erin butuh waktu. Sesampai di kelas, Zean masih membayangkan ekspresi Erin ketika air matanya keluar. Seolah Erin dapat membaca apa yang dipikirnya Zean, Erin berkata “Lupakan apa yang kau lihat tadi.” ketika Zean menatapnya. Zean hanya mengangguk pelan.
    Sepulang sekolah, Zean mendekati Erin lagi dan berkata “ Ayo berteman, aku janji aku ngga akan mengecewakan kamu”.
“Kenapa kamu pengen banget?”
“Aku pernah ada di posisi kamu, aku pernah ngerasain hal yang sama, jadi aku ngga mungkin ngelakuin apa yang mungkin dia lakuin.”
“Terserahlah”
“Yes!” Zean tersenyum kemenangan(?).
    Keesokkan harinya, karena Zean sudah merasa sebagai teman Erin, dia mulai berada disekeliling Erin. Ada Erin pasti ada Zean, begitu pula sebaliknya. Zean pula mengajak Erin untuk kumpul bersama teman-temannya, namun tidak memaksa Erin untuk menganggap mereka sebagai temannya juga.
“Sekarang sering bareng Erin ya?” canda temannya.
“Lah kan temen kita juga.”
“Temen apa demen? Hahaha” ejek temannya.
“Temenlah, buat saat ini.” jawab Zean sembari melihat kea rah Erin yang berada di bangkunya.
“Cieee ada yang kasmaran.”
“Loh, siapa yang tau masa depan kan? Lagian Erin cantik, baik, pinter cowo mana yang ngga suka sama dia kalau bukan gara-gara dia yang menutup diri.”
    Semakin lama Zean semakin dekat dengan Erin, mulai dari Zean yang sering bercerita hingga akhirnya Erin yang mulai bercerita. Ada waktu yang membuat Zean sangat merasa benar-benar dianggap sebagai teman, yaitu untuk pertama kalinya setelah satu bulan deklarasi(?) pertemanan mereka akhirnya Erin meminta tolong padanya. Walaupun bisa dibilang itu memang sudah tugas ketua kelas untuk memberi kabar ke guru kalau ada siswa yang absen. Tapi, biasanya Erin tidak memberitahunya biasanya ia akan memberitahu alasannya ketika ia masuk atau bahkan hanya akan menitip surat susulan tanpa memberitahu alsannya. Namun, hari ini ia memberitahu Zean melalui pesan singkat di malam sebelum ia akan absen.

Hai, Zean. Aku besok izin ngga masuk, ada acara keluarga. Nanti suratnya menyusul. Makasih :)

Begitu pesan singkat dari Erin, yang ntah kenapa sepertinya kemunculan emot senyum juga mempengaruhi tingkat kebahagiaan Zean.
    Hari terus berlalu, Zean dan Erin semakin dekat semakin terlihat sebagai seorang ‘teman’. Sifat Erin yang sebenarnya pun mulai keluar. Ternyata Erin punya sifat manja yang membuat Zean mengerti kenapa Erin bilang ‘bergantung’ waktu itu. Namun Zean tidak terlalu keberatan dengan sifat Erin, karena Erin pun tidak keberatan dengan sifat buruk Zean yang moody-an. Mereka mulai sering main keluar bersama, ntah hanya untuk makan atau sekedar jalan-jalan. Kadang juga ada teman-teman Zean yang ikut bersama mereka.
RINGGG! RINGGGG! RINGGGG!
Handphone Zean bordering, dan ternyata telpon dari Erin.
“Hallo? Zean?”
“Hhmm? Erin?” suara Zean yang masih malas karena terbangun oleh suara telpon.
“Maukah kau menemaniku ke toko buku hari ini?”
“Hah? Sekarang? Aaah, aku lelah kemarin main futsal. Bisakan ajak temanmu yang lain?”
“Temanku? Yang lain? Hhmmm, baiklah. Maaf mengganggu.”
Beberapa menit hingga Zean sadar. “Tunggu, aku ngomong apa barusan? Ah sh*it.”. Akhirnya Zean mengirim pesan singkat pada Erin.
Zean    : Jam berapa?
Erin tersenyum ketika membaca pesan dari Zean. Lalu membalas:
Erin    : Jam 10?
Zean    : Oke, nanti aku jemput.
Erin    : Ngga usah maksain ya~
Zean    : Ngga kok, pengen keluar juga. Maaf tadi baru bangun tidur, hehe

Erin POV: “Kadang aku takut, kalau aku membebani temanku. Aku tidak benar-benar tau kapan mereka benar-benar ingin dan kapan mereka terpaksa untuk ingin. Aku harap kamu tidak menyesal dan menepati janjimu Zean”
   Puku 9.30 pun tiba, Zean berangkat dari rumahnya untuk menuju rumah Erin. Seperti biasa, Erin sudah menunggunya di luar rumah.
“Kenapa kau tidak pernah membiarkanku masuk ke rumahmu terlebih dulu?”
“Harus?”
“Haruslah, aku harus minta ijin sama orang tua kamu buat bawa kamu keluar.”
“Alay”
“Hah?!”
Erin tertawa kecil, “Aku udah minta ijin, mereka tau aku pergi sama kamu dan mereka ngijini, beres.”
“Tetep aja beda kalau aku yang minta ijin langsung, mereka lebih tau bisa percaya atau ngganya”
“Udah cepet ayo, cape abis futsal kan? Pengen cepet pulang kan? Yaudah cepet berangkat”
“Iya iya”
Mereka berdua pun pergi ke toko buku. Erin mulai mencari buku-buku yang ia perlukan, karena Zean memang hanya berniat menemani jadi dia hanya mengikuti Erin.
“Zean?”
“Ya?”
“Aku ngga mau pulang.” ujar Erin dengan mata yang mulai berlinang air.
“Hah? Kenapa?” Zean melangkah ke depan dan melihat wajah Erin.
Zean POV: “Dia menangis lagi”
“Baiklah, kalau kamu emang ngga mau pulang. Kita main” lanjut Zean sembari tersenyum.
“Aku egois ya?” ujar Erin. “Mungkin itu alesan lain kenapa dulu temen-temen aku ninggalin aku. Aku tau kamu cape, aku tau kemarin kamu main futsal semalaman tapi aku tetep ngajak kamu buat nemenin aku. Ini yang aku takutin ketika aku mulai bergantung sama seseorang.”
“Ssssttt. Aku ngga apa-apa Erin, aku ngga apa-apa. Aku seneng bisa jadi orang yang selalu ada buat kamu.” jawab Zean tersenyum sembari memegang kedua bahu Erin.
DEGG!
“Jangan mikir kayak gitu, udah sifat manusia kok kalau egois. Yaa aku juga seringkan minta tolong ke kamu tanpa mikirin kamunya terpaksa atau ngga.” lanjut Zean.
“Aku ngga kebaratan kok”
“Nah, aku juga sama. Aku ngga keberatan buat bantu kamu Erin” sekali lagi Zean tersenyum.
DEGG!
“Kalau kamu ngga mau pulang, ayo kita ke tempat makan. Udah waktunya makan siang juga, dan aku lapar. Haha”
Erin tersenyum lalu mengangguk.
   Akhirnya mereka pun pergi ke tempat makan, di situ Erin mulai cerita tentang keluarganya bahwa keluarganya bukan keluarga yan harmonis. Mulai memberitahu alasan kenapa dia ngebut waktu itu, yaitu karena dia muak dengan kondisi keluarganya. Karena waktu itu Erin dia punya teman, tidak ada tempat cerita untuk meluapkan apa yang dia rasakan jadi dia melampiaskannya dengan ngebut di jalan. Waktu itu Erin tau resiko terburuknya tapi dia tetap melakukannya. Sekarang semenjak ada Zean, Erin mulai mengganti cara melampiaskan kekesalannya yaitu dengan pergi keluar dengan Zean atau bersama teman-temannya Zean juga. Selain gara-gara itu, Erin berhenti juga gara-gara Zean melarang dan bahkan Zean melarang Erin untuk sering berkendara. Zean menawarkan akan mengantar Erin kemana pun, jika Erin ingin keluar. Dari situ, Erin jadi selalu minta Zean untuk mengantarnya.
“Zean?”
“Ya?”
“Aku ngga mau ngerasa kehilangan lagi, kamu bakal nepatin janji kamu kan?”
“Iya, aku janji. Kamu boleh bergantung sama aku, aku janji selama aku bisa aku bakal selau ada buat kamu.”
DEGGG!
    Setelah cerita panjang, akhirnya Erin mau untuk diajak pulang. Zean pun mengantar Erin hingga rumahnya. Akhirnya Zean tau alasan kenapa Erin tidak pernah mengajaknya masuk. Setelah mengantar Erin hingga rumahnya, Zean langsung pulang menuju rumahnya.
“Ma, tadi jantung Erin berdetak kencang lagi.”
“Ketika kamu sedang bersama orang yang namanya Zean?”
“Mmm, iya.”
Ibu Erin tertawa kecil. “Kamu suka sama Zean?”
“Eh?! Ngga mungkinlah, Zean sama Erin cuma temenan”
“Semua juga berlawal dari Cuma temenan” goda ibu Erin.
“Ah tau ah, Erin ke kamar dulu.” Ujar Erin dengan wajah memerah.
Di kamar Erin.
“Aku? Suka sama Zean?”
    Keesokkan harinya, Erin sekolah seperti biasa dan dijemput Zean seperti biasa. Hanya saja karena ucapan ibu Erin semalam, Erin jadi sering memikirkan hal itu. Sesekali mempertanyakan sembari melihat ke arah Zean, dan ketika Zean balik melihatnya Erin langsung memalingkan wajahnya.
    Tampaknya sikap aneh Erin disadari oleh Zean, sehingga membuatnya bertanya “Kamu kenapa?”.
“Hah? Ngga-ngga apa-apa”.
DEGG! DEGG! DEGG!
 “Tunggu, kenapa jadi makin sering?” ujar Erin dalam hati.
“Hey, aku bukan orang yang baru kenal kamu. Aku tau kalau ada perubahan disifat kamu.”
“Aaaaa, udah stop. Aku ngga apa-apa, udah jangan liat aku.”
“Oke oke” Zean pun mengalah dan memalingkan wajahnya.
“Masa sih aku suka Zean?” tanya Erin dalam hati.
“Dia baik sih, nerima sifat aku, selalu ada juga. Ah mungkin ini cuma perasaan sesaat.” lanjut Erin.
    Ketika waktu istirahat tiba, seperti biasa Erin dan Zean istirahat bersama. Kali ini teman-teman Zean tidak ikut karena mereka ada kegiatan lain.
“Zean?”
“Ya?”
“Gimana rasanya suka sama seseorang?”
“Hah? Tunggu, jangan-jangan…..” goda Zean.
“Apa sih, aku cuma nanya.”
“Suka sama seseorang ya? Lawan jenis?”
“Iyalah!”
“Hahaha. Mmm.. Mungkin ketika kamu senang bersamanya, kamu senang melihat dia tertawa, pokoknya semua hal tentang dia membuat kamu senang.”
“Apa kadang jantung berdegup lebih kencang?”
“Yap, ketika kamu sedang bersamanya mungkin itu akan terjadi.”
“Hhmm, jadi aku bener-bener suka Zean?” tanya Erin dalam hati.
“Aku mau bertanya lagi…”
“Tungguu, aku dulu ingin bertanya. Jadi siapa pria beruntung yang bisa ngebuat seorang Erin suka? Haha” goda Zean.
“Kepo.”
“Kamu pernah suka sama seseorang?” lanjut Erin.
“Pernahlah, aku normal. Bahkan, aku benar-benar sangat menyukainya. Mungkin aku punya rasa takut kehilangan yang sama dalam hal ini.” ujar Zean tersenyum.
DEGG!
“Tunggu, kamu kenapa Erin. Perasaan apa ini, kenapa aku berharap kalau gadis yang Zean maksud itu aku?” ujar Erin dalam hati.
“Si..” pertanyaan Erin terpotong.
“Dia teman di masa kecilku. Sudah lama, tapi aku masih menyukainya hingga sekarang.” lanjut Zean sembari tersenyum.
Kali ini berbeda, senyum yang diberikan Zean justru membuat hati Erin merasa sakit.
“Ciieee, ungkapinlah” ujar Erin menahan rasa sakit.
“Udah pernah, dan sempat jadian tapi lima bulan kemudian putus. Mungkin gara-gara aku belum bisa ngambil keputusan dengan kepala dingin waktu itu. Tapi masing sering kontekan kok.”
“Bagus kalau gitu” ujar Erin ‘tersenyum’.
“Jadi, siapa cowo yang berhasil ngebuat kamu suka sama dia? Perlu aku bantu?” goda Zean.
“Ngga, ngga usah. Mungkin yang aku rasain juga cuma sesaat. Lagi pula, dia suka sama cewe lain.” ujar Erin tersenyum lalu pergi.
“Hah? Tau darimana?” Zean mengejar Erin.
“Dia ngomong sendiri.”
“Tunggu, kok aku ngga tau ada yang deket sama kamu juga selain aku. Ah atau jangan-jangan salah satu dari temen-temen aku?”
“Udahlah, ngga usah dibahas. Aku pengen lupain juga.”
“Eh? Kenapa? Kalau bener salah satu dari mereka, aku bantu.”
“Ngga Zean, stop! Dia udah suka sama orang laen, kamu percaya pepatah yang bilang kalau cinta itu ngga bisa dipaksa?”
Zean terdiam, “tapi..”
“Udah, ngga apa-apa. Toh aku masih punya temen kan?” ujar Erin tersenyum.
“Tentu, kamu masih punya aku.”
Erin POV: “Senang tentang semua hal tentang dia, yap mungkin aku juga harus senang dan siap ketika dia jadi miliki orang lain. Asal kamu tetep jadi temen aku dan kamu bahagia, ngga apa-apa Zean ngga apa-apa, biar aku yang mengurus perasaan aku.”
   Keesokkan harinya, Zean ngga masuk. Zean bilang ke Erin kalau dia ada urusan keluarga. Tapi, bahkan lusanya Zean ngga masuk lagi. Zean pun tetap memberi kabar ke Erin kalau dia masih ada urusan keluarga. Esok setelah lusa, Zean masih absen dengan alasan yang sama.
Setelah satu minggu berlalu, Zean tidak memberi kabar kepada Erin sehingga membuat Erin senang karena berpikir kalau Zean akan masuk hari ini. Namun ternyata Zean masih absen.
“Erin? Masa kamu ngga tau sih Zean kenapa? Kamu kan selalu bersama dia?” ketus Putri.
“Hey Put, kamu cemburu sama Erin biasa aja dong.” bela salah satu temannya Zean.
“Jangan dimasukin ke hati ya Rin” ujar salah satu temannya Zean.
“Rin, kalau misal Zean ngga ada ingetnya kamu masih punya kita.” ujar salah temannya Zean yang lain.
“Ssstt, ngomong apa sih? Maksud dia kalau Zean ngga masuk kayak gini.”
Erin hanya mengangguk pelan sembari cemas karena baru pertama kali Zean tidak memberinya kabar.
    Tiga hari berlalu, Zean masih tidak memberikan kabar. Hal tersebut membuat Erin cemas.
“Zean, kamu kemana? Kamu janji ngga akan pergi kan?” keluh Erin dalam hati.
“Rik, kasih tau aja, aku ngga tega liat Erin. Biarin dia tau, dan ngejenguk Zean.” bisik salah satu temannya.
“Kita udah janji sama Zean ngga akan ngasih tau ini ke Erin, lagian Zean janji bakal sembuh kok.”
“Kamu denger sendiri kan pas dokternya ngomong? Kemungkinannya kecil, biarin ajalah Erin liat Zean, gimana kalau ternyata itu buat yang terakhir?”
    Teman-teman Zean pun akhirnya memutuskan untuk memberitahu Erin kalau ternyata Zean sakit. Zean punya kanker yang udah lama dia derita, tiap dia beralasan ijin, sebenarnya dia pergi ke rumah sakit. Hanya saja akhir-akhirnya semakin parah, hingga membuat Zean harus dirawat inap. Setelah tau semuanya, Erin menangis dan langsung pergi ke tempat Zean di rawat.
    Sesampai di rumah sakit, Erin langsung menuju kamar Zean. Erin melihat Zean yang terbaring lemas di ranjang.
“Erin?” ujar Zean.
Erin berjalan perlahan menuju Zean sembari menangis. “Kenapa kamu ngga bilang? Kenapa kamu ngga bilang kalau kamu sakit?”
“Ah, pasti dari merka.” ketus Zean.
“Jangan salahin mereka, kalau bukan gara-gara mereka aku baka jadi teman terbodoh yang bahkan ngga tau kalau temannya sakit”
“Maaf Erin.”
“Kamu bakal sembuh kan Zean?”
Zean hanya terdiam.
“Ayo Zean jawab, jawab kayak Zean yang biasanya, ini bukan kamu, Zean yang aku kenal ngga pernah putus asa.” ujar Erin dalam hati.
“Harus! Aku bakal dateng ke sini tiap hari. Kamu harus sembuh, kamu punya janji loh sama aku.” ujar Erin.
Zean hanya menjawab dengan senyuman.
   Hari demi hari berlalu, kondisi Zean tidak tentu kadang membaik kadang malah semakin buruk. Sampai hari itu tiba, ketika Erin datang ke kamar Zean dan Zean tidak ada di tempat tidurnya. Kamarnya rapih, seperti sudah tidak ada tanda-tanda ada orang yang menginap. Air mata Erin langsung mengalir, kakinya lemas.
“Zean?”
    Terdengar suara kursi roda.
“Hai, Erin”
    Mendengar suara itu tidak asing di telinganya, Erin langsung menoleh. Dan ternyata bernar itu Zean, tanpa sadar Erin langsung berlari dan memeluk Zean yang berada di kursi roda.
“Maaf, aku baru saja ingin memberitahumu kalau aku sudah boleh pulang karena kondisiku membaik”
“Ah syukurlah kau menepati janjimu.”
“Berkat kamu aku masih ingin ada di sini.”
“Yakin? Bukan berkat seseorang di masa lalu?”
“Haha ayolah, aku baru sadar kalau pria yang kau maksud itu aku. Maaf Erin, sepertinya aku juga masih harus belajar apa itu rasa suka yang sebernarnya. Karena aku lebih takut kehilangan kamu daripada kehilangan dia.”
“Huh, gombal. Lagi pula aku ngga terlalu pengen dibales, asal kamu tetep ada buat aku itu udah lebih dari cukup. Terimakasih udah ngebuat aku percaya kalau teman itu benar-benar ada.” ujar Erin tersenyum.
DEGG!

Tamat
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Di sebuah perpustakaan kota yang luas, terlihat seorang pria berkacamata sedang mencari sebuah buku.
    “Kau mencari ini?” ujar seorang gadis dengan mengulurkan sebuah buku.
    “Ah iya, bagaimana kau…” kalimat pria itu terpotong ketika melihat senyum dari seorang gadis di depannya. “ehm bagaimana kau tau?” lanjut pria itu.
    “Karena aku menemukan buku ini di posisi rak yang kau cari”
    “Pertanyaanku yang bodoh atau jawaban dari gadis ini yang aneh?” ujar pria itu dalam hati.
    “Oh iya, tapi kau tidak bisa langsung mengambilnya karena aku harus mengembalikannya terlebih dulu. Tenang saja aku berniat mengembalikannya hari ini” lanjut gadis itu.
    “Baiklah aku akan menunggumu”
    “Kau cari dulu saja buku lain, nanti kita bertemu di tempat peminjaman” ujar gadis itu tersenyum.
    “Sebenarnya aku sudah mengambil semua buku yang ingin aku pinjam hari ini.”
    “Yasudah kalau begitu temani aku memilih buku” ujar gadis itu tertawa kecil.
    Mereka pun berkeliling menelusuri tiap rak.
    “Kau pasti sangat suka membaca ya?” ujar gadis itu memecah keheningan.
    “Mmm tidak juga”
    “Sebenarnya aku tidak terlalu suka membaca, tapi ntah kenapa aku suka berada diantara buku-buku” lanjut gadis itu.
    “Lalu buku yang kau pinjam itu?”
    “Aku hanya membaca bagian yang aku suka, aku tidak pernah benar-benar membaca semuanya. Hehe”
    “Aaa akhirnya ketemu.” ujar gadis itu berlari menuju buku yang dia cari. “Nah sekarang, ayo kita ke tempat peminjaman”
    Setelah mereka berdua selesai mengurus peminjaman buku.
    “Setelah kau selesai membacanya ceritakan padaku ya. Daaah” ujar gadis itu tertawa kecil sembari melambaikan tangannya.
    Pria itu membuka halaman terakhir dari buku yang sempat dipinjam oleh gadis itu.
    “Vica” ujarnya dalam hati.
    Dua hari kemudian, pria itu ke perpustakaan lagi. Sebenarnya sudah menjadi kebiasaannya setiap hari untuk datang ke perpustakaan sepulang kuliah, ntah untuk meminjam, mengembalikkan atau hanya untuk membaca di tempat.
To: Vica
Hei, aku sudah selesai membaca bukunya. Datanglah ke perpustakaan jika kau mau tahu apa yang kubaca

    “Tunggu? Kenapa aku mengirimnya pesan? Kenapa aku menyimpan nomernya yang ada dilist peminjam itu?” ujar pria itu dalam hati.
From: Vica
Kau pria di perpus itu kah? Oke, tunggu aku masih ada kuliah. Munggkin 1 jam lagi. Tunggu ya..

    Satu jam pun berlalu, gadis itu benar-benar datang ke perpustakaan. Ketika masuk ke perpustakaan gadis itu langsung mencari sosok pria yang ditemuinya dua hari lalu, lalu langsung menghampirinya.
    “Kau berlari?” tanya pria itu.
    Gadis itu menganggukan kepala. “Aku takut kau terlalu lama menunggu” ujarnya terengah-engah.
    Pria itu tertawa kecil, “mau minum?” mengulurkan botol air mineral pada gadis itu.
    “Ah terimakasih” menerima dan meminum air mineral tersebut.
    “Oh iya, namamu siapa? Tidak adil ketika kau tau namaku tapi aku tidak tau namamu.” ketus gadis itu.
    “Rayn”
    “Oh oke Rayn. Jadi gimana isinya? Aku baca beberapa halaman sih, yang aku baca…………
    Mereka pun mulai berbincang mengenai buku tersebut.
    Hati-hari pun berlalu, tanpa disengaja mereka selalu bertemu di perpustakaan. Pertemuan-pertemuan yang tidak disengaja itu membuat mereka semakin dekat. Rayn yang memang senang membaca banyak menceritakan sesuatu pada Vica, menceritakan apa yang dia baca dan kadang menceritakan kejadian kecil yang terjadi padanya. Begitu pula Vica, kadang menanyakan hal-hal yang membuatnya penasaran pada Rayn seolah Rayn menjadi ensiklopedi berjalan baginya.
    “Aku penasaran, mengapa kau selalu kesini?” tanya Rayn pada Vica.
    “Memangnya tidak boleh? Kan ini perpustakaan umum.”
    “Yaa boleh-boleh saja, tapi untuk apa jika kau tidak suka membaca”
    “Kan sudahku bilang aku senang melihat buku”
    “Ah yasudah terserah kau saja”
    Hari-hari berlalu seperti biasanya, mereka bertemu dan menghabiskan waktu di perpustakaan.
    “Hei aku serius untuk apa kau sering kesini?”
    “Iih maunya aku jawab apa sih? Mau aku jawab buat ketemu kamu?” ujar Vica dalam hati.
    “Jawabanku masih sama” ujar Vica lalu pergi untuk mencari buku.
    Tiga kemudian, semenjak pertanyaan kemarin Vica tidak datang ke perpustakaan. Rayn hanya melihat jam dan melihat ke arah pintu masuk ketika jam-jam seharusnya Vica datang.
    “Eh? Apa yang aku lakukan? Kenapa kesannya jadi nunggu Vica datang. Fokus fokus” ujar Rayn dalam hati.
    Beberapa menit kemudian.
    “Ah sial aku tidak bisa fokus. Atau gara-gara pertanyaanku kemarin?”
To: Vica
Kau tidak ke perpustakaan?

    “Kirim jangan kirim jangan kirim jangan” konflik batin Rayn.
    Tiba-tiba Vica datang, dengan segera Rayn menutup handphone-nya dan menghampiri Vica.
    “Hai, kemarin-kemarin kau tidak datang?” ujar Rayn.
    “Pfft, kangen?” ejek Vica.
    “Hah? Pemikiran darimana itu?” ujar Rayn dan langsung berjalan menuju suatu rak.
    Vica hanya tertawa kecil dan mengikuti Rayn.
    “Tuh kan aku datang tiap hari salah, aku ngga datang cuma dua hari aja salah” ujar Vica.
    “Ngga salah. Ah sudahlah.”
    Hari-hari berlalu seperti biasanya, datang lalu bertemu di perpustakaan. Biasanya Vica selalu datang lebih dulu dan menunggu di tempat membaca sembari membaca suatu buku, tapi kali ini Rayn yang datang terlebih dulu.
    “Dia belum datang” ujarnya dalam hati sembari melihat ke tempat biasa Vica duduk menunggunya.
    “Eh? Tunggu? Apa yang aku katakana barusan? Kenapa aku jadi selalu berharap bertemu dengannya? Apa aku menyukainya?” ujarnya dalam hati.
    Vica pun datang dan langsung menghampiri Rayn.
    “Hai, tumben kau datang lebih dulu”
    Rayn tidak menjawab dan terus fokus pada bukunya seperti biasa. Rayn terlihat lebih cuek ketika Vica ada, karena Vica sudah terbiasa dengan hal itu jadi Vica tidak terlalu menganggap cueknya Rayn selain karena itu Vica tau kalau sebenarnya Rayn peduli padanya. Dia selalu mengingat kejadian Rayn yang menanyakan dia kemana ketika dia tidak datang ke perpustakaan. Kejadian kecil tapi cukup berkesan baginya.
    Beberapa hari pun berlalu, akhir-akhir ini Rayn sedikit menunjukkan rasa seolah suka pada Vica. Vica senang sekaligus takut, takut kalau suatu saat jika ia merespon Rayn mungkin suasana antara mereka akan berubah. Kalau jadi lebih dekat itu lebih baik, tapi ntah kenapa yang dibayangkan Vica kalau hubungan mereka akan menjauh. Sehingga Vica tidak terlalu merespon kode-kode yang diberikan Rayn padanya.
    Vica sampai pada batasnya, ia akhirnya menunjukkan perasaannya juga. Rayn yang mungkin juga peka merespon kode-kode yang Vica berikan. Hal buruk yang Vica bayangkan ternyata hanya bayangannya saja. Mereka seperti sepasang insan yang sedang jatuh cinta, walau keduanya masih belum mengetahui dengan pasti perasaan yang dimiliki oleh masing-masing.
    Dari yang mengobrol hanya kalau tidak sengaja bertemu di perpustakaan, sekarang mereka melakukkannya dengan handphone tanpa harus menunggu takdir mempertemukan mereka di perpustakaan. Di masa-masa ini, masa-masa yang membahagiakan bagi Vica walaupun kadang tidak jarang Vica galau karena kelakuan Rayn.
    Sampai hari ini pun tiba. Mereka bertemu di perpustakaan.
    “Sepertinya aku tidak akan datang ke perpustakaan lagi” ujar Rayn.
    “Eh? Kenapa? Bukannya kau suka membaca?” tanya Vica heran.
    “Hanya tidak ingin”
    “Apa ini perpisahan?” ujar Vica dalam hati.
    Apa yang dibayangkan Vica kali ini meleset lagi, Rayn masih mengubunginya melalui pesan-pesan yang selalu ada setiap hari. Selau ada bahasan yang Rayn berikan, hal itu tentu membuat Vica senang. Karena alasan utama Vica datang ke perpustakaan untuk bertemu Rayn. Ketika Rayn bilang tidak datang, Vica langsung mengurangi kunjungannya ke perpustakaan, hanya datang ketika benar-benar ada keperluan untuk datang dan jika iya rindu melihat buku-buku yang tersusun rapih.
From: Rayn
Hahaha kau benar-benar tidak datang ke perpustakaan lagi?
    “Eh? Tunggu? Jangan-jangan dia bilang tidak akan datang hanya untuk mengetes jawaban yang ia pikirkan itu benar atau tidak. Aaa lagi-lagi masuk perangkap dia”
To: Rayn
Aku datang kok kemarin, hari ini sedang banyak tugas
    “Ah aku yakin dia tertawa kemenangan”
    Mereka pun semakin dekat, sampai suatu hari tiba-tiba Rayn berhenti memberi pesan pada Vica. Hal tersebut membuat Vica memikirkan seribu pertanyaan dalam otaknya, tapi ia terlalu takut untuk menanyakan langsung pada Rayn takut hal buruk itu terjadi takut hubungan mereka benar-benar akan berakhir.
    Hari ini Vica datang ke perpustakaan, ketika ia datang terlihat Rayn sedang bersama gadis lain. Hal itu tentu membuat Vica terkejut, terasa sedikit sakit di dadanya.
    “Oh gara-gara itu” ujar Vica dalam hati lalu segera mencari buku yang ia cari dan pergi.
    Malamnya Vica memberanikan untuk mengirim pesan terlebih dahulu.
To: Rayn
Ciiee punya temen baru ya?
From: Rayn
Temen baru?
To: Rayn
Iyaa
From: Rayn
Kenapa?
To: Rayn
Apanya yang kenapa?
From: Rayn
Kenapa nanya itu?
To: Rayn
Yaa kan aku temen kamu, ngga boleh gitu tau itu?
From: Rayn
Buat apa?
To: Rayn
Ih jawab aja iya atau ngga
From: Rayn
Yaa kenapa dulu?
To: Rayn
Ah udah skip

    “Ih kok bodoh sih, kok malah nge-skip sih?” batin Vica.
    “Apa dia cemburu?” batin Rayn tersenyum.
    Keesokkan harinya Rayn memberinya pesan lagi, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
    “Ah kadang aku benci seperti ini, aku terlalu merasa nyaman ketika ia ada sampai aku lupa kalau aku sedang kesal padanya”
    Pesan dari Rayn ternyata tidak bertahan lama, dia menghilang lagi. Beberapa hari kemudian datang lagi dan terus melakukan hal itu sampai Vica benar-benar kesal dan akhirnya menanyakan kenapa Rayn seolah menjauh darinya karena sekalinya datang pun perbincanngan mereka agak berbeda dari biasanya. Vica hanya merindukan Rayn yang kadang menceritakan masalah kecil yang terjadi padanya ke Vica. Sayangnya sudah tidak ada Rayn yang seperti itu.
To: Rayn
Hey kenapa kau seperti menghilang?
From: Rayn
Menghilang?
To: Rayn
Aku tau kau tidak akan menjawabnya :)
From: Rayn
Hehe

    “Ih Vica, kenapa kamu bisa suka sama orang kayak gituu?!” batin Vica.
    “Ah udah aku menyerah, aku hidup udah 19 tahun. Hidup aku dengan adanya dia cuma beberapa bulan, hidup aku tanpa dia itu lebih lama harusnya aku lebih terbiasa tanpa dia. Tapi kenapa aku merasa kehilangan?” ujar Vica dengan mata yang mulai dibanjiri oleh air mata.
    Beberapa hari kemudian, Rayn memberi Vica pesan lagi.
    “Bodohnya aku selalu senang ketika dia memberiku pesan. Kali-kali pengen kayaknya jadi cuek dan ngga ngebales tapi ngga bisa. Aaaaaaa maunya apa sih datang dan pergi gitu aja?!” ketus Vica.
    Seperti biasa Rayn menghilang lagi, bahkan di perpustakaan pun benar-benar tidak pernah bertemu lagi. Kalu pun bertemu mereka tidak saling menyapa.
    “Kamu tu kenapa sih Rayn? Kenapa harus ngilang gitu aja? Kalau kamu ngasih alesan, aku pasti bakal lebih bisa ngikhlasin kamu. Ngerti?!” ketus Vica.
    “Ah oke Vic, sekarang kamu harus bener-bener move on. Ngapain sih peduli sama yang ngga peduli? Jadi Vica yang biasanya, Vica yang ngga pernah mikirin hal kecil kayak gitu. Pasti bisa!” ujar Vica dalam hati.
    Akhinya Vica benar-benar menghindari hal-hal yang membuatnya memikirkan Rayn, selewat saja ada hal yang membuatnya memikirkan Rayn dia langsung mengalihkan pikirannya. Walaupun di dalam hatinya dia masih ingin sosok Rayn yang dulu yang selalu ada untuknya. Tapi dia sadar semua orang bisa berubah, dan sadar dengan pepatah “Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan”.
*
*
TAMAT
*
*
Gaje? Maafin.. Penasaran kenapa Rayn kayak gitu? Sama.. ._.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Chapter 3

Disclaimer    : Reki Kawahara
Author          : Kirei No Yuki
Pair               : Kirigaya K & Asuna Y
Genre            : Slice of Life (?), Romance(?)
Warning        : Typo(s), semi-canon(?), OOC, OOT, dll

    “Happy birthday, Asuna” ujar Asuna di depan cermin sembari tersenyum.
    Seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada satu pun keluarganya yang memberikan ucapan selamat ulang tahun padanya. Karena sudah mulai terbiasa, Asuna mengabaikan hal itu dan pergi ke sekolah seperti biasa.
    Sesampai di sekolah, ada selembar kertas yang ada di meja Asuna.



  “Ada yang tahu ulang tahunku” ujar Asuna dalam hati.
    Asuna pun melihat ke laci mejanya dan benar ada sebuah kado disana, Asuna benar-benar terharu karena biasanya teman-teman sekelasnya bahkan teman sebangkunya pun tidak ada yang mengingat hari ulang tahunnya.
    Asuna membukan hadiah yang diberikan oleh orang misterius itu, dan di dalamnnya terdapat sebuah kotak mp3(?) beserta headset dan sebuah kertas lagi.



    “Siapun kau, terimakasiih” ujar Asuna pada selembar kertas dan hadiah itu sembari tersnyum.
    Selang beberapa bangku dari tempat duduk Asuna, seorang pria tersenyum.
    “Syukurlah, kau menyukainya”

***

    “Happy birthday Asuna!!” ujar semua teman-teman dari dunia virtualnya dengan kue ulang tahun yang sudah tersedia di meja beserta ebebrapa hiasan ulang tahun yang dipasang di dinding rumah. Melihat semua itu, membuat Asuna terharu dan menangis.
    “Heee? Kenapa kau malah menangis? Padahal kami belum mengerjaimu”
    “Aaaaa, aku sayang kalian.” ujar Asuna tersedu-sedu. Semuanya berdiri dan memeluk Asuna (kecuali 2 karakter cowo yang ada disitu).
    “Kami juga menyayangimu Asuna”
    “Bolehkan aku ikut?” tanya Klein.
    “Kemari kau!” ujar Kirito menarik Klein.
    “Ampun Kirito, aku hanya bercanda.”
    Asuna hanya tertawa melihat Klein yang diseret Kirito. Terlihat senyum bahagia diwajah semuanya terutama Asuna.
    “Ayo tiup lilinnya, mama” ujar Yui.
    “Iya, ayo tiup lilinnya dan ucapkan doamu”
    Asuna mulai menutup matanya, dan berdoa dalam hati. Ketika Asuna menutup matanya, satu per satu temannya menghilang. Teman yang lain sempat terkejut tapi semua hilang satu per satu sdengan range waktu yang cepat.
    Ketika Asuna membuka matanya, dia heran kemana semua teman-temannya. Mungkinn mereka sembunyi pikirnya. Asuna pun mencari ke setiap sudut ruangan tapi tidak menemukan mereka, tiba-tiba pandangan Asuna buram dan terasa sakit pada tubuhnya. Ketika iya melihat dirinya, tubuhnya mulai memudar dan hilang.

***

    Di dunia nyata.
    Kirito membuka mata.
    “Akhirnya kau sadar, aku takut kau tidak akan sadar karena aku mematikan alat itu secara paksa.” ujar seorang pria yang lebih tua dari Kirito.
    “Kenapa kita semua disini kak?”
    “Tadi terjadi gempa yang pusatnya di Tokyo”
    “Gempa? Tokyo?” Kirito langsung berdiri, matanya mencari jalan keluar.
    “Ada apa?”
    “Aku harus pergi” Setelah matanya menemukan sebuah jalan keluar, dia segera berlari.
    “Hati-hati, masih ada kemungkinan gempa susulan dan jangan ke Tokyo!” teriak kakaknya.
    Kirito terus berlari mengabaikan teriakan kakaknya, dan mencari jalan menuju stasiun.
    Sesampainya di stasiun.
    Mohon maaf untuk saat ini kereta kami tidak bisa melakukan perjalanan ke Tokyo, dikarenakan ada jalur yang rusak.
    “Ah sial” Kirito berlari menuju halte bis.

    Kirito POV: Asuna berada di Tokyo, tapi ketika aku off Asuna masih disana. Kenapa? Apa tidak ada yang menyadarkanya? Aku mohon bertahanlah Asuna.

    Untungnya bis masih bisa pergi ke Tokyo walau pun dengan arah yang berbeda dari biasanya, Kirito yang pernah ke rumah Asuna mengetahui bahwa bi situ tetap melewati halte yang dekatt dengan rumah Asuna.

    “Kau tidak apa-apa?”
    “Aku tidak apa-apa”
    “Syukurlah”
  
    “Kau sudah makan? Kemarilah!”
    “Ambilah, aku tahu rasanya hambar tapi cobalah

    “Hhuaaaa pemandangan disini baguus”
    “Lihat? Baguskan pilihanku?”
    “Iya aku mengalah, setidaknya uang yang aku habiskan tidak sia-sia.”


    Bis yang dinaiki Kirito ternyata tidak bisa sampai tepat di halte yang dekan dengan rumah Asuna, Kirito terpaksa turun dan berlari dari situ karena tidak ada kendaraan umum yang menuju ke arah rumah Asuna.  

    “Kau benar-benar menangis?”
    “K..kan kau ya…yang me..nyuruhku.”
    “Baiklah, mengangislah. Aku akan menemanimu disini.”
  
    “Ekhm.. Cepat sembuh ya Asuna, jaga kesehatan & banyak istirahat jangan terlalu memaksakan kakimu”
    “Aaaa Yui ngga boleh liat”
    “Terimakasih kalian semua, terimakasih Kirito”

  
    Sesampainya di daerah rumah Asuna, Kirito langsung mencari sosok Asuna atau sosok keluarga Asuna.
    “Asunaa!” teriak Kirito.
    Kirito melihat ibu Asuna, Kirito langsung lari menuju ke tempat ibu Asuna. Ketika Kirito mulai dekat dengan lokasi ibu Asuna, ia melihat ibu Asuna sedang menangis. Dan ia hanya melihat ibu dan adiknya yang berada di sana. Mendadak kaki Kirito lemas untuk berlari lagi.

    “Aaaaa, aku sayang kalian.”
    “Kami juga menyayangimu Asuna”

    “Kau masih disini bukan?” tanya Kirito dalam hati.
    Kirito menekuk lututnya, harapan Asuna masih ada tiba-tiba menghilang.
    “Bu, lihat itu teman kak Asuna” ujar adik Asuna.
    Ibu Asuna melihat ke arah Kirito dan menghampiri Kirito.
    “Asunaa..” ujarnya tersedu-sedu.
    “Kak, ayo bawa kak Asuna kesini. Daritadi kak Asuna ngga keluar dari rumah” ujar adik Asuna menarik tangan Kirito.
    Tanpa berpikir panjang, Kirito berlari ke arah rumah Asuna. Para petugas yang melarangnya masuk tidak dihiraukannya.

    Kirito POV: Kau masih bertahan bukan? Maafkan aku sempat putus asa dan berpikir bahwa kau sudah tidak ada. Bertahanlah aku akan menyelamatkanmu.

    Ketika iya berusaha mengangkat batuan yang menghalangi jalannya, petugas yang membawa korban seorang gadis melewatinya. Kirito menghentikan tangannya dan menuju ke arah petugas itu.
    “Asuna.. Asuna.. Kau masih bisa mendengarku bukan?”
    “Maaf, gadis ini…” ujar petugas.
    “Dia masih bisa selamat jika kita membawanya ke rumah sakit bukan?”
    Petugas yang membawa Asuna hanya menggelengkan kepala. Melihat respon petugas tersebut, Kirito hanya bisa terdiam.

Flashback on
    “Anak-anak, ayo keluar! Alarm gempa sudah berbunyi” ujar ibu Asuna.
    Yang keluar rumah hanya Ibu dan adik Asuna.
    “Bu?” ujar adik Asuna.
    “Sebentar ya”
    “Tapi bu, kak Asuna..”
    Ibu Asuna pergi meninggalkan adiknya dan mengangkat telpon, adik Asuna berusaha mencari petugas tapi dia tidak menemukannya dan akhirnya berbicara pada semua yang dilewatinya “Kak Asuna masih dirumah” berharap ada yang mau membantunya tapi hasilnya nihil.
    Ibu Asuna pun kembali, dan melihat ada seorang anak yang memakai seragam sekolah Asuna.
    “Asuna sudah di rumah?”
    “Iya, kakak di rumah dia di kamar. Aku sudah memanggilnya tapi dia tidak merespon dan kamarnya di kunci.”
    Ibu Asuna pun panik, dan mencari petugas. Tapi beberapa menit kemudia, gempa yang hebat pun terjadi.
    “Asunaaa!” teriak ibunya sembari menangis.
Flashback off

    Di pemakaman Asuna. Teman-teman dari dunia virtualnya datang, Kirito menghampiri ibu Asuna yang sedang menangis di depan makan Asuna. Sedangkan yang lainnya menghampiri adik Asuna yang sedang menangis di sebuah bangku yang tidak jauh darisana.
    “Tahukah Anda kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya, apakah Anda mengucapkan selamat padanya pagi ini?” ujar Kirito. Ibu Asuna hanya menangis dan menggelengkan kepala.
    “Pernah kah Anda menhabiskan waktu dengan keluarga Anda?”
    “Waktu itu sangat berharga bukan? Karena kita tidak tahu kapan seseorang yang berharga untuk kita akan pergi”
    “Ma…afkan i…bu Asuna”
    Asuna wish: Aku harap semuanya akan tetap seperti sekarang, bahkan untuk tahun berikutnya dan berikutnya lagi. Dan aku harap suatu saat ibu dan adikku yang akan merayakannya.

***

Epilog
    Keesokkan harinya di dunia virtual.
    “Kamu menyukai Asuna bukan” tanya Silica. Kirito hanya terdiam.
    “Tahu kah kau? Asuna menunggu pengakuanmu, dia menyukaimu tapi dia ingin kau yang mengatakan hal itu duluan”
    “Aku ingin mengatakannya, tepat di hari ulang tahunnya setelah ia membuka matanya, tapi…”
    “Lihatlah siapa yang memberi nasihat masalah waktu dan siapa yang menyia-nyiakan waktu?”
    Kirito pun offline dan pergi ke makam Asuna.
    “Aku mencintaimu Asuna, kau masih disini dan bisa mendengarnya bukan? Maaf karena membuatmu menunggu. Aku juga membawa hadiah ulang tahun yang tidak sempat aku berikan padamu. Aku tahu kau tidak akan bisa memakainya sekarang tapi ini adalah milikmu.”
    Kirito menyimpan sebuah kado kecil disamping makam Asuna dan menguburnya.

    Terimakasih Kirito, aku juga sangat mencintaimu. Tahun ini adalah tahun terbaikku, waktu yang kalian berikan untukku benar-benar tidak akan aku lupakan walaupun aku tidak bisa lagi bersama kalian. Kenangan yang kalian berikan benar-benar kenangan yang sangaaat berharga untukku. Tetaplah tersenyum seperti saat aku pertama dan terakhir kali bertemu kalian, dan untukmu Kirito aku yakin diluar sana ada gadis yang akan lebih mencintaimu.
.
.
End
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Disclaimer    : Reki Kawahara
Author          : Kirei No Yuki
Pair               : Kirigaya K & Asuna Y
Genre            : Slice of Life (?), Romance(?)
Warning        : Typo(s), semi-canon(?), OOC, OOT, dll

Episode Sebelumnya…
Asuna POV : Andai keadaan keluargaku di dunia nyata seperti ini, semua berkumpul dan bercanda bersama serta saling peduli satu sama lain.. Aku pasti akan betah di rumah dan tidak akan masuk ke dunia virtual itu..

Chapter 2

    Di depan sebuah sungai yang tidak jauh dari rumah.
    “Tumben kau datang lebih cepat. Apa yang kau lakukan sendirian disini?” tanya Kirito. Asuna tidak menjawab dan terus melempar kerikil ke sungai.
    “Ada masalah di dunia nyata kah?” lanjutnya. Asuna menghentikan tangannya, matanya mulai berlinang.
    “Menangislah jika kau ingin, selama itu bisa mengurangi bebanmu.” Asuna langsung menunduk dan menangis sekencang-kencangnya.
    “Kau benar-benar menangis?” tanya Kirito sedikit panik.
    “K..kan kau ya…yang me..nyuruhku.” jawab Asuna tersedu-sedu.
    “Baiklah, mengangislah. Aku akan menemanimu disini.” ujar Kirito lalu berbaring di atas rerumputan menempatkan tangan dibelakang kepalanya lalu menutup mata.
    “Kenapa tidak ada yang peduli kepadaku?” keluh Asuna pelan yang masih terdengar Kirito.
    “Kenapa semua selalu sibuk dengan kegiatan masing-masing?”
    “Sebenarnya untuk apa rumah itu?”
    “Siapa yang bilang tidak ada yang peduli kepadamu?” jawab Kirito.
    “Eh? Aku kira kau tertidur.”
    “Bagaimana aku bisa tertidur, kalua kau terus mengoceh.”
    “Ma..maaf, kau bisa lanjutkan tidurmu. Aku akan diam.”
    Kirito pun beranjak dari tidur lalu duduk kembali di samping Asuna.
    “Mereka pasti peduli kepadamu, hanya cara mereka yang salah.”
    “Kau tau? Di dunia nyata, kakiku sedang terluka karena aku terserempet mobil ketika aku pulang sekolah tadi. Tapi ketika aku sampai di rumah, walaupun aku jalan dengan kaki pincang tak ada satu pun yang melirik ke arahku.”
    “Mungkin mereka memang sedang sibuk.”
    “Setiap hari? Apa itu wajar?”
    “Mungkin ketika aku mati baru mereka peduli, atau bahkan ketika aku mati pun mereka tidak akan menyadarinya.”
    Kirito hanya bisa terdiam.
    “Maafkan aku jadi cerita masalah pribadiku. Dan mungkin jadi membuatmu tidak nyaman.”
    “Tidak apa-apa, ceritalah jika kau ingin. Walaupun aku tidak bisa membantu, aku akan selalu mendengarkan apa yang kau ceritakan.” jawab Kirito sembari tersenyum.
    DEGGGG!
    “Perasaan ini lagi, perasaan yang sudah lama tidak aku rasakan kenapa sekarang terasa lagi. Tapi kali ini aku benar-benar merasa nyaman ketika melihatnya tersenyum” ujar Asuna dalam hati.
    Keesokkan harinya, di dunia nyata. Ketika Asuna ingin sarapan barulan ibunya melihat keadaan kaki Asuna, akan tetapi responnya tetap tidak membuat Asuna puas. Ibunya hanya menanyakan apakah itu sakit atau tidak dan menyuruh Asuna untuk segera mengobatinya. Yang Asuna ingin, ibunya bertanya kenapa hal itu bisa terjadi, Asuna ingin ibunya sedikit memarahinya karena kecerobohannya atau kecerobohan si pengemudi itu, tapi apa yang ia dapat hanya sedikit perhatian yang bahkan temannya pun bisa memberi lebih. Sedangkan adiknya, sedikitpun tidak berkomentar pada lukanya.
    “Asuna kangen papa” ujar Asuna dalam hati.

***

    Sore hari ketika Asuna baru saja ingin  masuk ke dunia virtual, ada pria yang berkunjung ke rumahnya.
    “Asuna, ada temanmu datang” teriak ibunya.
    “Temanku?” Asuna sedikit heran, karena di sekolah pun dia tidak merasa benar-benar dekat dengan seseorang. Asuna pun turun dengan perlahan karena kakinya yang masih sakit. Ternyata pria itu adalah Kirito.
    “Kirito?”
    “Hai” ujarnya dengan tersenyum. “Dan aku tidak sendiri” diikuti dengan teman-teman virtualnya yang lain. Melihat teman-teman dari dunia virtualnya datang, membuat Asuna terharu dan ingin menangis.
    “Ayo masuk, kita ke kamarku saja” ajak Asuna.
    “Wah, ke kamar Asuna. Papa jangan nakal ya. Hahaha” ejek Klein.
    Mereka pun menuju kamar Asuna, karena kamar Asuna memang luas jadi semuanya pun bisa masuk.
    “Sebentar aku ambilkan sedikit cemilan” ujar Asuna.
    “Tidak usah, kakimu kan sedang sakit. Istirahatlah..” ujar Silica,
    “Setidaknya biarkan aku ambilkan kalian minuman, kalian pasti haus kan?”
    “Eits tidak usah. Kirito tadi bilang mau sekalian ambil hati ibumu” canda Klein.
    “Hah? Kapan? Kenapa aku?”
    “Papa, papa tega melihat mama yang sedang sakit berjalan-jalan terus?” ujar Yui.
    “Ah sial! Baiklah baiklah, aku akan kebawah.”
    Kirito pun menuju lantai bawah, dan mencari dapur. Kirito melihat sekeliling dan suasana rumah Asuna. Dia melihat adik Asuna yang terus bermain game di gadgetnya, dan melihat ibu Asuna yang sibuk menelpon.
    “Mungkin aku langsung ambil saja di dapurnya” ujar Kirito.
    Kirito pun mengambil minuman, dan membawa beberapa cemilan yang iya temukan di kulkas ke kamar Asuna. Melihat langsung keadaan rumah Asuna yang seperti itu, Kirito merasakan apa yang Asuna rasakan saat ia menangis.
    “Nah kirito sudah datang”
    “Cocoklah, hahaha”
    “Kau mengambilnya dari dapur?”
    “Iya, tidak apa-apa kan? Aku tidak sempat minta ijin karena ibumu sepertinya sedang sibuk.
    “Yaaah, ngga jadi ngambil hati ibunya. Hahaha”
    “Diam kau”
    “Iya, tidak apa-apa, terimakasih Kirito-kun” ujar Asuna tersenyum.
    DEGGGG!
    “Perasaaan apa ini? Aku sering melihatnya tersenyum seperti itu, tapi ntah kenapa kali ini berbeda. Senyumnya benar-benar terlihat bahagia” ujar Kirito dalam hati.
    Mereka pun berbincang-bincang hingga malam. Kirito dan Asuna selalu menjadi bahan pertunjukkan(?) mereka atau bisa juga disebut mereka selalu menumbalkan(?) Kirito seolah Asuna yang sakit adalah waktunya menggunakan(?) Kirito. Mereka menyuruh Kirito untuk menyuapi Asuna, awalnya mereka berdua menolak tapi teman-temannye terus memaksa hingga akhirnya Kirito menyuapi Asuna. Terlihat wajah yang memerah dari keduanya, hal tersebut malah semakin membuat teman-temannya terus menggona Kirito dan Asuna. Karena mereka berada di rumah Asuna hingga malam, mereka ikut makan malam di rumah Asuna. Ibu Asuna pun memesan makanan dari luar karena terlalu mendadak tidak akan cukup waktunya untuk memasak pikirnya.
    Ketika makan bersama, suasana hening seketika. Karena ada ibu Asuna disitu dan ada adiknya Asuna yang tidak pernah bicara sedikitpun. Suasana makan tersebut seolah memaksa mereka juga untuk diam selama makan.
    Setelah makan, teman-teman Asuna pun pulang.
    “Kami pulang dulu ya Asuna. Terimakasiih”
    “Hhuuu rasanya aku ingin kalian tinggal disini” ujaar Asuna.
    “Wah, bolehkah? Aku rela kok disuruh tinggal disini” ujar Klein.
    “Diam kau Klein”
    “Uuuu papa marah. Hahaha”
    “Sudah-sudah, berisik terus kalian ini. Kita pulang dulu ya Asuna, ayo kita main lagi nanti” ujar Lisbeth.
    “Kata-kata terakhir buat Asuna dong” ujar Klein sambil menyenggol bahu Kirito.
    “Ish.. Baiklah baiklah.”
    “Ekhm.. Cepat sembuh ya Asuna, jaga kesehatan & banyak istirahat jangan terlalu memaksakan kakimu” ujar Kirito malu-lau lalu mengelus kepala Asuna kemudian tersenyum.
    “Aaaa Yui ngga boleh liat” ujar Silica menutup mata Yui.
    “Terimakasih kalian semua, terimakasih Kirito” ujar Asuna tersenyum.
    “Daaahh.”
    “Daaaaahh, hati-hati”
    Semua teman dunia virtual Asuna pun pulang, suasana rumah kembali hening seperti biasa. Asuna langsung kembali ke kamarnya, kali ini dia akan langsung tidur dan tidak akan masuk ke dunia virtual karena kalau dia masuk dan ketahuan teman-temannya mungkin ia akan dimarahi, kedatangan teman-temannya ke rumahnya benar-benar membuat Asuna bahagia dan membuatnya ingin segera tidur berharap dapat melanjutkan kebahagiannya di mimpinya.

To be continue….
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Disclaimer    : Reki Kawahara
Author          : Kirei No Yuki
Pair               : Kirigaya K & Asuna Y
Genre           : Slice of Life (?)
Warning       : Typo(s), semi-canon(?), OOC, OOT, dll

Prolog
     “Aku pulang” ujar seorang gadis sembari berjalan menuju kamarnya. Saat melewati ruang tengah terlihat adiknya sedang sibuk bermain game dengan gadgetnya, saat melewati dapur terlihat ibunya sibuk mengurus bisnis dengan gadgetnya.

***

    “Link Start!”
    “Hai Asuna!” sapa seorang gadis berambut coklat.
    “Hai Silica!” balasnya dengan senyum.
    “Kau rajin datang akhir-akhir ini.”
    “Hhehe”
    Asuna dan Silica pun pergi berkeliling kota bersama. Sesampainya di kota, ternyata sedang ada keributan ada sekelompok Red Player yang sedang berkelahi dengan seorang Orange Player.
    “Waw dia hebat” ujar Silica. Asuna hanya menganggukkan kepala dan melihat ke arah pria dengan pakaian hitam tersebut.
    WUUSSHHH
    Pedang dari salah seorang pemimpin Red Player tersebut terlempar.
    “Kau tidak apa-apa Asuna? Tapi itu nyaris sekali.”
    Dengan ekspresi masih terkejut, Asuna menggelengkan kepala “Aku tidak apa-apa”.
    Kejadian tersebut membuat keributan berakhir dan sekelompok Red Player meninggalkan kota tersebut. Pria berpakaian hitam itu pun menghampiri Asuna.
    “Kau tidak apa-apa?” tanya pria itu.
    “Aku tidak apa-apa” jawab Asuna.
    “Syukurlah” ujar pria itu tersenyum lalu pergi.
    DEGGGG!
    “Eh? Kenapa?” tanya Asuna dalam hati.
    “Ayo Asuna kita lanjutkan menyelesaikan misi kita.”
    “Iya, ayo Silica”
    Mereka berdua pun pergi melanjutkan misi mereka, hingga waktu malam di dunia nyata pun tiba. Silica offline terlebih dahulu, sedangkan Asuna masih berkeliling di dunia virtual. Tanpa sengaja, Asuna bertemu lagi dengan pria itu. Terlihat pria itu sedang makan sebuah roti dna duduk di bangku taman. Asuna ingin menghampiri pria itu, tapi ntah kenapa kakinya malah melangkah berberbalik.
    “Hei!” teriak suara yang tidak terlalu asing untuk Asuna. Asuna pun menengok kebelakang dan ternyata pria tersebut yang memanggilnya.
    “Kau sudah makan? Kemarilah!”
    Asuna pun menghampiri pria itu.
    “Ambilah, aku tahu rasanya hambar tapi cobalah”
    Asuna mengambil sepotong roti milik pria itu, dan ketika Asuna mengambil pria itu melihat kearahnya dan tersenyum.
    DEGGGG!
    “Lagi-lagi perasaan ini.” ujar Asuna dalam hati dengan wajah yang memerah.
    “Boleh aku menambahkanmu ke list temanku?” ujar pria itu.
    “Boleh”
    “Asuna, salam kenal” ujar pria itu.
    “Jadi namanya Kirito” ujar Asuna dalam hati.

***

    Keesokkan hari dan seterusnya, Asuna online seperti biasa dia bersama Silica di Sword Art Online. Tapi ntah disengaja atau tidak, mereka pasti bertemu Kirito dan akhirnya menjelajah bersama. Mereka semakin akrab dan bahkan menentukan tempat dan jam untuk berkumpul di dunia virtual. Selama melaksanakan misi, mereka bertemu banyak teman baru dan membuat tempat berkumpul mereka semakin ramai dan akhirnya mereka mengumpulkan uang untuk membeli sebuah rumah yang nantinya akan menjadi tempat bekumpul mereka yang baru.
    Beberapa hari kemudian rumah baru pun dapat terbeli oleh mereka, rumah dengan dua kamar tidur, sebuah kamar mandi, dapur dan ruang tengah. Dengan pemandangan sungai yang jernih serta padang rumput dan bunga yang luas.
    “Hhuaaaa pemandangan disini baguus” ujar Silica.
    “Lihat? Baguskan pilihanku?” ujar Asuna.
    “Iya aku mengalah, setidaknya uang yang aku habiskan tidak sia-sia.” ujar Kirito.
    “Ada yang kurang.” ujar Yui, satu-satunya player dengan bentuk peri kecil.
    “Apa?” tanya Lisbeth.
    “Papa dan mama” jawab Yui. Serentak semua pandangan melihat ke arah Kirito dan Asuna.
    “Oke deal, yang nyari uang Kirito yang masak Asuna. Hhahaha” ujar Klein.
    “Tidak mau!” ujar Kirito dan Asuna serentak.
    Mendengar jawaban dari calon mama dan papanya mata Yui mulai dibanjiri air mata.
    “Baiklah demi Yui.” ujar Asuna.
    Yui mulai tersenyum lalu melihat ke arah Kirito.
    “Baiklah baiklah, tapi kau harus janji jangan pasang wajah itu lagi di depanku”
    “Yeaaay!” Yui dan yang lainnya serentak berteriak.
    Mulai sejak saat hari itu, mereka selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul di dunia virtual. Menghabisnya waktu bersama untuk sekedar mengobrol dan bercanda, melupakan masalah-masalah yang ada di dunia nyata.
    Berapa hari kemudian, Lisbeth yang merupakan teman Sachi di dunia nyata mengatakan Sachi sakit dan harus dirawat sehingga membuat tidak tidak bisa ikut berkumpul dalam beberapa hari. Orang-orang yang di dunia nyata rumahnya tidak jauh dari tempat Sachi di rawat pergi menjenguk Sachi di dunia nyata termasuk Asuna.
    “Kirito tidak datang?” tanya Silica.
    “Rumah dia tidak dekat sini” jawab Asuna.
    “Ciiee mama tahu aja” ejek Silica. Asuna mengabaikan ucapan Silica.
    Asuna, Silica, Klein dan Lisbeth pun masuk bersama ke ruangan Sachi dirawat.
    “Sachiii.. Bagaimana keadanmu sekarang?” tanya Silica.
    “Sudah lebih baik, terimakasih kalian sudah mau repot-repot menjengukku” ujar Sachi.
    “Tapi ngomong-ngomong ini pertama kali kita bertemu di dunia nyata ya, penampilan dari kita tidak terlalu jauh berbeda jadi aku langsung mengenali kalian saat masuk rumah sakit tadi.” ujar Lisbeth.
    “Dan aku yang paling tampan. Hhahaha” ujar Klein.
    “Iyalah, kamu cowo satu-satunya disini” sanggah Silica.
    Mereka pun mengobrol dan sedikit menceritakan kehidupan mereka masing-masing ketika di dunia nyata.
    Asuna POV : Andai keadaan keluargaku di dunia nyata seperti ini, semua berkumpul dan bercanda bersama serta saling peduli satu sama lain.. Aku pasti akan betah di rumah dan tidak akan masuk ke dunia virtual itu..

~ To be continue ~
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Older Posts

Follow Us

  • deviantart
  • instagram
  • twitter
  • wattpad

recent posts

Sponsor

Blog Archive

  • November 2017 (1)
  • June 2017 (1)
  • May 2017 (1)
  • November 2016 (1)
  • September 2016 (1)
  • August 2016 (3)
  • June 2015 (1)
  • November 2014 (1)
  • August 2014 (4)
  • May 2013 (3)
  • March 2013 (2)
  • January 2013 (1)
  • November 2012 (2)
  • September 2012 (1)
  • August 2012 (4)
  • November 2011 (1)

Pengunjung

I am in Google+

Unknown
View my complete profile

Followers

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates