Dua Wanita Berharga

by - August 28, 2014

          Sekitar sepuluh tahun yang lalu ada seorang anak lelaki yang masuk ke kamar tempat aku dirawat. Tanpa terdiam lama dia langsung mengajakku berkenalan, dan sejak saat itu dia sering ke kamarku untuk mengajakku bermain. Umurku waktu itu masih enam tahun, sedangkan dia sepertinya berumur lima atau empat tahun. Walaupun umurnya dibawahku, tapi dia seperti seorang kakak. Aku selalu merasa nyaman dan bahagia saat dia mengajakku untuk bermain dan berkelilin di rumah sakit ketika ayah dan ibuku sedang bekerja.
            Namaku Dinda, sekarang umurku sudah tujuh belas tahun tapi aku masih SMA kelas IX teman – temanku yang lain berumur 16 tahun. Walaupun hanya berbeda satu tahun aku tetap merasa paling tua karena hanya aku satu – satunya yang berumur 17 tahun. Tapi apaboleh buat kenyataannya aku memang tertinggal satu tahun karena penyakitku yang membuat aku harus menginap di rumah sakit selama tiga bulan. Sejak lahir jantungku berbeda dengan yang lain, yang membuatku tidak boleh terlalu cape dan lain – lain.  Dalam kurun waktu sepuluh tahun setelah dirawat pun suatu keajaiban karena aku masih bisa hidup sampai saat ini, dan jantungku jarang merasaan sakit atau sesak. Sementara oleh dokter aku sudah divonis tidak akan berumur panjang, apalagi semenjak aku dirawat sepuluh tahun yang lalu.
            Setelah libur panjang akhir semester ganjil, akhirnya aku harus mempersiapkan diri lagi untuk sekolah. Aku tidak akan membuang waktu ku untuk hal-hal yang tidak berguna, karena aku tidak pernah tau kapan aku harus pergi dari dunia ini.
            Diawal semester genap ini, aku masuk seperti biasa semua teman kelas pun menyapaku seperti biasa. Aku akrab dengan semua teman di kelas, walau terkadang ada yang hanya mendekatiku jika ingin mencontek hasil pekerjaan rumahku. Yang berbeda di semester ini adalah adanya siswa baru yang menjadi salah satu anggota di kelasku mulai saat ini. Namanya Rangga, dia pindahan dari Jakarta. Setelah tak lama berkenalan pun akhirnya pelajaran dimulai seperti biasa.
            Beberapa jam kemudia waktu istirahat pun tiba.
            “Nama kamu Dinda ya?” ujar anak baru ini.
            “I.iya, kenapa kamu bisa tau?”
            “Wajah aku ini ngga ngingetin kamu? Waktu kecil kita sering main lho.”
            Saat dia menyebut kata “waktu kecil” aku langsung ingat anak kecil yang sering mengajakku bermain sewaktu aku dirawat. Karena dia satu-satunya teman masa kecilku. Hanya saja setiap kita bermain aku belum pernah menanyakan namanya, ntah kenapa aku tidak pernah ingat untuk menanyakan namanya aku selalu memanggilnya adik besar karena sifatnya yang lebih dewasa dibanding aku.
            “Adik besar?”
            “Hhaha, jangan panggil aku itu lagi. Panggil aja aku Rangga” balasnya dengan senyum.
            “Ngga nyangka ya kita ketemu lagi, mungkin ini takdir.” candanya.
            “Hhehe iya.” wajahku mulai memerah. Dia jadi sosok laki-laki yang benar-benar tampan dan dewasa.
            “Ke kantin yuk?”
            “Hah? Mmm aku bawa bekel sendiri kok.”
            “Oh ya udah sebentar aku beli makanan dulu, kita makan bareng ya tunggu aku lho.”
            “I..iya.”
            Beberapa menit kemudian dia membawa makanan dan dua minuman.
            “Ini aku beliin kamu susu, aku tau kamu sakit jadi aku ngga berani beliin kamu minuman yang aneh-aneh.”
            “Eh ngga usah repot-repot padahal aku udah bawa kok.”
            “Kan itu Cuma air putih, udah terima aja ngga baik lho nolak rezeki.”
            “Ma..makasih.”
            “Ya udah sekarang kita makan.”
            Sambil makan makanan kami, aku selalu memperhatikannya karena dia benar-benar berbeda tapi sifatnya masih sama dia baik dan dewasa.
            Tanpa disadari waktu istirahat pun habis, Rangga memilih untuk melanjutkan pelajaran berikutnya dengan duduk disampingku. Mau tidak mau teman sebangku ku harus pindah karena ternyata Rangga juga jago merayu. Untuk kali ini berada didekatnya malah membuatku malu dan salah tingkah, sehingga membuatku selalu menundukkan kepala yang sesekali dia anggat daguku agar memperhatikan guru.
            Waktu pulang pun tiba.
            “Pulang bareng yuk?” ajaknya.
            “Mm, maaf aku dijemput oleh ibuku.”
            “Oh, ya udah aku tunggu sampai ibumu datang.” ujarnya sembari tersenyum.
            Kami berdua pun menuju gerbang sekolah dan duduk bersama di bangku yang berada dekat dengan gerbang sekolah.
            “Enak ya, masih bisa ngerasain kasih sayang seorang ibu.” ujarnya tiba-tiba.
            “Eh? I..iya.” balasku dengan senyum.
            “Ibuku sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, tepat beberapa hari setelah kamu meninggalkan rumah sakit.”
            “Jadi waktu itu dia sedang bersama ibunya di rumah sakit.” ujarku dalam hati. “Kenapa?” tanyaku.
            “Ibuku mengidap kanker otak, tapi sudahlah aku yakin ibuku saat ini sudah bahagia disana.”
            “Iya aku yakin ibu kamu sudah bahagia disana, dan melihat kamu besar menjadi anak yang baik dan dewasa.”
            “Hhaha jangan menghiburku.”
            “Itu bener lho, kamu baik setauku dan kamu juga punya sifat yang lebih dewasa dibanding aku.”
            “Ya, karena itu kamu panggil aku dengan sebutan adik besar. Hhaha”
            Ibuku pun datang.
            “Dinda.”
            “Mama.” jawabku. “Aku duluan ya Rangga.”
            “Iya hati-hati Dinda.”
            Aku pun pergi meninggalkan Rangga, tak lama setelah mobil ibuku jalan Rangga pun masuk kembali ke sekolah mungkin ingin membawa motornya lalu pulang.
            “Siapa pria yang bersamamu tadi?”
            “Oh, itu Rangga. Murid baru di kelas Dinda. Dia anak kecil yang waktu itu sering ke kamamar Dinda ma waktu Dinda dirawat.”
            “Ooh, ngga nyangka kalian bisa ketemu lagi. Lain kali kamu ajak dia ke rumah ya, mama berterima kasih banget sama dia waktu itu sering nemenin kamu selagi mama dan papa kerja.”
            “Eh? I..iya nanti Dinda ajak.”
            “Atau kalau dia ngga keberatan dia boleh tiap hari dating ke rumah sambil mengantarmu pulang.”
            “Ih, malu ma masa baru ketemu lagi udah ngerepotin aja.”
            “Hhaha, kan mama bilang juga kalau dia ngga keberatan sayang.”
            Beberapa menit pun berlalu, akhirnya kami sampai di rumah. Sesampai di rumah, aku menjalani kehhidupanku seperti biasa. Malah mama yang jadi sering ngomongin Ranggan ke papa  saat papa sudah pulang kerja. Mama dan papa memang sudah mengenal Rangga, bahkan sepertinya mereka tahu nama Rangga sejak waktu itu. Dan mungkin juga mama dan papa pun sudah tahu kalo Rangga bisa ada di rumah sakit waktu itu karena menjaga ibunya.
            Esok hari pun tiba, aku berangkat sekolah seperti biasa. Sesampai di sekolah Rangga sudah duduk disamping kursiku.
            “Pagi Dinda” sapanya.
            “Pagi Rangga” balasku. Sudah lama aku tidak mendengar kata-kata itu kata-kata ibu memang sering diucapkan oleh anak kecil yang sering mengunjungiku di rumah sakit.
            “O iya, kata ibuku kamu diundang buat makan disana kapan pun kamu mau.” Lanjutku.
            “Dengan senang hati, setiap hari boleh? Hhaha”
            “Boleh kok.”
            “Serius? Asyik. Hhaha”. Terlihat ekspresi bahagia diwajahnya, aku pun bingung kenapa dia bisa sebahagia itu.
            Saat pulang sekolah seperti biasa aku menunggu ibuku dengan ditemani Rangga. Tapi setelah ibuku datang aku malah disuruh untuk pulang bersama Rangga. Akhirnya ibuku malah pergi duluan dan kami membuntuti dibelakang.
            “Akhirnya tahu rumah kamu.”
            “Eh? Emang mau ngapain?”
            “Ngajak kamu main. Hhaha”
            “Ih, aku serius.”
            “Aku juga serius.” jawabnya dengan tersenyum.
            Kami bertiga pun masuk ke rumah, mama mulai masak untuk makan malam sembari bertanya-tanya kepada Rangga. Pertanyaan apa pun mama lontarkan pada Rangga, sampai – sampai…
            “Rangga udah punya pacar?”
            “Belum tante, hhehe.”
            “Wah sama dong kaya Dinda.”
            “Pliiss ma itu kodenya jelas banget, apa coba ngomong gitu ke Rangga.” ujarku dalam hati sembari berpura-pura tidak mendengarkan apapun.
            “Dinda juga belum punya tan? Boleh dong Rangga daftar. Hhehe”
            “Boleh banget, tante setuju banget malah kalau kamu yang jadi pacarnya Dinda. Jadi suaminya Dinda juga tante restuin.”
            “Iiih, ngomong apa sih kalian.”
            “Coba tembak Dinda aja, dia mau tuh sebenernya cuma malu-malu.” ujar ibuku agak berbisik.
            “Dinda denger maa, Dinda ngga mau pacaran dulu,”
            “Udah Din jangan terlalu serius belajar. Kalau kamu jadi pacar Rangga kan jadi nambah orang yang sayang dan ngejaga kamu.”
            “Pokoknya Dinda ngga mau pacaran dulu ma.” jawabku agak kesal. Sebernya dari dulu aku memang sudah suka sama Rangga tapi untuk pacaran, aku takut ternyata umurku benar-benar pendek yang berarti dia akan merasakan kehilangan seorang sosok wanita lagi nanti.
            “Udah tante kalo Dindanya ngga mau Rangga ngga maksa kok, ngga jadi pacarnya Dinda juga Rangga udah sayang sama Dinda. Rangga janji bakal ngejaga Dinda juga kok tante.” ujarnya dengan mata yang menunjukkan bahwa kata-kata tersebut memang sungguh-sunggu muncul dari hatinya. Mendengar kata-kata itu aku langsung tersenyum dan merasakan bahagia, sedangkan ibuku malah mengeluarkan air mata, mungkin air mata terharu karena belum pernah ada pria lain yang berkata seperti itu selain ayahku.
            “Makasih yang Rangga, mama titip Dinda ya kalau di sekolah.”
            “Iya tante tenang aja, Dinda dijamin aman kalau sama Rangga.”
            Malam pun tiba, papa juga sudah pulang. Kami makan bersama di ruang makan, yang ternyata papaku juga senang ada Rangga yang ikut makan bersama di rumah.
            Satu bulan pun berlalu, setelah makan malam pertama bersama Rangga dia jadi benar-benar sering ke rumah, hamper setiap hari dia ke rumah. Aku tidak bisa melarangnya karena memang orang tuaku juga senang saat dia datang ke rumah.
            Di perjalanan menuju sekolah.
            “Din, kamu bener-bener ngga mau pacaran dulu?” ujarnya tiba-tiba sembari mengendarai motor.
            “Hah? I..iyalah aku pengen focus dulu sekolah. Supaya bisa ngebahagiain orang tua aku nantinya.”
            “Hhmm ya udah aku tunggu.”
            “Tunggu?”
            “Ngga bukan apa-apa.”
            Setelah sampai di kelas, gara-gara obrolan tadi kami di motor kami jadi saling diam. Kalau aku sih memang tidak pernah memulai bicara tapi ntah kenapa sekarang dia benar-bear diam yang biasanya selalu ada saja pertanyaan yang dilontarkan kepadaku.
            “Dinda.” ujarnya memecah keheningan.
            “Iya?” jawabku tanpa menatapnya dan tetap fokus pada buku yang sedang aku baca.
            “Sepulang sekolah kamu ada acara?”
            “Mmm, ngga kenapa?”
            “Jalan-jalan yuk, kemana pun kamu mau deh.”
            “Orang tua kamu pasti ngijinin kok kalau kamu perginya sama aku.” lanjutnya meyakinkanku.
            “Ya udah deh, tapi jangan sampai larut ya, dan kalau bisa antar aku pulang dulu. Aku ingin minta ijin secara lansung ke ibuku.”
            “Siap!” ujarnya sembari memasang pose hormat dengan semangat tinggi yang cukup membuatku tertawa kecil.
            Tak lama kemudian guru pun masuk dan pelajaran dimulai. Selama pelajaran berlangsung tanpa sadar aku selalu memperhatikannya, ntah kenapa dia kelihatan semangat sekali hari ini. Tiap dia membalas melihatku aku langsung memalingkan wajah dan dia malah tersenyum yang cukup membuat wajahku jadi memerah. Setelah beberapa jam berlalu, tanpa di sadari bel pulang pun berbunyi, terlihat dia senang sekali saat mendengar bel pulang berbunyi.
            “Ayo, Dinda.” ajaknya dengan senyuman lebar di wajahnya.
            “I.. iya ayo.” melihatnya semangat seperti itu yang bisa aku lakukan hanya menunduk.
            Sepulang sekolah kami pun langsung menuju rumahku, lalu meminta ijin kepada ibuku, sesuai dugaannya tanpa berbicara panjang lebar ibuku langsung mengijinkan kami pergi hanya menitip pesan agar kami berhati-hati dan jangan pulang terlalu larut.
            Setelah pamit kami pun segera pergi, dengan tempat yang masih belum ditentukan sehingga membuat kami cukup lama berkeliling. Karena aku terus tidak member jawaban akhirnya dia yang memutuskan untuk main kemana.
            Dia membawaku ke sebuah taman yang indah, karena lama berkeliling akhirnya kami sampai disini sekitar pukul 18.00 WIB yang membuat lampu-lampu taman sudah menyala sehingga membuatnya tampaj lebih indah.
            “Kamu suka ngga tempatnya?”
            “Suka banget.” jawabku tanpa pikir panjang sembari melihat sekeliling taman.
            “Syukurlah kalau kamu suka.”
            Kami pun segera mencari tempat duduk, setelah menemukannya Rangga pergi untuk membeli beberapa cemilan dan minuman untuk kami berdua sedangkan aku menunggu ditempat duduk itu. Pemandangan taman bunga yang dihiasi banyak lampu ini benar-benar membuatku tak bisa mengalihkan pandanganku.
            “Hei cewek.” ujar seorang pria dengan rambut agak gondrong menggunakan jaket kulit berwarna hitam dan memakai celana jeans yang sudah agak kusam tiba-tiba menghampiriku lalu duduk disampingku. Dengan reflek aku langsung menjauh.
            “Jangan jauh-jauhlah neng abang ngga ngapa-ngapain kok.” ujarnya dengan menggerakan tubuhnya yang membuat posisinya lebih dekat denganku.
            “Rangga kamu dimana? Aku takut.” ujarku dalam hati. Pria itu semakin mendekat, saat aku berdiri pria itu malah memegang tanganku dengan erat yang membuat aku sulit untuk melepasnya.
            “Lepas!” ujarku agak berteriak tapi pria itu malah menariku seolah ingin aku duduk kembali disampingnya. “Rangga kamu dimana?” ujarku dalam hati, air mataku pun mulai menetes.
            “Kok nangin neng, sini makanya duduk sama abang. Ya udah deh kalo neng ngga mau duduk kita berdiri aja”. Pria itu mulai berdiri dan mendekatiku, aku hanya bisa terus mencoba melepaskan tanganku. Aku ingin coba berteriak tapi ntah kenapa tempat ini tiba-tiba sepi padahal saat sebelum Rangga pergi tempat ini begitu ramai. Pria itu terus berjalan mendekatiku, sampai tanganku benar-benar dipegang erat olehnya sehingga membuatku tidak bisa melangkah mundur. Pria itu mulai menggerakkan tanggan yang satunya mendekati mukaku.
            “Aku takut Rangga.” air mataku semakin deras keluar, jantungku berdetak kencang karena rasa takutku dan rasa sakit mulai terasa pada jantungku yang membuatku tak sadarkan diri.
            Didetik-detik kesadaranku pria itu malah mengarahkan tangannya untuk membelai rambutku, tapi tiba-tiba ada seseorang yang memukul pria itu setelah itu aku tak ingat apa pun pandanganku langsung hitam dan gelap.
            “Dinda kamu ngga apa-apa?” ujar seorang wanita yang suara tidak asing bagiku, saat mataku benar-benar terbuka ternyata itu ibuku dan aku sudah berada di rumah sakit.
            “Ma..ma?”
            “Syukurlah.” terlihat air mata yang keluar dari kedua mata ibuku.
            “Rangga mana ma? Kenapa Dinda bisa ada disini?”
            “Rangga ada di luar sedang berbicara dengan papamu, katanya tadi kamu pingsan.”
            “Dinda pengen ketemu Rangga ma, pasti Rangga yang udah nolongin Dinda, Dinda pengen ngucapin makasih ke Rangga ma.”
            “Iya sayang sebentar mama panggilin.”
            Ibuku pun keluar untuk memanggil Rangga, dan tak lama kemudian Rangga pun masuk ke kamarku.
            “Rangga..” ujarku.
            “Dinda, kamu ngga apa-apa? Maafin aku pergi terlalu lama gara-gara aku penyait kamu kambuh.” ujarnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
            “Ngga apa-apa, justru kalau ngga ada kamu yang mukul pria itu mungkin aku udah diapa-apain sama pria itu. Makasih ya.” ujarku tersenyum.
            “Tapi tetap saja aku terlambat, mafin aku Dinda.”
            “Udah ngga udah minta maaf kamu udah aku maafin kok.”
            “Dinda, kamu masih inget ciri-ciri pelakunya? Biar mama laporin polisi.”
            “Ngga udah ma, kayaknya Rangga juga udah bener-bener ngasih pelajaran ke dia. Dinda ngga mau nanti masalahnya tambah rumit kalau udah nyangkut pautin polisi.”
            “Kamu yakin ngga mau ngelaporin orang yang udah jahat sama kamu, nanti biar papa yang urus kok.”
            “Ngga usah pa. Dindanya juga udah ngga kenapa- kenapa kan.”
            Esok hari pun datang, aku sudah boleh pulang oleh dokter. Terpaksa hari ini aku tidak masuk sekolah karena baru bisa keluar dari rumah sakit saat sudah waktu istirahat di sekolah. Tapi Rangga sudah janji akan mengajarkan apa yang guru ajarkan kepadanya hari ini. Rangga memang termasuk orang yang bisa dibilang pintar, di sekolah lamanya dia juga mendapat juara satu.
            Beberapa jam yang membosankan pun berlalu, akhirnya terdengar suara bel yang menandakan ada seseorang yang datang. Dengan segera aku membuka pintu rumah berharap itu adalah Rangga. Dan saat pintu terbukaa…
            “Rangga?” sapaku dengan senyum.
            “Selamat sore Dinda.” balasnya dengan senyum.
            “Ayo masuk, aku udah ngga sabar denger materi hari ini.”
            “Kamu semangat banget sama yang namanya belajar, hhaha.”
            “Yeeh biarin kan bagus.”
            Aku pun segera menariknya masuk, karena jalannya lama sekali. Setelah dia duduk di kursi tamu, aku segera mengambilkannya minum dan menyediakan beberapa cemilan. Setelah itu akhirnya dia menjelaskan apa yang sudah diajarkan di sekolah tadi.
            Dia benar-benar pintar, dia benar-benar menjelaskan dengan detail yang membuat aku mengerti tiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Bahkan caranya dia menjelaskan bisa dibilang lebih baik dari guru di sekolah, rasa-rasanya jadi ingin tidak masuk tiap hari agar dia terus yang menjelaskan materi kepadaku *eh?*.
            Tanpa sadar selama penjelasannya aku selalu memperhatikannya, semua bagian mukanya aku perhatikan dengan  terkadang bibirku reflek tersenyum saat memandangnya yang membuat dia sadar dan berhenti menjelaskan.
            “Hei apa yang kamu lihat? Aku tau kok kalau aku ganteng ngga usah terkagum sampai segitunya.” ejeknya.
            “Yey PD, aku cuma aneh kenapa muka kamu tidak ada bekas berkelahi sama sekali.” Dengan reflek aku mengatakan itu, ntah kenapa tiba-tiba aku mengatakan itu yang membuat aku memperhatikan mukanya lagi dan benar tidak ada bekas berkelahi sama sekali.
            “Hah? M..mm.mm i.. iyalah kan aku udah jago berkelahi Cuma beberapa pukulan dia langsung tepar. Hhaha”
            “Bohong, kenapa jawabnya gugup? Hayo? Jangan-jangan bukan kamu ya yang waktu itu menolongku.” candaku.
            “Siapa yang ngga gugup dipandangin cewe yang cantik dan manis kayak kamu.”
            “Dih, gombal. Wle.” ujarku dengan menjulurkan lidah.
            “Udah cepet lanjut jelasin lagi.
            “Hhaha, ciiee yang mukanya merah.” godanya.
            “Iiiihh apaan sih, udah cepet kalo ngga mau ngejelasin lagi aku usir nih.”
            “Hhaha iya iya sabar nona manis. Ya udah kita lanjut lagi.”
            Akhirnya Rangga pun melanjutkan penjelasannya, ntah kenapa aku benar-benar suka saat dia menjelaskan, benar-benar membuatku terpesona karena pintar adalah salah satu tipe cowo yang aku suka.
            Malam pun tiba, jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan waktunya Rangga pulang karena aku rasa dia sudah cukup menjelaskan semua materi yang dia terima ditambah candaan-candaan yang membuat suasana tidak terlalu serius.
            “Waktunya kamu pulang, udah terlalu malem nanti ayah kamu khawatir.”
            “Bener nih nyuruh aku pulang, udah puas mandangin aku hari ini? Hhaha.”
            “Ih apa sih GR banger siapa yang mandangin kamu.”
            “Hhaha, ngaku aja kalau belum puas bilang aja aku ngga apa-apa kok disini sampai malem juga, ayah aku juga pulang tengah malam.”
            “Iiih udah pulang sana, makasih udah ngajarin hari ini.”
            “Ciiee hari ini, berarti ada hari esok juga. Hhihi.”
            “Mau kamu itu mah, udah sana ih pulang.”
            “Gitu kan udah ngga ngebutuhin ngusir.” ujarnya dengan ekspresi kecewa.
            “Ih bu..bukan gitu.” jawabku merasa bersalah.
            “Hhaha iya-iya aku ngerti. Ya udah aku pulang, anter aku sampe luar dong. Hhehe.”
            “Iya-iya.”
            Aku pun mengantarnya sampai gerbang rumahku, tak lama setelah itu dia pergi dengan mengelus dahulu kepalaku sebelum dia menggas motornya. Saat dia melakukan itu aku hanya bisa tertunduk malu, dan ntah kenapa aku senang saat dia mengelus kepalaku dengan lembut. Saat dia sudah tidak terlihat oleh mata, aku pun berbalik untuk menujuk pintu rumah tapi ternyata dibelakangku ada dua orang pria yang tidak aku kenal. Jarak pintu rumahku dengan gerbang memang cukup jauh dan terdapat pohon-pohon yang agak besar di halamanku yang membuat mungkin kedua orang asing ini bisa bersembunyi, tapi darimana mereka bisa masuk? Sedangkan pintu gerbang tidak pernah lepas dari gembok dan tidak ada jalan masuk lagi ke halaman rumahku selain harus melewati pintu gerbang setinggi dua meter. Selain itu apa tujuan kedua orang pria ini?
            Kedua pria it uterus mendekat, wajah mereka mulai terlihat karena lampu yang ada pada gerbang. Ternyata salah satu dari mereka adalah orang yang waktu itu di taman, aku mencoba berteriak tapi jarak rumah dengan gerbang yang cukup jauh membuat teriakanku sulit didengar dari dalam rumah, di luar gerbang pun sepi karena letak rumahku adalah perumahan yang mayoritas penguninya pulang pada tengah malam. Sedangkan satpan yang berkelilin malah melintas saat Rangga belum pergi dan belum terlihat kedua pria asing ini. Aku hanya bisa berteriak berharap ibuku sadar akan kepergianku yang terlalu lama dan berjalan mundur mencoba meraih bel yang berada di luar gerbang yang sudah aku kunci. Karena panik kunci gembok tersebut mendadak sulit dilepas dan kuncinya malah terjatuh. Jantungku mulai sakit, lututku tertekuk. Aku berusaha mengambil kunci itu, kedua pria it uterus mendekat dan malah mengeluarkan senjata tajam yang membuatku semakin takut dan membuat jantungku semakin sakit. Dengan susah payah akhirnya aku mendapatkan kunci gembokku kembali sebelum keuda penjahat itu benar-benar dekat denganku. Aku mencoba berdiri sembari menahan rasa sakit di dadaku. Saat sudah setengah berdiri terlihat dari luar seorang pria yang berlari menghampiriku.
            “Lemparkan kuncinya keluar!”
            Tanpa piker panjang aku melenparkan kunci itu keluar, tanpa berpikir dia itu akan membantu atau malah akan membuatku semakin terpojok? Tapi feeling ku mengatakan dia akan membantu sehingga tanpa ragu aku melempar kunci itu keluar. Kedua pria yang menyadari ada seorang pria yang mulai datang mempercepat langkahnya.
            “Cepaatt!!” teriakku pada pria itu.
            Kedua pria itu sudah berada tepat dihapapanku, sedangkan pria yang berada diluar sedang mencoba melepaskan gembok.
            “Jangan sakiti gadis itu!” ujar pria yang berada di luar gerbang. Bersyukur perkiraanku tidak salah dia memang pria yang baik yang ingin menolongku.
            “Mau apa kalian? Kenapa kalian mengincarku?” tanyaku pada kedua pria itu.
            “Kamu tidak tau apa yang kami bawa? Kalau tidak tau, kami beritahu kalau ini namanya pisau yang gunanya untuk memotong, menusuk, membelah, dan hal-hal lain. Hhahaha” jawab salah satu dari mereka yang diakhiri ketawa jahat dari keduanya.
            Jantungku semakin sakit, orang yang diluar belum juga berhasil membuka gerbang tapi memang sulit membuka gembok gerbang dari luar. Salah satu dari kedua orang itu mulai mengarahkan pisaunya ke leherku dan membuat badanku membentur gerbang.
            “Katakana apa salahku? Apa yang kalian mau?”
            “Kami ingin nyawamu gadis manis.”
            Pria yang di luar itu pun berhasil membuka gerbang dan masuk, tapi sebelum dia masuk aku sudah ditarik oleh orang yang mengarahkan pisaunya kepadaku. Kedua bahuku ditahan oleh tangan kiri dari orang itu dan tangan kanannya mengarahkan pisau ke leherku.
            “Jangan bergerak kalau kamu tidak ingin gadis ini mati.” ujar pria yang menahanku.
            “Aku tahu siapa yang member kalian perintah, aku akan membayar kalian lebih jika kalian melepaskan gadis itu.”
            Aku benar-benar tidak kuat menahan sakit pada dadaku, aku pun pingsan dengan posisi yang tetap berada pada pria yang menodongkan pisau kearahku.
            “Dia pingsan, menyusahkan saja.” ujar pria yang menodongkan pisau dan melemparku ke pria yang satunya setelah itu aku tidak merasakan dan melihat apa pun.
            Saat aku sadar, aku sudah berada di kamar tidurku.
            “Apa ini mimpi? Apa aku masih hidup?” tanyaku sembari mencubit tanganku yang ternyata terasa sakit artinya ini bukan mimpi aku masih hidup dan aku selamat. Ntah bagaimana caranya aku bisa ada disini. Saat aku melangkahkan kakiku ke jendela ternyata sudah pagi. Perlahan aku pun berjalan keluar rumah, ternyata di ruang keluar sudah ada kedua orang tuaku dan satu lagi pria yang tidak aku kenal dan aku rasa dia pria yang menolongku semalam.
            “O iya dia tau siapa yang memerintah kedua pria itu.” ucapku dalam hati yang membuatku agar berlalu menuju mereka.
            “Dinda kamu udah ngga apa-apa?” tanya ibuku yang masih panik.
            “Dinda udah ngga apa-apa kok ma, cuma leher Dinda sedikit sakit kayaknya tergores pisau yang arahkan ke leher Dinda kemarin.” jawabku lalu ikut duduk bersama semuanya.
            “Maafin mama ya Dinda, mama ngga denger teriakan kamu dan saat mama sadar kamu sudah pergi terlalu lama kamu sudah digendong oleh pria ini dengan keadaan pingsan.” ujar ibuku lalu duduk disampingku dan memelukku.
            “Ngga apa-apa ma, yang penting Dinda sekarang masih ada disini sama mama.” balasku memeluk ibuku yang tidak lama kami pun melepasnya bersamaan dengan senyuman yang terlihat diwajah ibuku.
            “O iya, terima kasih sudah menyelamatkanku. Kamu siapa? Bagaimana caramu untuk menyelamatkanku dari kedua pria itu?” tanyaku penasaran.
            “Namaku Candra, begini………..
*FLASHBACK ON(sudut pandang orang pertama tokoh Candra)*
            “Aku tahu siapa yang member kalian perintah, aku akan membayar kalian lebih jika kalian melepaskan gadis itu.”
            “Siapa kamu sebenarnya, kenapa kamu tahu bos kami dan bagaimana cara kami yakin kalau kamu akan membayar kami lebih?” ujar seorang pria yang awalnya mengarahkan pisau ke leher Dinda.
            “Bos kalian Rangga kan? Dia adikku, agar kalian yakin kalau aku akan membayar lebih aku sudah membawa uang yang jumlahnya dua kali lipat dari yang diberikan kepada kalian.”
           “Dia benar-benar tau nama bos kita.” bisik pria yang memegang Dinda kepada orang yang memegang pisau.
            “Bagaimana kami tau kalau uang yang ada di dalam tasmu itu benar-benar lebih dari yang bos kami berikan?”
            “Aku akan memperlihatkannya pada kaliat, dari jumlah kelihatannya sudah cukupkan tidak usah dihitung aku sudah menghitungnya dan aku tidak berbohong.” aku membukan isi tasku yang memang terdapat uang yang jumlahnya dua kali lipat dari jumlah uang yang dijanjikan oleh Rangga pada kedua orang itu.
            “Kayaknya dia ngga bohong, kenapa kakak adik ngga beda rencana gini ya? Memang cewek merubah segalanya.” ujar pria yang memegang Dinda agak pelan tapi cukup terdengar.
            “Baiklah, berikan dulu uang itu pada kami baru gadis ini kami lepas.” ujar pria yang memegang pisau.
            “Bagaimana aku bisa percaya kalau setelah aku berikan tas ini kalian tidak melakukan apa pun pada gadis itu?”
            “Kami melalukan ini demi uang, jadi kalo uang sudah ada buat apa kami melakukan ini?”
            “Baiklah aku harap kalian tidak bohong karena kalian akan tahu sendiri akibatnya jika berbohong.” Aku pun melempar tas yang berisi uang itu pada kedua pria tersebut. Pria yang memegang senjata langsung mengecek isi dalam tas itu sedangkan pria yang memegang Dinda menunggu perintah untuk melepaskan Dinda.
            “Oke ini uang asli. Lepaskan gadis itu.” ujar pria yang memegang tas dan Dinda pun dilempar. Aku segera menahan Dinda yang hampir terjatuh ke tanah.”
            Kedua pria itu mulai melangkahkan kaki keluar gerbang dengan wajah yang bahagia, mungkin karena mendapat uang milyaran. Sayangnya kebahagiaan kedua orang itu hanya sampai dua langkah diluar gerbang, karena mereka sudah disambut oleh polisi-polisi yang sengaja aku biarkan bersembunyi terlebih dahulu agar aku bisa memastikan kalau kedua pria itu memang diperintah oleh adikku. Polisi-polisi itu mulai datang dan bersembunyi saat Dinda pingsan.
*FLASHBACK OFF (sudut pandang orang pertama kembali ke Dinda)*
            “Kedua pria itu sudah dipenjarakan dan uang yang berasal dari khas polisi pun bisa kembali.” lanjutnya.
            Mendengar nama Rangga yang menjadi dalang dari semua ini mataku langsung berair dan mengeluarkan air mata. Ibuku yang menyadarinya langsung memelukku, yang membuat air mataku semakin deras mengalir.
            “Kenapa harus Rangga? Dia baik kepadaku selama ini? Kenapa?” tanyaku dalam hati.
            “Jangan nangis air mata kamu terlalu mahal untuk dia, Rangga bisa berbuat seperti itu karena ingin balas dendam atas meninggalnya almarhum mama. Sudah aku nasihati untuk tidak melakukan balas dendam tapi dia mengelak.”
            “Penyebab ibunya meninggal? Memang ulahku? Tapi dia ngga pernah bilang, dia hanya berkata kalau ibunya meninggal beberapa hari setelah aku meninggalkan rumah sakit.”
            “Sebenarnya ibu kami meninggal karena ayah kami yang tidak dapat mengeluarkan biaya untuk operasi, karena saat ingin melakukan operasi ayah kami malah dipecat tanpa diberi pesangon dan saat itu setahuku dan Rangga atasan ayah kami adalah ayah kamu Dinda jadi dia mebalaskan dendamnya kepada kamu.”
            “Saya atasannya? Saya tidak pernah memecat bawahan saya jika dia tidak melakukan kesalahan yang besar, tapi seingat saya beberapa hari setelah Dinda keluar dari rumah sakit beberapa tahun yang lalu saya tidak pernah memecat seseorang. Justru waktu itu saya naik jabatan dan jabatan saya sebelumnya sudah digantikan sebelum Dinda keluar rumah sakit.”
            “Sudah saya duga bapak pasti bukan orang yang seperti itu, berarti atasan ayah saya sudah berganti waktu itu dan ayah tidak sempat memberitahu kami atasannya yang baru. Karena saat ia masih bekerja di perusahaan itu hanya nama bapak yang disebut oleh ayah kami karena kebaikan bapak sebagai atasnya jadi yang dikenal oleh Rangga hanya nama bapak. Atas nama adik saya, saya memohon maaf atas perbuatan adik saya. Saya pasti akan memberikannya pelajaran, saya akan memenjarakannya atas dasar percobaan pembunuhan.”
            “Jangan!” ujarku agak berteriak.
            “Dinda? Dia sudah mencoba membunuhmu kenapa kamu masih membelanya?” ujar ibuku.
            “Dia baik sama Dinda ma, beberapa tahun yang lalu saat Dinda dirawat dia yang nemenin Dinda kalau mama dan papa sibuk kerja dan sekarang saat di SMA pun dia selalu ngejaga Dinda ma, Dinda yakin dia ngga bermaksud membunuh Dinda dia hanya belum ikhlas dengan kepergian ibunya.”
            “Dinda..” ibuku mencoba menenangkanku yang terus menangis dengan memelukku.
            “Hati anak ibu dan bapak memang benar-benar baik, sekali lagi maafkan kelakuan adik saya dan saya yang tidak bisa menjaga adik saya.”
            “Kami juga mengucapka terimakasih karena telah menyelamatkan Dinda.” ujar ayahku sembari memandangiku.
            “Kalau begitu saya permisi dan terimakasih karena sudah memaafkan adik saya.” ujar kak Candra dengan tersenyum.
            “Kalau boleh Dinda pengen ketemu Rangga kak.”
            “Dia ada diluar gerbang sejak tadi, karena menunggu keputusan dari kamu dan keluarga untuk hidupnya.”
            “Ma Pa Dinda pengen ketemu Rangga.” pintaku sembari memandang kedua orang tuaku satu persatu.
            “Tenang saja ada saya kok bu pak saya pasti ngejaga Dinda.”
            “Ba..baiklah, tapi jangan lama-lama yang sayang dan kamu harus kembali lagi kesini.”
            “Iya ma.” ujarku tersenyum.
            Aku dan kak Candra pun keluar.
            “Kalau kamu masih merasa takut dan trauma gara-gara kejadian di taman dan di halaman kamu, kamu bisa manggil aku kapan aja kok.” ujar kak Candra tersenyum.
            “Kok tahu kejadian yang di taman, jangan-jangan yang waktu itu menyelamatkaku juga kakak?” tanyaku yang hanya dibalas dengan senyuman oleh kak Candra.
            “Pantas saja waktu itu tidak ada bekas luka berkelahi sama sekali pada wajah Rangga ternyata.. tapi kenapa Rangga begitu baik kepadaku kalau dia ingin membunuhku?” ujarku dalam hati.
            “Makasih ya kak.” ujarku.
            Saat sampai di gerbang, ternyata benar ada Rangga disana. Terlihat wajah Rangga yang merasa bersalah, ketakutan, dan khawatir.
            “Maafin aku Dinda, aku salah maafin aku.” ujarnya menangis dan berlutut di hadapanku.
            Aku tidak bisa berkata apa-apa karena aku masih tidak percaya kalau dalang dari semua yang aku alami adalah Rangga. Melihat aku yang tidak bisa berkata apa-apa akhirnya kak Candra yang membantuku menjawab.
            “Dia sudah memaafkanmu, apa kamu sudah bisa berpikir sekarang? Dia baik, padahal nyawanya sering terancam akibat olehmu belum lagi yang penyakitnya jadi kambuh lagi akibat kamu. Dan ternyata apa? Atasan ayah waktu itu bukan ayah Dinda, kamu salah besar Rangga.”
            “Maafin Rangga kak, Rangga ngga pernah menyelidikin atasan ayah terlebih dahulu dan langsung merencanakan semua rencana jahat pada Dinda. Maafin Rangga yang ngga pernah denger kata-kata kakak. Maafin aku Din.” ujarnya dengan air mata yang terus menetes ke tanah.
            “Kamu denger kata-kata kakak kamu kan? Aku udah maafin kamu adik besar, ayo bangun nanti tinggi kamu kalah dari aku.” jawabku dengan tersenyum dan mencoba menerima semuanya walaupun dada tiba-tiba terasa sakit karena terkejut.
            Aku pun mengangkat bahu Rangga agar dia berdiri, dan mengusap air matanya. Tidak lama Rangga menatapku dia langsung memelukku.
            “Maafin aku Din, aku sayang kamu tapi dendamku yang membuat rasa sayangku aku kesampingkan. Aku sering bersedih setiap pergi dari rumah kamu, kenapa harus ayah kamu penyebab kematian ibuku? Dan ternyata bukan ayahmu, tindakanku benar-benar sudah tidak bisa dimaafkan Din.”
            “Udah Rangga, buktinya aku bisa maafin kamu kok. Aku tahu perasaan kamu, rasa kehilangan itu pasti menyakitkan.”
            “Iya sangat menyakitkan, dan hamper saja aku kehilangan satu wanita yang berharga lagi dihidupku.” ujarnya mencium keningku lalu memelukku beberapa detik setelah melepasnya dia memegang kedua bahuku dengan kedua tangannya.
            “Walaupun kamu sudah memaafkan aku, aku harus tetap dipenjara karena melakukan percobaan pembunuhan terhadap kamu Din. Aku akan mempertanggung jawabkan perbuatanku.” ujarnya dengan tatapan tajam yang membuatku tak bisa berkata apa-apa. Dia pun melepaskan tangannya dari bahuku dan memberikan kedua tangannya kepada kakaknya kak Candra yang seorang polisi.
            “Aku menyerahkan diri kak.”
            “Kak ngga bisa memenjarai kamu sekarang berhubung keluarga Dinda juga tidak menggugat kamu, jadi untuk sekarang kamu kakak biarkan. Tapi setelah lulus sekolah kakak tunggu kamu di kantor.”
            “Jangan mentang-mentang aku adik kakak jadi dibebasin dong kak, mana nih tanggung jawab kakak sebagai polisi?”
            “Hukuman kamu kakak ganti aja, daripada dipenjara mending kamu harus jadi bodyguard-nya Dinda selama-lamanya.”
            “Kalau itu mah bukan hukuman kak, dengan senang hati aku jalanin. Aku janji bakal ngejaga Dinda selamanya.” ujar Rangga tersenyum sembari menatapku.
            Terlalu lama ditahan dadaku benar-benar sakit kali ini. “Kenapa? Padahal aku sudah tidak terkejut. Sakit, sakiit.” ujarku dalam hati pandanganku mulai buram tubuhku mulai melemas, terlihat Rangga dan kakaknya yang awalya tersenyum mulai memasang wajah panik. Tidak lama kemudian aku pun pingsan.
            Saat tersadar aku sudah berada di rumah sakit, orang tuaku berada disampiingku berserta Rangga dan kakaknya pun ada disampingku. Semua memasang wajah panik, kedua orang tua ku menangis ini pertama kalinya aku melihat ayah menangis setelah terakhir kali aku benar-benar menghabiskan waktu yang lama di rumah sakit, Rangga pun menangis dan memukul-mukul tangannya ke tembok.
            “Semuanya kenapa?” tanyaku dengan menahan rasa sakit di dadaku yang semakin menjadi-jadi. Sebelum mereka semua menjawab pandanganku sudah buram dan tidak sadarkan diri kembali.
           Ternyata pisau yang ditusukkan pria tadi malam beracun, racun yang dapat merangsang penyakit jantungku. Karena Rangga sudah tau kalau aku memiliki penyakit jantung maka dengan mudah dia tahu kelemahanku.
            Suster dan dokter masuk ke kamar Dinda, semua yang tadi berada di kamar keluar ruangan.
           “Ini salah aku, hukum mati aku kak. Kenapa aku bisa lupa dengan racun itu? Maafin aku Dinda, maafin aku.”  ujar Rangga emosi.
            “Kamu tenangin diri kamu, racun ini pasti ada obatnya kan? Cepet kasih tahu penawarnya cepet sebelum terlanbat.”
            “Ini sudah terlanbat kak, penawar itu bisa berfungsi kalau Dinda belum merasakan sakit. Saat Dinda merasakan sakit obat itu benar-benar sudah sampai ke jantung Dinda.” Rangga terus menangis dan duduk bersandar ke dinding koridor rumah sakit dengan memukul-mukul lantai.
            “Makanya kamu sebelum buat rencana pembunuhan tu mikir dulu!” sentak ayahku pada Rangga.
            “Gara-gara kecerobohan kamu kami akan kehilanga Dinda, kami akan kehilangan anak kami satu-satunya. Puas kamu bisa membuat kami merasakan hal sama saat ibumu pergi hah!” lanjut ayahku.
            “Sudah pa sudah.” ibu Dinda mencoba menenagkan.
            Satu jam kemudia, dokter dan pada suster keluar ruangan. Semua menyambut dokter tersebut dan menanyakan keadaan Dinda.
            “Suatu keajaiban detak jantungnya kembali normal, tapi keadaanya masih tidak sadarkan diri.”
            Semua memasang wajah lega saat mendengar detak jantung Dinda kembali normal.
            “Apa kami boleh masuk?” ujar ibu Dinda.
            “Tentu saja.” ujar dokter itu.
            “Terimakasih dok.”
            “Sama-sama”
            Setelah dokter itu pergi, kedua orang tua Dinda, Rangga da Candra masuk ke kamar Dinda lagi. Semuanya hanya bisa terdiam melihat keadaan Dinda yang terbaring lemah.
            “Kak kamu ngga ada tugas hari ini?”
            “Tugas kakak hari ini cuma ngurus kasus kamu.”
            “Ampe segitunya.”
            Malam pun tiba dan Dinda masih belum sadarkan diri, Rangga menawarkan diri untuk menjaga Dinda karena Dinda bisa seperti ini karena salahnya jadi Rangga merasa ini tanggung jawabnya dan membiarkan orang tua Dinda beserta kakaknya untuk pulang dan beristirahat di rumah.
            “Bagaimana bisa saya percaya kepada orang yang sudah melakukan percobaan pembunuhan pada anak saya untuk menjaga anak saya?” ujar ayah Dinda.
            “Bapak boleh melakukan apa pun terhadap saya jika saya melalukan hal yang membahayakan Dinda lagi, saya mencintai Dinda pak saya benar-benar menyesal sudah melakukan hal-hal yang buruk pada Dinda.”
            “Percayakan Dinda pada adik saya pak, saya yakin adik saya sudah benar-benar menyesal.” bela Candra.
            “Baiklah kalau begitu kami pulang dulu, kamu harus bener-bener ngejaga Dinda.”
            “Siap pak.”
            Orang tua Dinda dan Candra pun pergi meninggalkan ruangan, hanya ada Rangga dan Dinda seperti sepuluh tahun yang lalu hanya ada mereka berdua di ruangan itu hanya ada Rangga yang menemani Dinda.
            Satu minggu pun berlalu Dinda masih tidak sadarkan diri, Rangga dan kedua orang tuanya benar-benar mengkhawatirka keadaan Dinda.
            “Ayolah nak, sadar mama tidak tega melihat kamu dipasang alat sebanyak itu untuk membantu kamu bertahan pasti rasanya sakit. Kalau kamu memang sudah tidak kuat mama rela kok kamu pergi, tapi jangan seperti ini. Mama bener-bener ngga tega ngeliat kamu disiksa oleh alat-alat bantu rumah sakit ini.” ujar ibuku menangis.
            “Iya nak, papa juga rela kalau memang kamu udah bener-bener ngga kuat, daripada kamu terus menahan rasa sakit akibat alat-alat rumah sakit ini.”
            “Oke Din aku juga rela, meskipun rasanya pasti menyakitkan harus kehilangan wanita yang berharga untuk kedua kalinya.”
            Beberapa menit kemudian, jari-jari Dinda mulai bergerak menandakan Dinda akan sadarkan diri. Tidak lama kemudian, mata Dinda yang mulai terbuka lalu memandang semuanya. Terlihat Dinda ingin berbicara sesuatu tetapi sulit karena alat-alat dimulutnya, Dinda mencoba melepaskan alat-alat itu.
            “Jangan dilepas sayang, nanti..” ujar ibu Dinda terpotong.
            “Inget mama udah ikhlas, mungkin Dinda ingin mengatakan kata-kata terakhirnya.” sela ayah Dinda menahan gerakan ibu Dinda lalu membantu Dinda melepaskan alat-alat yang membuatnya merasa sakit.
            Setelah alat-alat yang menghalanginya berbicara terlepas, Dinda pun mulai mencoba berbicara.
            “Mm.ma, pa, Ra..Rang..ga, Din..da sa..sa…yang sama kalian.  Wa..walaupun Dinda ha..rus pergi sekarang, Din..da udah seneng banget bisa dikasih waktu hidup sampai de..tik ini dan melihat mama dan papa ada disini. Dan kamu Rangga makasih u..dah ngejaga aku dan memeberi kasih sayang tambahan kepadaku, aku juga sa..yang kamu Rang..ga. Maafin Dinda ya ma pa, belum bisa ngebahagian mama dan papa sampai akhir hayat Dinda, padahal itu cita-cita Dinda.”
            “Mama dan papa udah seneng kok selama ini.” ujar ibu Dinda menangis.
            “Dinda pe..pengen ngeliat kalian tersenyum sebelum Dinda pergi.”
            “Bisa tersenyum gimana Din? Kami bakal kehilangan kamu.” ujar Rangga menangis.
            Tangan Dinda mencoba meraih Rangga yang membuat Rangga mendekat agar Dinda tidak banyak bergerak. Saat sudah terjangkau Dinda menarik Rangga kepelukannya.
            “Te..rimakasih karena sudah membuatku merasakan jatuh cinta untuk pertama dan terakhir kalinya.” ujarku lalu mencium kepala Rangga.
            Setelah melepas Rangga, Dinda mencoba meraih kedua orang tuanya yang membuat kedua orang tuanya mendekat, dengan cara yang sama Dinda memeluk kedua orang tuanya.
            “Dinda sayang sama mama dan papa, jangan bersedih ya pas Dinda ngga ada, Dinda se..lalu ada sama mama dan papa di hati mama dan papa.” pelukan untuk orang tuanya lebih lama dibanding saat untuk Rangga.
            “Ayo dong se..muanya tersenyum biar Dinda bisa pe.. pergi dengan bahagia.” ujarku dengan tersenyum.
            Semuanya pun memasang wajah tersenyum dan menahan tangis hingga akhirnya keluar kata “terimakasih” dari mulut Dinda lalu diikuti dengan mata Dinda yang mulai terpejam dengan air yang menetes dari mata Dinda. Setelah Dinda terpejam semua menangis, air mata yang mereka tahan benar-benar sudah tidak terbendung melihat Dinda benar-benar pergi walau pun pergi dengan tangis bahagia.
            “Dan akhirnya aku benar-benar kehilangan dua wanita berharga dalam hidupku, selamat tinggal Dinda semoga kamu tenang disana.” ujar Rangga.
            “Maaf ma kelakuan Rangga yang satu ini pasti bener-bener ngebuat mama kecewa.” lanjutnya.

Tamat

You May Also Like

2 comments