Rahasia Dibalik Gerbong 13
24 Desember 2013
Untuk pertama kalinya sekolahku memberi libur yang lumayan panjang, yaitu sampai tahun baru, biasanya libur natal hanya diberi satu hari karena memang di sekolahku mayoritas pemeluk agama islam. Untuk tahun ini, katanya akan ada sedikit renovasi pada sekolah sehingga siswa diliburkan sampai tahun baru tiba.
“Fir kita ke rumah nenek kamu yuk liburan ini, kan lumayan lima hari juga.” ujar salah satu sabahatku yang bernama Ica.
“Iya Fir, lagi pula rumah nenek kamu kan tidak terlalu jauh dari sini.” sambung sahabatku yang lain yaitu Dina mendukung Ica.
“Yakin mau ke rumah nenekku? Memang tidak jauh sih, tapi transportasi untuk kesana hanya ada satu kereta dan itu berangkatnya pukul lima sore. Setelah naik kereta baru bisa naik ojeg, karena angkot disana tidak ada yang sampai malam maksimal sampai pukul enam petang.”
“Iya ngga apa-apa deh Fir, kan namanya juga main. Di tempat nenek kamu kan katanya ada kolam ikan juga, jadi kita bisa making disana. Iya ngga Din?”
“Iya bener banget Ca.”
“Tapiii…”
“Tapi kenapa lagi Fir?” ujar Ica dan Dina serentak.
“Banyak mitos tentang kereta yang menuju ke tempat nenekku, dan keretanya pun jarang penuh. Paling banyak sekitar 20 orang yang menaiki kereta itu, dan katanya saat keluar jarang kembali dengan jumlah saat berangkat.”
“Lho kan katanya keretanya cuma satu, dan kamu sering kesana kan? Nah buktinya sampai sekarang kamu masih ada Fir. Ngga udah percaya sama mitos kayak begitu.” ujar Ica dengan santainya, karena memang dia tipe yang pemberani dan aktif.
“Ta.. tapi Ca, aku juga jadi takut kayaknya.” ujar Dina sembari menelan ludah sendiri.
“Kalau aku tiap ke rumah nenek sendiri selalu minta jemput om ku, aku sendiri juga belum pernah sih naik kereta itu.” jawabku.
“Pokoknya harus jadi pergi titik, Dina kalau kamu takut kamu boleh ngga ikut kok kita ngga maksa. Kalau kamu Fir harus ikut ya, kan ini mau ke rumah nenek kamu masa aja kamunya ngga ikut.”
“Ya aku sih ayo-ayo aja, sedikit ada rasa penasaran juga tentang mitos itu. Tapi emang lebih banyak rasa takutnya sih. Untungnya orang tua aku juga ngga terlalu percaya dengan mitos kayak gitu jadi kemungkinan aku bakal dapet ijin buat pergi.”
“Sip. Besok kumpul jam setengah lima di stasiun ya?” ujar Ica yang dijawab dengan acungan jempol tanda setuju olehku dan dijawab anggukan ragu oleh Dina.
25 Desember 2013
Hari berikutnya tepat pukul empat sore. Aku sudah mendapat ijin dari orang tuaku, dan nenekku pun sudah mengetahui kalau aku dan teman-temanku akan menginap. Aku sudah siap berangkat tinggal menunggu angkot yang menuju stasiun.
Setelah sampai stasiun, ternyata yang lain belum ada yang datang padahal jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 16.40 WIB. Walaupun sudah tinggal 20 menit sebelum mkeberangkatan kereta stasiun terlihat sepi hanya ada aku dan seorang pria memakai jaket hitam. Pria itu sedikit misterius, tapi aku berusaha acuh dan tidak peduli. Lima menit kemudian Ica datang.
“Maaf Fir, tadi macet.” ujar Ica dengan nafas terngerah-engah.
“Iya ngga apa-apa Ca. Oh iya, kalo Dina gimana? Jadi ikut atau ngga?” tanyaku.
“Tadi pagi pas aku tanya sih dia bilangnya ikut, tapi sebentar aku telepon dulu.” dengan segera Ica mengambil handphone yang ada di dalam tasnya lalu menelpon Dina.
“Din, kamu jadi ikut kan?” tanyanya.
“Iya, tapi bakal agak telat kayaknya soalnya ini macet banget. Kalau jam lima aku belum sampai kalian pergi aja ya jangan sampe ngga jadi gara-gara aku.”
“Oke deh kita tunggu ya Din” Ica pun menutup teleponnya dan menyimpannya kembali ke dalam tas. Saat Ica melihat sekeliling, dia terkejut karena hanya ada sekirang sepuluh orang termasuk dia dan aku yang berlalu lalang di stasiun. Pohon-pohon besar yang berdiri di sekittar stasiun cukup membuat kami merinding.
Pukul lima sore pun sudah tiba, Dina masih belum juga datang. Ica terus mondar mandir dan melihat kearah pintu masuk. Kereta sudah mengeluarkan asapnya, pertanda kalo kereta tersebut akan berangkat. Beberapa menit kemudian baru Dina datang dengan berlari ke arahku dan Ica. Kereta belum melaju terlalu jauh, pintu kereta pun masih ada yang terbuka. Kami bertiga berusaha mengejar pintu yang masih terbuka itu, dan akhirnya bisa mencapai pintu itu dan masuk ke dalam kereta. Setelah masuk ke dalam kereta semuanya menarik nafas panjang dan langsung duduk di bangku kereta.
“Hah hampir saja.” ujar Ica.
Beberapa detik pun berlalu, kami bertiga mulai menyadari kalau gerbong ini terlalu sepi, dan ternyata yang ada di gerbong itu hanya kami bertiga. Kami semua saling tatap menatap dan menelan ludah. Aku mencoba melihat sekeliling untuk mencari nomor gerbong ini. Ternyata gerbong ini bernomor 12, tepat gerbong sebelah gerbong 13. Aku yang awalnya tidak ragu untuk pergi sekarang mulai merasa takut, ntah kenapa hawa di gerbong ini semakin dingin padahal tidak ada AC, di luar kereta pun sangat gelap padahal tidak terdengar gemuru petir pertanda mendung.
“Kita pindah yuk?” ajak Dina.
Tanpa berpikir panjang kami bertiga langsung berjalan sedikit berlari menuju pintu ke gerbong 11. Saat sudah tepat di depan pintu gerbong, kami sadar bahwa kami tidak tahu mana pintu yang menuju gerbong 11 dan mana pintu yang justru menuju ke gerbong 13. Kami hanya bisa saling menatap ketakutan, bahkan Ica yang biasanya pemberani pun mulai terlihat takut walaupun dia tetap yang berada di depan kami.
Ica mulai memegang gagang pintu yang berada dihadapannya, jantung kami langsung berdegup kencang. Ditambah suara jendela dari kereta yang padahal tidak ada benda apapun yang menyentuk jendela itu. Tak lama dari itu, mulai terdengan suara wanita menangis minta tolong, terdengar sangat jelas yang cukup membuat Dina sampai menangis ketakutan. Suara wanita itu semakin jelas dan seolah terdengar “tolong aku, buka pintunya tolong”.
“Suara itu terdengar jelas dari seberang, berarti pintu yang ada dihadapan kita benar-benar pintu menuju gerbong 11.” tanpa ragu dan memang sudah diselimuti ketakutan Ica akhirnya membuka pintu gerbong yang ada dihadapannya sedangkan aku dan Dina hanya memejamkan mata sembari memegang erat Ica.
“Pintunya susah dibuka.” ujar Ica sembari terus berusaha membuka pintu.
“Seriusan Ca? Jangan nakut-nakutin deh.” ujar Dina.
“Serius.” Ica terus berusaha membuka pintu sembari teriak minta tolong diikutu aku aku Dina yang ikut teriak minta tolong.
Sementara itu suara gemuru di jendela semakin keras, terdengan juga suara tertawa seorang wanita dari gerbong sebrang. Kami bertiga mulai menangis sembari terus berteriak minta tolong, tapi tidak ada satu orang pun yang menyaut teriakan kami. Tiba-tiba gagang pintu gerbong sebelah bergerak-gerak seolah ada orang yang ingin membuka pintu tersebut. Melihat gerakan gagang pintu tersebut membuat Dina mengangis histeris ketakutan lalu jongkok sembari menangis.
“Apa kataku kan kita tu ngga seharusnya kesni.” keluh Dina ditengah isakan tangisnya.
“Maafin aku Din, aku yang ngotot pengen kesini. Maafin aku.” ujar Ica sembari memeluk Dina diikuti aku yang ikut menenangkan Dina.
“Sekarang gimana nasib kita?” tanya Dina yang hanya membuat kami semua saling menatap.
Langit sudah sangat gelap menandakan waktu sudah malam. Kami bertiga hanya bisa berjongkok di depan pintu menuju gerbang 11. Saat aku melihat kepintu gerbang 13, seolah ada bayangan hitam yang balik menatapku kemudian gagang pintu gerbong 13 pun kembali bergerak tiba-tiba gerakannya semakin kencang cukup membuat suara berisik membuat Dina semakin histeris. Aku mencoba menenangkan Dina, tapi Ica malah berdiri dan mencoba mendekati pintu itu.
“Jangan nekat Ca.” kataku.
“Aku cuma ingin melihat sebentar.” Ica terus melangkah maju perlahan mendekati pintu gerbong 13 itu. Jika siifat penasarannya sudah menguasainya rasa takut pun akan dilawannya itulah Ica.
Jarak Ica dan pintu itu semakin dekat, saat wajah Ica mencoba mengintip apa yang ada dibalik pintu itu tiba-tiba ada wajah yang melewati pintu itu, wajah yang sangat mengerikan yang sampai membuat Ica berteriak dan lemas duduk di tempat.
“Ica?!” teriakku panik.
“A..aku ngga apa-apa Fir, aku cuma kaget.” jawabnya pelan tapi cukup jelas untuk di dengar.
Tiba-tiba Dina tertawa pelan.
“Kamu kenapa Din?” tanyaku heran.
Dina hanya terus tertawa dan bangun dengan rambut yang menutupu sebagian mukanya.
“Din?” aku mencoba menyentuh Dina, tapi yang dia lakukan malah membantingku ke pintu.
“Firdaa!” teriak Ica panik lalu menghampiriku.
Dina malah sibuk membuka isi tasnya dan mengambil sebuah senjata tajam yang ada di tasnya. Ntah kenapa Dina bisa membawa pisau di tasnya. Ica mencoba membantuku berdiri, untung dari awal jarakku dengan pintu tidak terlalu jauh jadi aku tidak terbentur begitu keras.
“Din, kamu mau apa dengan benda itu?” tanya Ica mencoba perlahan mendekati Dina.
“Diam.” sentak Dina dengan suara yang berbeda, Ica langsung terdiam mendengar suara Dina yang berubah.
“Dina terus mendekati pintu gerbong 13, mencongkel pintu itu dengan pisau seolah ingin membuka pintu itu. Aku dan Ica hanya bisa terdiam melihat kelakuan Dina yang aneh. Sementara itu terdengar suara lagi dari balik pintu itu, ‘Ayo buka pintunya, selamatkan aku’.
“Iya, aku akan menyelamatkanmu mama sabar ya.” balas Dina dengan mengelurkan air mata. Aku dan Ica kaget melihat Dina berbicara dengan suara itu, dan maksud kata-kata Dina akan menyelamatkan dan memanggilnya mama itu apa?
“Fir, kayaknya kita harus bantu Dina.” ajak Ica dengan mulai melangkahkan kakinya.
“Ta..tapi Ca, kamu lihat sendirikan apa yang ada saat kamu mendekat tadi?”
“Iya, tapi sepertinya Dina kerasukan anak dari seseorang yang ada dibalik pintu itu.” Ica meraih tasnya dan mencoba mencari benda tajam, tapi hasilnya nihil dan akhirnya dia melihat sekeliling mencoba mencari benda yang bisa ia pakai untuk membantu Dina. Saat ia melihat ke bawah bangku ternyata linggis, tanpa pikir panjang ia langsung mengambil linggis itu dan berjalan kearah Dina. Tapi saat ia sudah didekat Dina, Dina mahal mengarahkan pisaunya ke Ica.
“Tenang Din, aku mau ngebantu kamu kok, aku mau bantu kamu ngeluarin mama kamu.” jawabnya. Dina langsung mundur, seolah membiarkan Ica membantunya. Mereka berdua pun mencoba membuka pintu itu. Melihat bahwa sepertinya omongan Ica tadi benar, aku mulai ikut membantu Ica menarik dan mendorong linggis itu sampai ada celah yang membuat pintu itu tidak berada lagi pada engselnya. tapi saat sudah ada celah tercium aroma bau busuk dari balik pintu itu. Beberapa menit kemudian pintu itu pun bisa terbuka, tinggal satu lagi pintu yang ada di gerbong 13. Beda dengan pintu sebelumnya pintu pada gerbong 13 lebih mudah dibuka, tapi aroma bau busuk itu semakin tercium.
“Tolong kuburkan mamaku.” ujar Dina sembari menangis, lalu pingsan. Dengan segera aku menahan Dina yang hampir terjatuh lalu mengantar Dina agar duduk di bangku kereta dan mencoba menyadarkan Dina. Sedangkan Ica mencoba membuka pintu di gerbong 13 tersebut. Saat pintu sudah terbuka bau busuk yang tercium semakin menyengat, terlihat seorang wanita yang tangannya dirantai diatap kereta berlumuran darah yang sudah mengering, luka yang sangat banyak dia sekujur tubuhnya yang sudah dihinggapi banyak serangga dan cacing. Ica hanya terbengong melihat apa yang dia lihat.
“Siapa yang tega berbuat seperti ini?” ujar Ica pelan lalu meneteskan air mata.
“Sekarang aku tahu kenapa anak yang merasuki Dina ingin sekali membebaskan ibunya. Aku janji bakal menguburkan ibu kamu.” lanjut Ica.
Terdengar suara rem kereta pertanda bahwa sebentar lagi kereta akan sampai, aku mencoba menelpon polisi setempat agar ada yang mengurus apa yang kami lihat ini. Tak lama kemudian Dina sadar dari pingsannya, menanyakan apa yang terjadi tapi aku dan Ica hanya terdiam. Saat kereta berhenti kami semua turun, sembari menunggu polisi datang dan menunggu jemputan om-ku kami mencoba menghampiri masinis dari kereta tersebut. Ternyata masinis dari kereta tersebut adalah orang misterius yang aku lihat saat aku menunggu Ica dan Dina di stasiun. Aku mencoba mengabaikan feelingku, dan kami pun memberitahu apa yang kami lihat di gerbong 13.
“Pak, kami melihat sesuatu di gerbong 13.” ujar Ica. Terlihat ekspresi terkejut dari pria itu, lalu pria itu melihat sekeliling membuatku semakin curiga.
“Mana? Boleh saya lihat juga?” ujar pria itu.
“Iya ayo pak.” balas Ica.
Aku semakin curiga dengan pria ini, dia seharusnya sudah tahu apa yang ada digerbong keretanya karena dia masinisnya. Tingkahnya saat mengajak kami ke gerbong 13 pun sangan mencurigakan, dia selalu melihat sekeliling seolah ingin agar tidak ada yang melihat kami.
Saat sampai di gerbong 12, Ica Dina dan pria itu masuk kedalam sedangkan aku masih tertinggal beberapa langkah dibelakang karena terus memperhatikan pria itu. Setelah aku sampai di pintu gerbong 12, terlihat pria itu menyodorkan pisau kepada teman-temanku.
“Firda, lari!” ujar Ica. Mana mungkin aku bisa lari begitu saja, aku langsung teriak minta tolong keluar kereta tanpa melangkahkan kaki sedikit pun karena aku takut saat aku pergi nyawa teman-temanku sudah diregut oleh pria itu.
“Berhenti berteriak atau aku bunuh teman-temanmu.” ancam pria itu. Aku langsung terdiam.
“Cepat masuk ke sini!” bentak pria itu.
“Jangan Fir lebih baik kamu lari.” ujar Ica.
“Diam kamu!” bentak pria itu sembari nyodorkan pisau di depan wajah Ica. Aku sama sekali tidak bisa ambil pilihan, aku hanya bisa ikut masuk bersama teman-temanku, dan berharap polisi akan segera datang. Aku pun masuk dan dudum disamping Dina yang terus menangis.
“Jangan ada yang melaporkan apa yang kalian lihat kepada siapa pun apalagi polisi. Jika kalian melawan…” ucapan pria itu terpotong dengan kedatangan polisi yang segera menyuruh pria itu untuk angkat tangan. Tapi pria itu malah menarikku dan meletakkang pisau tepat di depan leherku.
“Turunkan senjata kalian atau gadis ini aku bunuh!” ancam pria itu. Polisi tersebut perlahan menurunkan tangannya.
Beberapa detik kemudian ada polisi lain yang datang adri pintu yang berlawanan sehingga tepat berada di belakang pria itu, polisi itu segera menyodorkan pistolnya ke kepala pria itu.
“Lepaskan gadis itu atau anda saya tembak?!” perintah polisi itu. Melihat posisinya yang tidak menguntungkan pria itu langsung melepaskanku dan menjatuhkan pisaunya, polisi itu segera merantai tangannya, sedangkan polisi lain langsung masung ke gerbong 13 untuk mengamankan mayat wanita tersebut.
“Terimakasih sudah melaporkan kejadian ini kepada kami.” ujar polisi itu sembari tersenyum.
“Sama-sama”, jawab kami serentak.
Beberapa meint kemudian om-ku pun datang untuk menjemput kami. Wajah gembira dan lega langsung menyelimuti wajah kami, karena sejak tadi benar-benar kondisi yang sangat menegangkang bahkan nyawa kami hamper melayang.
Sepanjang perjalanan om-ku terus menanyakan apa yang terjadi, didukung Dina yang sejak tadi penasaran dengan apa yang terjadi. Aku dan Ica hanya menjawab “Lupakan, yang penting kita selamat dan bisa menolong anak itu.” sembari tersenyum lega.
0 comments