• Home
  • Fanfictions
    • Naruto
    • Sword Art Online
  • Short Stories
    • Teens
    • Romance
    • Comedy
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Ru'fatiani Blog

Diclaimer       : Masashi Kishimoto
Author            : Ru’fatiani
Pair                 : NaruHina (Naruto x Hinata), GaaHina (Gaara x Hinata)
Genre             : Niatnya sih romance & sedih gitu. xD
Warning         : OOT, Typo(s), OOC, gaje, school live, dll
                         ~ Don’t Like Don’t Read ! ~

            “Aku yakin kali ini kamu pasti datang, Naruto-kun”
            Terlihat seorang gadis berambut panjang berwarna biru gelap yang sedang duduk disalah satu bangku taman. Sudah sekitar satu jam gadis itu terus menunggu sendirian ditengah – tengah  orang yang berlalu lalang. Mata lavendernya terus memandangi arah dimana orang yang dia tunggu akan datang.
            Lima belas menit kemudian terlihat seorang pria berambung kuning dan tinggi datang dari arah tersebut.
            “Naruto-kun” ujar gadis itu tersenyum lalu berdiri dari bangku dan melambaikan tangannya untuk member tahu posisinya karena terlihat pria itu terus melihat sekeliling seolah mencari sosok gadis tersebut.
            Akhirnya Naruto pria berambut kuning itu berlari menghampirinya.
            “Gomen, Hinata-chan. Hhehe” ujar Naruto dengan wajah polosnya dengan menggaruk-garuk kepalanya.
            “Daijoubu Naruto-kun, kamu datang juga sudah membuatku senang” balasnya dengan tersenyum.
            “Kamu memang baik Hinata-chan tidak salah aku menjadikanmu pacar dan calon istriku kelak.”
            Mendengar Naruto berkata seperti itu Hinata hanya tersenyum, tersenyum bahagia karena Hitana juga mengharapkan hal itu terjadi.
            Dari awal masuk Konoha High School Hinata sudah jatuh hati pada Naruto, sifat Naruto yang periang, lucu dan jail selalu membuatnya bahagia saat memperhatikan tiap tingkah lakunya. Dan ternyata setelah satu tahun sekolah disana Naruto juga memiliki perasaan yang sama terhadap Hinata, walaupun Hinata tak se-aktif Naruto tapi justru malah sifat pendiam dan baik hati dari Hinatalah yan membuat Naruto tertarik dengannya. Mereka jadian saat menginjak kelas dua semester dua, karena saat kelas satu mereka tidak sekelas dan hanya bertemu dan kenal saat ada kumpul untuk seluruh siswa. Dan saat kelas dua ternyata mereka di takdirkan untuk sekelas, setengah tahun dijadikan Naruto untuk waktu PDKT dengan Hinata, dan pada semester dua akhirnya Naruto berani ngungkapkan perasaannya pada Hinata.
            Sekarang mereka sudah kelas tiga, yang berarti sudah sekitar enam bulan mereka menjalin hubungan. Terkadang sifat egois dari masing-masing membuat hubungan mereka terhenti untuk sesaat tetapi karena rasa sayang yang begitu besar, tak lama dari itu mereka kembali bersama lagi.
            “Sekarang kamu ingin pergi kemana Hinata-chan.”
            “Terserah, asalkan sama kamu” jawab Hinata malu-malu.
            “Kita tunggu festival kembang api saja, yang belum lama lagi akan diadakan disini. Sambil menunggu, kita ke…”  Naruto mengernyitkan(?) dahi dan melihat sekeliling tanda bahwa dia sedang berpikir.
            “Nah ke sana saja” lanjut Naruto dengan menunjuk tempat yang akan mereka tuju.
            “Eh?”
            Belum sempat menjawab tangan Hinata sudah ditarik oleh Naruto untuk pergi ke tempat yang Naruto tunjuk tadi.
            Tidak salah Naruto membawa Hinata ke tempat ini. Tempat makanan kesukaan Naruto, ramen ichiraku. Karena tempatnya juga memang tidak jauh dari taman ytempat kami bertemu. Mereka pun duduk dan memesan menu.
            “Aku tahu kamu pasti lapar Hinata-chan karena sudah menungguku terlalu lama.”
            “Eh? Eto..”
            “Ngga usah malu-malu, kamu tu harus belajar ngga sungkan buat minta apaapun sama aku. Aku kan calon suami kamu.” ujarnya dengan bangga.
            Mendengar perkataan itu lagi hanya membuat wajah Hinata memerah dan membuatnya tak bisa berkata apapun.
            Tidak lama kemudian mereka pun memakan ramen yang sudah mereka pesan, sembari mengobrol dan bercanda layaknya seorang kekasih.
            Selesai memakan ramen yang mereka pesan, mereka menuju taman tadi lagi. Pas sekali saat mereka sampai, saat festival hanabi tersebut dimulai. Pemandangan kembang api warna – warni yang menghiasi langit sangat membuat Hinata terkagum, sangat indah melihat ada percikan – percikan api berwarna – warni di langit apalangi dengan jumlah yang banyak dan jenis ledakan yang berbeda.
            Tidak terasa malam sudah semakin larut, Naruto harus segera membawa pulang Hinata karena kalau tidak acara berikutnya Naruto tidak akan bisa membawa Hinata main lagi.
            “Sudah malam Hinata-chan, ayo pulang.”
            “I..iya” balas Hinata dengan pandangan yang masih melihat ke langit.
            “Baiklah sebentar lagi” ujar Naruto seolah mengerti kalau Hinata belum ingin pulang.
            “Ti.. tidak, ayo pulang” Hinata mulai melepas pandangannya dan berjalan menuju arah pulang.
            “Yakin? Baiklah”
            Mereka pun pulang bersama, walaupun arah rumah Naruto dan Hinata berbeda jauh Naruto tertap mengantar Hinata pulang ke rumahnya terlebih dahulu sehingga mereka menaiki bis yang menuju arah rumah Hinata.
            Jarumnya sudah menunjuk angka sepuluh, jalanan macet karena ada festival tersebut. Karena sudah tidak tahan menahan kantuk tak sadar Hinata menyenderkan kepalanya pada bahu Naruto dan tertidur pulas.
            “Kamu pasti lelah sekali Hinata-chan” ujar Naruto dalam hati sembari mengelus lembut kepala Hinata.
            Setengah jam kemudian mereka pun sampai di depan rumah Hinata, Naruto membangunkannya dengan perlahan. Setelah Hinata sadar, mereka pun turun dari bis tersebut dan disabtuk oleh kedua orang tua Hinata yang sudah menunggu di depan pintu rumah.
            “Maaf tante om tadi macet.” ujar Naruto berusaha membela diri.
            “Tadi juga Hinata emang pengen lebih lama ngeliat kembang apinya ma pa.”
            “Ya sudah cepat masuk dan istirahat, dan kamu Naruto lain kali pulang tidak boleh lebih dari jam 10 malam.”
            “Siap om.”
            Hinata dan keluarganya pun masuk ke dalam rumah, sebelum masuk Hinata menoleh kebelakang dan terlihat Naruto masih memandanginya.
            “Makasih untuk hari ini.” ujar Hinata agak berbisik tapi Naruto bisa mengerti perkataannya.
            “Sama-sama, Hinata-chan” balasnya sembari melambaikan tangan lalu pulang dengan bis yang berbeda.
            Esok hari pun tiba, saatnya masuk sekolah seperti biasa. Karena letak rumah mereka yang berjauhan Naruto dan Hinata tidak pernah pergi beresama untuk sekolah mereka selalu bertemu jika di kelas, mereka pun tidak duduk bersama sehingga waktu mengobrol hanya ada saat waktu istirahat dan saat pulang sekolah.
            Saat waktu istirahat tiba, tidak biasanya Naruto langsung menghampirinya dengan wajah cemas.
            “Hinata-chan, semalam aku bermimpi buruk. Aku bermimpi kalau kamu ingin menikah dengan pria lain.”
            “Itukan cuma mimpi, aku ngga deket sama pria lain kok cuma kamu pria yang deket sama aku.”
            “Syukurlah, aku takut kamu selingkuh. Ngga akan kan? Kamu setia kan?”
            “Emang mukaku ada tampang selingkuh?”
            “Ngga sih sampai saat ini kamu aku anggep baik.”
            “Sampai saat ini? Cuma gara-gara mimpi kepercayaan kamu berkurang?”
            “Ngga, aku percaya kok sama kamu Hinata-chan tapii..”
            “Itu cuma mimpi Naruto-kun.”
            “Tapi itu benar-benar mimpi buruk.”
            “Aku ngga akan ngelakuin itu, kamu percaya kan sama aku?”
            “Iya deh.” Naruto pun pergi ke tempat duduknya lagi.
            “Ngga nyangka cuma gara-gara mimpi kepercayaan kamu berkurang sama aku, sampai-sampai kamu mempertanyakan kesetiaan aku. Padahal aku saja belum pernah sama sekali menanyakan itu, karena tanpa harus bertanya aku sudah percaya padamu Naruto-kun tapi kamu malah..” keluh Hinata dalam hati.
            Waktu pulang sekolah tiba, untuk pertama kalinya juga Naruto tidak langsung menghampiriku dia malah keluar kelas begitu saja.
            “Apa Naruto masih tidak mempercayaiku?” ujar Hinata dalam hati.
            “Hinata sepertinya Naruto pulang lebih dulu kalian ada masalah? Mau pulang bersamaku?” terdengar suara dengan nada datar yang agak asing terdengar ditelinga Hinata seorang pria berambut merah tiba-tiba berdiri dibelakangnya. Untuk pertama kali pria itu bertanya pada Hinata walaupun Hinata sering menyadari kalau pria itu sering memperhatikannya.
            “Eh? Gaara-kun? Ti..tidak, aku bisa pulang sendiri”
            “Baiklah” tanpa berbicara panjang lebar Gaara pergi begitu saja walaupun terlihat Gaara masih melirik kebelangang.
            “Apa dia benar-benar pulang duluan? Hhmm sudahlah, waktunya aku juga pulang”
            Hinata pun pulang sendiri karena memang tidak ada teman sekelas yang satu arah dengan rumahnya. Saat dia sudah sampai di gerbang sekolah ternyata terlihat Gaara masih berada disana dengan motornya.
            “Belum pulang?” tanya Hinata.
            “Aku nunggu kamu. Ayo naik” perintahnya dengan wajah yang masih datar.
            “Eh? Kan aku bilang..”
            “Sudah ayo naik.” tangan Gaara menarik tangan Hinata agar naik ke motornya.
            Mereka pun pulang bersama, dan selama perjalanan tidak ada pembicaraan sama sekali. Saa sudah sampai setengah perjalanan terlihat Naruto yang berada di dalam bis menuju ke arah sekolah. Hinata melihat Naruuto dan Naruto pun melihat kearahnya, melihat siapa yang mengantar Hinata Naruto memasang wajah kesal dan membuat Hinata merasa bersalah.
            “Aku turun disini sana Gaara-kun” pintanya.
            “Tapi rumahmu masih jauh dari sini kan?”
            “Aku bisa naik bis kok,, aku mohon turunin aku.”
            “Baiklah.”
            Motor Gaara pun terhenti, Hinata turun dari motor Gaara lalu mengucapkan terimakasih. Awalnya Gaara menyruhnya untuk naik kembali tapi Hinata tetap memaksa ingin pulang sendiri.
            “Baiklah kalau kamu tetap ingin sendiri. Hati-hati” ujar Gaara lalu pergi.
            Akhirnya Hinata pun berjalan sendiri menunggu bis ke arah rumahnya lewat, karena saat iya meminta turun Gaara tidak langsung berhenti tapi malah berhenti saat sudah bukan dijalur kendaraan umum terpaksa Hinata harus berjalan berbalik arah hingga menemukan jalan umum tersebut yang jaraknya lumayan jauh.
            Karena ini merupakan jalan pintas yang hanya bisa dilalui motor, jalanannya terlihat sepi dan tidak ada rumah penduduk disekitarnya. Tiba-tiba ada suara pejalan kaki yang berjalan di belakangnya, terdengar dari suaranya pejalan kaki tersebut lebih dari satu orang. Saat Hinata berhenti suara langkah tersebut ikut berhenti, menyadari hal tersebut Hinata berpikir orang tersebt mempunyai niat buruk dan Hinata pun mempercepat langkahnya. Tapi ternyata mempercepat langah bukan pilihan terbaik, orang yang ngikuti Hinata malah berlari dan langsung menyepung Hinata, jumlah orang tersebut ada empat orang dengan pakaikan yang berantakan. Hinata mulai panik karena lokasinya sekarang benar-benar tidak menguntungkannya, didepannya malah hanya ada terowongan. Hinata mencoba berteriak tapi percuma tidak ada satu orang pun yang melewati tempat itu. Salah satu pria mulai mendekati Hinata, Hinata benar-benar tidak bisa bergerak kemanapun dia hanya punya pilihan lari keterowongan atau terus jalan kembali ke tempat dia diturunkan.
            “Ngga usah takut, kita ngga ngapa-ngapain kok.” ujar salah satu pria yang mulai menyentuh pipi Hinata.
            “Tooloooongg!!!” dengan lebih keras Hinata mencoba berteriak.
            “Ssstt jangan berisik ah, kita cuma mau bersenang-senang kok dan pasti kamu juga nikmatin. Hhahaha”
            Hinata mencoba melawan, menginjak salah satu kaki dari pria yang mendekatinya. Saat pria itu kesakitan Hinata mencoba berlari, tapi usahanya gagal empat lawan satu memang tidak mungkin. Hinata malah dikejar bagian belakang lututnya ditekuk oleh kaki salah satu pria yang tetap dibelakangnya, membuat Hinata terjatuh dan lututnya terlukan karena memang jalannya penuh dengan bebatuan. Saat Hinata terjatuh dan membalikkan badannya kedua kaki Hinata langsung ditahan oleh pria itu dan diikat. Sedangkan pria yang lain mencoba mengikat kedua tangannya. Stelah diikat Hinata pun ditarik secara paksa kedalam terowongan dengan cahaya yang redup. Tubuh Hinata disudutkan pada tembok, Hinata hanya terus berusaha teriak dan menangis sedangkan pria – pria itu malah mulai mengantri untuk menikmati tubuh Hinata. Salah satu pria mulai memainkan rambut biru gelap milik Hinata lalu menyentuh wajah Hinata.
            Dari arah tempat Hinata diturunkan terlihat sebuah motor dengan kecepatan tinggi datang kearah terowongan. Cahaya motor yang datang membuat kegiatan pada pria itu berhenti sejenak. Motor itu pun berhenti tepat dihadapan para pria itu, lalu turun dan menghajar semua satu per satu.
            “Gaara-kun?” ujar Hinata sembari terus menangis.
            Tidak lama mereka berkelahi pria-pria itu kalah dan pergi meninggalkan terowongan itu, walaupun ada sedikit memar di wajah Gaara. Gaara langsung membuka tali yang mengikat tangan dan kaki Hinata.
            “Kamu ngga apa-apa? Mereka belum menyentuh tubuh kamu kan?” tanya Gaara dengan wajah panik.
            “Makasih Gaara-kun” setelah tali ditangannya dilepas Hinata reflek memeluk Gaara sembari terus menangis.
            “Maafin aku ninggalin kamu ditempat ini, aku lupa kalau tempat ini selalu sepi.”
            “Maafin aku juga karena udah memaksa kamu buat nurunin aku.” Hinata melepas pelukannya.
            “Ya udah sekarang aku antar kamu pulang ya? Ngga nerima alesan buat nolak lagi”
            “He.emhh”
            Mereka berdua pun pergi bersama, sepanjang jalan Hinata terus memegang baju pada bagian pinggang Gaara dan menyenderkan kepalanya pada bahu Gaara seolah tidak ingin ditinggalkan lagi. Pengalaman hari ini adalah pengalaman terburuk Hinata, wajar saja kalau Hinata sangat ketakutan dan trauma.
            “Eh? Arah rumahku bukan ke sini tapi kesana.” ujar Hinata melepaskan pegangannya dan menegakkan kepalanya.
            “Aku tidak ingin membawamu pulang dengan keadaan seperti ini, yang ada orang tua kamu akan berpikir macam-macam.”
            Hinata hanya terdiam dan menuruti apa perkataan Gaara.
            Mereka pun sampai disebuah tempat makan, dan memesan makanan. Tiap Hinata melihat luka yang ada diwajah Gaara, Hinata selalu merasa bersalah.
            “Apa sebaiknya kita ngga pulang dulu buat ngewarat luka kamu?”
            “Ngga usah, cuma luka kecil nanti juga hilang”
            Pesanan mereka pun datang. Hinata benar-benar sudah merasa nyaman karena Gaara ada menemaninya. Kejadian buruk tadi seolah sudah menghilang dipikiran Hinata.
            “Orang kedua yang bisa membuatku merasa nyaman setelah Naruto.” ujar Hinata dalam hati.
            “Naruto?!” teriak Hinata pelan yang cukup membuat Gaara terkejut.
            “Kenapa dengan Naruto?”
            “Ah? Ti..tidak.” jawabnya. “Kalau Naruto tahu sekarang aku sama Gaara dia pasti akan semakin tidak percaya kepadaku.” lanjutnya dalam hati.
            Setelah makanan yang mereka makan habis, Hinata langsung mengajak Gaara untuk pulang karena memang hati Hinata sudah merasa seperti biasa. Melihat yang memang Hinata sudah seperti biasa akhirnya Gaara menuruti permintaannya.
            Mereka pun pulang bersama, seolah pernah ke rumah Hinata tanpat Hinata memberitahu letaknya Gaara sudah bisa mengantarnya tetap di depan rumahnya. Hinata pun turun dari motor Gaara.
            “Sekali lagi terimakasih”
            “Sama-sama”
            “Hati-hati”
            Gaara hanya membalasnya dengan tersenyum, lalu pergi.
            “Eh? Baru pertama aku melihat dia tersenyum. Hah yang jelas ini akan menjadi masalah besar besok” keluhnya dalam hati.
            Esok hari pun tiba, dan ternyata apa yang dikatakan Hinata benar Naruto benar-benar marah padanya, saat istirahat pun Naruto tidak menghampirinya sama sekali. Akhirnya saat pulang sekolah Hinata memberanikan diri untuk menghampirinya.
            “Naruto-kun”
            “Apa? Enak ya dianter pulang sama Gaara?”
            “I..itu.. Sebenarnya..”
            “Mau ngejelasin apa lagi? Aku ngga nyangka ya, baru aja kemarin kamu nyuruh aku percaya sama kamu, ternyata kemarin juga kamu selingkuh dari aku. Atau jangan-jangan emang udah lama cuma baru keliatan aja? Cih.”
            “Bu..bukan begitu, kemariinn…”
            “Udahlah aku ngga butuh penjelasan kamu, aku nyesel ngejadiin kamu pacar udah kita akhiri aja.”
            “Ta..pi.. Naruto-kun?” Mata lavender Hinata mulai dibanjiri oleh air berwarna bening sedangkan Naruto langsung meninggalkannya.
            “Aku masih sayang sama kamu Naruto-kun” ujar Hinata pelan lalu perlahan berlutut di lantai.
           “Kenapa kamu selalu ngga mau denger penjelasan aku? Udah kesekian kalinya kamu seperti ini. Aku masih sayang kamu Naruto-kun.” ujar Hinata dalam hati lalu menangis.
            “Mau aku antar lagi?” ujar seorang pria berambut merah yang berdiri dihadapannya.
            “Gaara-kun?”
            “Aku anggap itu jawaban mau” Gaara pun menarik tangan Hinata agar Hinata berdiri lalu menguspa air matanya.
            “Air mata kamu terlalu mahal untuk dia”
            Hinata hanya terdiam, lalu Gaara pun menarik tangan Hinata lalu mengantarnya pulang.
            Dari kejauhan melihat Hinata pulang lagi bersama Gaara, ada perasaan sakit di hati Naruto.
            “Udahlah Naruto, buat dia udah bukan milik kamu. Lagi pula untuk apa terus bersama wanita tukang selingkuh” ujar Naruto dalam hati lalu mengabaikan pandangannya.
              Hinata pun diantar oleh Gaara sampai rumah, dan kali ini Hinata tidak meminta turun karena alesan waktu itu Hinata meminta turun adalah untuk menjaga perasaan Naruto tapi sekarang seseorang yang ia ingin jaga perasaannya sudah bukan jadi miliknya lagi.
            Sesampai di rumah Hinata langsung mengurung diri di kamar, mengenang tiap kejadian bersama Naruto. Walau tidak jarang mereka bertengkar karena keegoisan mereka masing-masing. Walaupun terkadang kata-kata Naruto sering membuat hati Hinata terluka ditambah Naruto yang sering tidak mengakui kesalahannya. Naruto hanya menagkui kesalahan yang memang dia lakukan dengan organ tubuhnya, kesalahan yang hanya dia lakukan karena perkataannya tidak pernah dia anggap sebagai sebuah kesalahan. Malah dia menyalahkan Hinata karena terlalu gampang sakit hati. Tapi untuk sifat Narto yang satu ini Hinata sering berusaha bersabar dan mencoba menerimanya walau terkadang Hinata ingin Naruto memahaminya, Hinata ingin Naruto yang mencoba menjaga hatinya agar tidak terluka, bukan malah terus menyalahkannya karena memang hati Hinata yang mudah terluka. Tapi semua itu sudah percuma, semua yang Hinata inginkan sudah tidak mungkin terjadi, Naruto sudah marah besar dan tidak mungkin bisa memaafkan Hinata walaupun sebernanya bukan sepenuhnya kesalahan Hinata.
            Esok hari pun tiba.
            “Cih, mimpi buruk itu lagi. Atau mungkin sekarang mimpi buruk itu sudah menjadi kenyataan.” ketus Naruto saat baru saja terbangun dari tidurnya.
            Sesampai di sekolah Naruto dan Hinata tidak saling sapa sama sekali, tapi lebih tepatnya Naruto yang selalu menghindari Hinata. Karena Hinata sudah tidak sering bersama Naruto lagi akhirnya yang sering bersama Hinata adalah Gaara. Gaara memang sering memperhatikan Hinata dan menyimpan perasaan pada Hinata, hanya saja Hinata lebih memilih Naruto daripada dia sehingga dia mengurungkan niat untuk mendekati Hinata sampai waktu yang tepat. Dan sekarang adalah waktu yang tepat menurutnya.
            Satu bulan pun berlalu, Hinata dan Naruto benar-benar sudah saling menjauh seolah tidak pernah kenal dan tidak pernah memiliki hubungan apapun. Sedangkan Gaara semakin dekat dengan Hinata, Gaara yang asalnya pendiam jarang bersosialisasi dengan anak kelas sekarang sering mengorbol di kelas dengan Hinata dan bercanda bersama. Naruto yang melihat hal tersebut hanya bisa mengepalkan kedua tangannya dan meninggalkan kelas.
            Sepulang sekolah Gaara mengajak Hinata main kesuatu tempat yang cukup indah, yaitu ke pantai. Jarak dari sekolah ke pantai memang cukup jauh tapi itu cukup untuk sampai tepat saat matahari terbenam.
            “Indahnya” ujar Hinata.
            “Iya, tapi ada yang lebih indah dari ini”
            “Apa?”
            “Kamu.”
            “E..eh? Kamu bisa aja”
            “Aku serius Hinata, aku suka sama kamu.” ujar pria berambut merah itu dengan tatapan meyakinkan sembari memegang tangan Hinata.
            “Ga..Gaara-kun.”
            “Aku udah lama suka sama kamu, tapi aku tau kedekatan kamu sama Naruto jadi aku mengalah dan membiarkan kamu dengan dia. Sekarang aku tahu kamu sudah putus dengan dia. Jadi maukan kamu jadi pacarku?”
            “E..eto.”
            “Bisa menunda untuk menjawabnya kok. Atau kamu tidak bisa menjawab karena kamu masih sayang kepada Naruto?”
            Hinata hanya menunduk dan terdiam.
            “Jadi begitu ya, baiklah kalau kamu memang menyayanginya aku ngga akan maksa kamu. Atau perlu aku bantu agar kamu bisa bersamanya lagi? Asal kamu bahagia itu sudah cukup buatku”
            “Kamu terlalu baik Gaara-kun, Naruto udah ngga mungkin memaafkan aku bahkan mendengarkan penjelasanku saja dia tidak mau. Jadi sudahlah aku akan coba melupakannya”
            “Jadi?”
            “Tapi aku belum siap buat mebentuk hubungan dengan seseorang yang baru walaupun aku tahu kamu orang yang baik.”
            “Baiklah aku mengerti, aku akan selalu menunggu jawabanmu.”
            Setelah hari mulai gelap, Hinata pun diantarkan pulang oleh Gaara. Kali ini sepanjang perjalanan mereka berdua selalu mengobrol ada saja bahasan yang mereka obrolkan tidak seperti saat pertama dekat.
            Sesampai di rumah Hinata langsung masuk ke kamar dan mulai memikirkan apakah akan menerima Gaara atau tidak, sebenarnya perasaan Hinata pada Naruto masih belum ada yang berubah walaupun sudah satu bulan berlalu tapi jika Hinata terus mengharapkan Naruto itu akan menjadi sebuah penungguan yang sia-sia menurutnya karena sudah tidak ada kesempatan sama sekali untuk berbicara dengan Naruto bahkan untuk menyapanya saja sudah tidak mungkin.
            Beberapa hari pun berlalu akhirnya Hinata memantapkan hatinya untuk memilih Gaara, karena Gaara bisa membuatnya nyaman senyaman dia sedang bersama Naruto. Gaara juga punya perhatian lebih terhadap Hinata, seolah sudah benar-benar mengerti Hinata sikap yang dikeluarkan Gaara selalu sesuai dengan yang Hinata inginkan dan selalu membuatnya senang.
            “Semoga keputusanku ini yang terbaik.”
            Sesampai di sekolah saat waktu istirahat seperti biasa Gaara menghampiri Hinata untuk istirahat bersama.
            “Aku mau ngejawab yang waktu itu Gaara-kun.”
            “Akhirnya, jadi gimana? Jawaban apapun aku terima kok.” jawabnya dengan senyuman.
            “A..aku mau jadi pa..pacar kamu.” ujar Hinata pelan.
            “Kamu serius? Ngga ngebohongin perasaan kamu kan?”
            “He.emhh” Hinata menganggukkan kepala.
            Dengan reflek Gaara memeluk Hinata karena senang.
            “Pulang sekolah kita keluar lagi ya?” ajak Gaara.
            “Iya.” jawab Hinata tersenyum, karena waktu pelajaran pun sudah hamper dimulai akhirnya Gaara kembali ke tempat duduknya.
            “Aku tau kamu masih belum bisa menghilangkan perasaan kamu pada Naruto, Hinata-chan tapi aku yakin aku bisa menggantikan posisi Naruto di hati kamu.” ujar Gaara dalam hati.
            Saat pulang sekolah Gaara dan Hinata pulang bersama lagi dan sesuai ajakannya mereka pergi bersama, tapi saat sudah pertengahan jalan ke tempat tujuan hujan turun dan terpaksa dibatalkan.
            “Yah hujan segala, kalo besok aja gimana? Kan hari minggu kita bisa pergi dari pagi sampai sore” ajak Gaara dengan semangat.
            “Aku ngga pernah ngeliat kamu sesemangat ini. Hhaha”
            “Ya udah oke besok, dimana?” lanjut Hinata.
            “Besok kamu aku jemput aja.”
            “Jam?”
            “Kalo jamnya tergantung besok, aku siap nunggu kok kalau misal pas aku dating kamu belum siap”
            “Yakin bisa nunggu? Kalo aku baru bangun?”
            “Aku tungguin sampe kapan pun.” ujarnya sembari mengelus kepala Hinata.
            “Kalau waktu dengan Naruto aku yang sering menunggu dia, sampai kapan pun dia akan aku tunggu bahkan walaupun setelah aku menunggu ternyata tidak jadi pergi. Sekarang pria ini yang siap menungguku sampai kapan pun. Aku rasa memilihnya memang pilihan yang terbaik.” ujar Hinata dalam hati.
            Esok hari pun tiba dan ternyata Gaara sudah stanby di rumah Hinata jam 7 pagi, sedangkan kondisi Hinata masih asyik menonton tv saat Gaara datang. Hinata tun langsung buru-buru mandi dan bersiap, akhirnya Gaara berbincang dengan anggota keluarga Hinata. Untungnya Hinata sudah pernah menceritakan tentang hubungan dia dengan Gaara dan sudah menceritakan juga tentang hubungannya dengan Naruto sekarang.
            Satu jam pun berlalu, akhirnya Hinata sudah benar-benar siap dan tidak ada wajah kesal sedikit pun diwajah Gaara walau pun harus menunggu selama itu. Gaara memang orang yang baik lebih dewasa, lebih sabar dan lebih mengerti Hinata dibanding Naruto. Dan selama perbincangan tadi sepertinya kedua orang tua Hinata sangat menerima Gaara.
            Mereka pun pergi sesuatu taman bunga yang indah, yang membuat Hinata begitu senang bisa kesana karena sudah lama ia tidak melihat bunga yang jumlahnya sangat banyak dan tertanam di tanah. Mereka berdua pun menghabiskan waktu disana berbincang, bercanda, berfoto ria, makan, dan lain-lain.
            Sedangkan Naruto sekarang sedang main bersama teman-temannya seperti biasa, karena memang saat berpacaran dengan Hinata dia jarang pergi bersama Hinata jika ingin pergi tapi ternyata ada temannya mengajak dia pergi juga maka ia lebih memilih pergi bersama teman – temannya.
            “Naruto? Kenapa kamu putus dengan Hinata?” ujar Chouji seorang pria dengan tubuh yang lumayan gemuk.
            “Kamu tanya aja dia.”
            “Padahal Hinata baik banget orangnya”
            “Baik darimana? Cih”
            “Baik dari segi manapun, kamu yang tega sama dia. Dia kemarennya dapet musibah besoknya kamu putusin. Ckckck”
            “Musibah?”
            “Iya, kamu ngga tahu?”
            “Musibah apa?”
            “Kejadiannya udah satu bulan lebih, pas besokny kamu mutusin dia. Dia hampir diambil keperawanannya sama empat pria.”
            “Hah serius? Kamu tahu darimana?”
            “Aku ngeliat empat pria itu lari dalam keadaan udah babak belur, kayaknya Gaara yang mukulin mereka soalnya keliatan wajah Gaara agak memar waktu itu.”
            “Lagian kenapa kamu ngga pulang sama Hinata waktu itu?” sambung Kiba, pria yang selalu memakai jaket dan membawa anjingnya kemana pun bahkan ke sekolah.
            “Bukannya dia pulang sama Gaara?”
            “Makanya kamu kalau Hinata mau ngejelasin tu dengerin, waktu itu Hinata emang pulang sama Gaara tapi ngeliat kamu yang balik lagi ke arah sekolah dan ngeliat dia sama Gaara, dia nyuruh Gaara berhenti dan nurunin dia buat ngejaga perasaan kamu dia ngga mau kamu salah paham dan bener-bener ngira dia udah selingkuh, sayangnya saat Hinata maksa turun bukan di tempat yang tepat dan terjadilah. Untung Gaara menyadari kalo tempatnya bukan tempat yang aman sehingga dia memutar arah dan kembali untuk menolong Hinata.” ujar Ino gadis berambut pirang panjang.
            “Kenapa kalian ngga ngasih tahu aku dari dulu?”
            “Aku kira kamu udah tau.” jawab Chouji.
            “Kamu lagi Ino kenapa kamu ngga ngasih tahu?”
            “Harusnya aku yang nanya kenapa kamu ngga mau ngedengerin penjelasan Hinata?” ketut Ino.
            “Arrgghhh.” geram Naruto sembari memukulkan tangannya ke tembok.
            Tidak terasa malam tiba, Naruto berniat ke rumah Hinata untuk meminta maaf. Untungnya Hinata udah ada di rumah karena sesuai janji Gaara mereka pulang sore hari.
            Saat Hinata membuka pintu dia terkejut dengan orang yang ada dihadapanya sekarang.
            “Na..Naruto-kun?”
            “Hinata-chan, gomen gomen gomen gomen gomenasai.” ujarnya menundukkan kepala.
            “Na..Naruto-kun? Kenapa?”
            “Maafin aku karena ngga mau ngedengerin penjelasan kamu dulu, sekarang aku udah tau semuanya. Maafin aku Hinata-chan, aku masih sayang sama kamu aku pengen kita kayak dulu lagi.”
            “Maaf Naruto-kun, sekarang aku sudah sama Gaara.”
            “Ga..Gaara?”
            “Iya, aku kira kamu ngga akan pernah lagi menyapaku dan bahkan aku kira kamu sudah menganggapku tidak ada di kelas itu. Jadi aku mencoba melupakanmu dan menerima Gaara.”
            Naruto tidak bisa berkata apapun dia sangat menyesal, menyesal meninggalkan gadis yang sangat dia sayang hanya karena keegoisannya.
            “Aku yakin sekarang kamu masih menyayangiku Hinata, aku mohon kembalilah kepadaku. Aku benar-benar menyesal”
            “Memang aku masih menyayangimu, tapi aku tidak mungkin mengorbankan perasaan Gaara hanya untuk kebahagiaanku. Maaf Naruto-kun.” Hinata pun menutup pintu karena ia tahu semakin lama ia mendengar perkataan Naruto maka hatinya akan luluh kembali. Ia tidak ingin menyakiti hati Gaara yang benar-benar baik padanya, lagi pula ia sudah bertekad untuk menyayangi Gaara.
            “Maaf Naruto-kun” ujarnya dibalik pintu dengan suara yang tidak terlalu keras sembari menangis.
            “Hi..hinata-chan” ujar Naruto pelan sembari menangis.

Tamat
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
          Sekitar sepuluh tahun yang lalu ada seorang anak lelaki yang masuk ke kamar tempat aku dirawat. Tanpa terdiam lama dia langsung mengajakku berkenalan, dan sejak saat itu dia sering ke kamarku untuk mengajakku bermain. Umurku waktu itu masih enam tahun, sedangkan dia sepertinya berumur lima atau empat tahun. Walaupun umurnya dibawahku, tapi dia seperti seorang kakak. Aku selalu merasa nyaman dan bahagia saat dia mengajakku untuk bermain dan berkelilin di rumah sakit ketika ayah dan ibuku sedang bekerja.
            Namaku Dinda, sekarang umurku sudah tujuh belas tahun tapi aku masih SMA kelas IX teman – temanku yang lain berumur 16 tahun. Walaupun hanya berbeda satu tahun aku tetap merasa paling tua karena hanya aku satu – satunya yang berumur 17 tahun. Tapi apaboleh buat kenyataannya aku memang tertinggal satu tahun karena penyakitku yang membuat aku harus menginap di rumah sakit selama tiga bulan. Sejak lahir jantungku berbeda dengan yang lain, yang membuatku tidak boleh terlalu cape dan lain – lain.  Dalam kurun waktu sepuluh tahun setelah dirawat pun suatu keajaiban karena aku masih bisa hidup sampai saat ini, dan jantungku jarang merasaan sakit atau sesak. Sementara oleh dokter aku sudah divonis tidak akan berumur panjang, apalagi semenjak aku dirawat sepuluh tahun yang lalu.
            Setelah libur panjang akhir semester ganjil, akhirnya aku harus mempersiapkan diri lagi untuk sekolah. Aku tidak akan membuang waktu ku untuk hal-hal yang tidak berguna, karena aku tidak pernah tau kapan aku harus pergi dari dunia ini.
            Diawal semester genap ini, aku masuk seperti biasa semua teman kelas pun menyapaku seperti biasa. Aku akrab dengan semua teman di kelas, walau terkadang ada yang hanya mendekatiku jika ingin mencontek hasil pekerjaan rumahku. Yang berbeda di semester ini adalah adanya siswa baru yang menjadi salah satu anggota di kelasku mulai saat ini. Namanya Rangga, dia pindahan dari Jakarta. Setelah tak lama berkenalan pun akhirnya pelajaran dimulai seperti biasa.
            Beberapa jam kemudia waktu istirahat pun tiba.
            “Nama kamu Dinda ya?” ujar anak baru ini.
            “I.iya, kenapa kamu bisa tau?”
            “Wajah aku ini ngga ngingetin kamu? Waktu kecil kita sering main lho.”
            Saat dia menyebut kata “waktu kecil” aku langsung ingat anak kecil yang sering mengajakku bermain sewaktu aku dirawat. Karena dia satu-satunya teman masa kecilku. Hanya saja setiap kita bermain aku belum pernah menanyakan namanya, ntah kenapa aku tidak pernah ingat untuk menanyakan namanya aku selalu memanggilnya adik besar karena sifatnya yang lebih dewasa dibanding aku.
            “Adik besar?”
            “Hhaha, jangan panggil aku itu lagi. Panggil aja aku Rangga” balasnya dengan senyum.
            “Ngga nyangka ya kita ketemu lagi, mungkin ini takdir.” candanya.
            “Hhehe iya.” wajahku mulai memerah. Dia jadi sosok laki-laki yang benar-benar tampan dan dewasa.
            “Ke kantin yuk?”
            “Hah? Mmm aku bawa bekel sendiri kok.”
            “Oh ya udah sebentar aku beli makanan dulu, kita makan bareng ya tunggu aku lho.”
            “I..iya.”
            Beberapa menit kemudian dia membawa makanan dan dua minuman.
            “Ini aku beliin kamu susu, aku tau kamu sakit jadi aku ngga berani beliin kamu minuman yang aneh-aneh.”
            “Eh ngga usah repot-repot padahal aku udah bawa kok.”
            “Kan itu Cuma air putih, udah terima aja ngga baik lho nolak rezeki.”
            “Ma..makasih.”
            “Ya udah sekarang kita makan.”
            Sambil makan makanan kami, aku selalu memperhatikannya karena dia benar-benar berbeda tapi sifatnya masih sama dia baik dan dewasa.
            Tanpa disadari waktu istirahat pun habis, Rangga memilih untuk melanjutkan pelajaran berikutnya dengan duduk disampingku. Mau tidak mau teman sebangku ku harus pindah karena ternyata Rangga juga jago merayu. Untuk kali ini berada didekatnya malah membuatku malu dan salah tingkah, sehingga membuatku selalu menundukkan kepala yang sesekali dia anggat daguku agar memperhatikan guru.
            Waktu pulang pun tiba.
            “Pulang bareng yuk?” ajaknya.
            “Mm, maaf aku dijemput oleh ibuku.”
            “Oh, ya udah aku tunggu sampai ibumu datang.” ujarnya sembari tersenyum.
            Kami berdua pun menuju gerbang sekolah dan duduk bersama di bangku yang berada dekat dengan gerbang sekolah.
            “Enak ya, masih bisa ngerasain kasih sayang seorang ibu.” ujarnya tiba-tiba.
            “Eh? I..iya.” balasku dengan senyum.
            “Ibuku sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, tepat beberapa hari setelah kamu meninggalkan rumah sakit.”
            “Jadi waktu itu dia sedang bersama ibunya di rumah sakit.” ujarku dalam hati. “Kenapa?” tanyaku.
            “Ibuku mengidap kanker otak, tapi sudahlah aku yakin ibuku saat ini sudah bahagia disana.”
            “Iya aku yakin ibu kamu sudah bahagia disana, dan melihat kamu besar menjadi anak yang baik dan dewasa.”
            “Hhaha jangan menghiburku.”
            “Itu bener lho, kamu baik setauku dan kamu juga punya sifat yang lebih dewasa dibanding aku.”
            “Ya, karena itu kamu panggil aku dengan sebutan adik besar. Hhaha”
            Ibuku pun datang.
            “Dinda.”
            “Mama.” jawabku. “Aku duluan ya Rangga.”
            “Iya hati-hati Dinda.”
            Aku pun pergi meninggalkan Rangga, tak lama setelah mobil ibuku jalan Rangga pun masuk kembali ke sekolah mungkin ingin membawa motornya lalu pulang.
            “Siapa pria yang bersamamu tadi?”
            “Oh, itu Rangga. Murid baru di kelas Dinda. Dia anak kecil yang waktu itu sering ke kamamar Dinda ma waktu Dinda dirawat.”
            “Ooh, ngga nyangka kalian bisa ketemu lagi. Lain kali kamu ajak dia ke rumah ya, mama berterima kasih banget sama dia waktu itu sering nemenin kamu selagi mama dan papa kerja.”
            “Eh? I..iya nanti Dinda ajak.”
            “Atau kalau dia ngga keberatan dia boleh tiap hari dating ke rumah sambil mengantarmu pulang.”
            “Ih, malu ma masa baru ketemu lagi udah ngerepotin aja.”
            “Hhaha, kan mama bilang juga kalau dia ngga keberatan sayang.”
            Beberapa menit pun berlalu, akhirnya kami sampai di rumah. Sesampai di rumah, aku menjalani kehhidupanku seperti biasa. Malah mama yang jadi sering ngomongin Ranggan ke papa  saat papa sudah pulang kerja. Mama dan papa memang sudah mengenal Rangga, bahkan sepertinya mereka tahu nama Rangga sejak waktu itu. Dan mungkin juga mama dan papa pun sudah tahu kalo Rangga bisa ada di rumah sakit waktu itu karena menjaga ibunya.
            Esok hari pun tiba, aku berangkat sekolah seperti biasa. Sesampai di sekolah Rangga sudah duduk disamping kursiku.
            “Pagi Dinda” sapanya.
            “Pagi Rangga” balasku. Sudah lama aku tidak mendengar kata-kata itu kata-kata ibu memang sering diucapkan oleh anak kecil yang sering mengunjungiku di rumah sakit.
            “O iya, kata ibuku kamu diundang buat makan disana kapan pun kamu mau.” Lanjutku.
            “Dengan senang hati, setiap hari boleh? Hhaha”
            “Boleh kok.”
            “Serius? Asyik. Hhaha”. Terlihat ekspresi bahagia diwajahnya, aku pun bingung kenapa dia bisa sebahagia itu.
            Saat pulang sekolah seperti biasa aku menunggu ibuku dengan ditemani Rangga. Tapi setelah ibuku datang aku malah disuruh untuk pulang bersama Rangga. Akhirnya ibuku malah pergi duluan dan kami membuntuti dibelakang.
            “Akhirnya tahu rumah kamu.”
            “Eh? Emang mau ngapain?”
            “Ngajak kamu main. Hhaha”
            “Ih, aku serius.”
            “Aku juga serius.” jawabnya dengan tersenyum.
            Kami bertiga pun masuk ke rumah, mama mulai masak untuk makan malam sembari bertanya-tanya kepada Rangga. Pertanyaan apa pun mama lontarkan pada Rangga, sampai – sampai…
            “Rangga udah punya pacar?”
            “Belum tante, hhehe.”
            “Wah sama dong kaya Dinda.”
            “Pliiss ma itu kodenya jelas banget, apa coba ngomong gitu ke Rangga.” ujarku dalam hati sembari berpura-pura tidak mendengarkan apapun.
            “Dinda juga belum punya tan? Boleh dong Rangga daftar. Hhehe”
            “Boleh banget, tante setuju banget malah kalau kamu yang jadi pacarnya Dinda. Jadi suaminya Dinda juga tante restuin.”
            “Iiih, ngomong apa sih kalian.”
            “Coba tembak Dinda aja, dia mau tuh sebenernya cuma malu-malu.” ujar ibuku agak berbisik.
            “Dinda denger maa, Dinda ngga mau pacaran dulu,”
            “Udah Din jangan terlalu serius belajar. Kalau kamu jadi pacar Rangga kan jadi nambah orang yang sayang dan ngejaga kamu.”
            “Pokoknya Dinda ngga mau pacaran dulu ma.” jawabku agak kesal. Sebernya dari dulu aku memang sudah suka sama Rangga tapi untuk pacaran, aku takut ternyata umurku benar-benar pendek yang berarti dia akan merasakan kehilangan seorang sosok wanita lagi nanti.
            “Udah tante kalo Dindanya ngga mau Rangga ngga maksa kok, ngga jadi pacarnya Dinda juga Rangga udah sayang sama Dinda. Rangga janji bakal ngejaga Dinda juga kok tante.” ujarnya dengan mata yang menunjukkan bahwa kata-kata tersebut memang sungguh-sunggu muncul dari hatinya. Mendengar kata-kata itu aku langsung tersenyum dan merasakan bahagia, sedangkan ibuku malah mengeluarkan air mata, mungkin air mata terharu karena belum pernah ada pria lain yang berkata seperti itu selain ayahku.
            “Makasih yang Rangga, mama titip Dinda ya kalau di sekolah.”
            “Iya tante tenang aja, Dinda dijamin aman kalau sama Rangga.”
            Malam pun tiba, papa juga sudah pulang. Kami makan bersama di ruang makan, yang ternyata papaku juga senang ada Rangga yang ikut makan bersama di rumah.
            Satu bulan pun berlalu, setelah makan malam pertama bersama Rangga dia jadi benar-benar sering ke rumah, hamper setiap hari dia ke rumah. Aku tidak bisa melarangnya karena memang orang tuaku juga senang saat dia datang ke rumah.
            Di perjalanan menuju sekolah.
            “Din, kamu bener-bener ngga mau pacaran dulu?” ujarnya tiba-tiba sembari mengendarai motor.
            “Hah? I..iyalah aku pengen focus dulu sekolah. Supaya bisa ngebahagiain orang tua aku nantinya.”
            “Hhmm ya udah aku tunggu.”
            “Tunggu?”
            “Ngga bukan apa-apa.”
            Setelah sampai di kelas, gara-gara obrolan tadi kami di motor kami jadi saling diam. Kalau aku sih memang tidak pernah memulai bicara tapi ntah kenapa sekarang dia benar-bear diam yang biasanya selalu ada saja pertanyaan yang dilontarkan kepadaku.
            “Dinda.” ujarnya memecah keheningan.
            “Iya?” jawabku tanpa menatapnya dan tetap fokus pada buku yang sedang aku baca.
            “Sepulang sekolah kamu ada acara?”
            “Mmm, ngga kenapa?”
            “Jalan-jalan yuk, kemana pun kamu mau deh.”
            “Orang tua kamu pasti ngijinin kok kalau kamu perginya sama aku.” lanjutnya meyakinkanku.
            “Ya udah deh, tapi jangan sampai larut ya, dan kalau bisa antar aku pulang dulu. Aku ingin minta ijin secara lansung ke ibuku.”
            “Siap!” ujarnya sembari memasang pose hormat dengan semangat tinggi yang cukup membuatku tertawa kecil.
            Tak lama kemudian guru pun masuk dan pelajaran dimulai. Selama pelajaran berlangsung tanpa sadar aku selalu memperhatikannya, ntah kenapa dia kelihatan semangat sekali hari ini. Tiap dia membalas melihatku aku langsung memalingkan wajah dan dia malah tersenyum yang cukup membuat wajahku jadi memerah. Setelah beberapa jam berlalu, tanpa di sadari bel pulang pun berbunyi, terlihat dia senang sekali saat mendengar bel pulang berbunyi.
            “Ayo, Dinda.” ajaknya dengan senyuman lebar di wajahnya.
            “I.. iya ayo.” melihatnya semangat seperti itu yang bisa aku lakukan hanya menunduk.
            Sepulang sekolah kami pun langsung menuju rumahku, lalu meminta ijin kepada ibuku, sesuai dugaannya tanpa berbicara panjang lebar ibuku langsung mengijinkan kami pergi hanya menitip pesan agar kami berhati-hati dan jangan pulang terlalu larut.
            Setelah pamit kami pun segera pergi, dengan tempat yang masih belum ditentukan sehingga membuat kami cukup lama berkeliling. Karena aku terus tidak member jawaban akhirnya dia yang memutuskan untuk main kemana.
            Dia membawaku ke sebuah taman yang indah, karena lama berkeliling akhirnya kami sampai disini sekitar pukul 18.00 WIB yang membuat lampu-lampu taman sudah menyala sehingga membuatnya tampaj lebih indah.
            “Kamu suka ngga tempatnya?”
            “Suka banget.” jawabku tanpa pikir panjang sembari melihat sekeliling taman.
            “Syukurlah kalau kamu suka.”
            Kami pun segera mencari tempat duduk, setelah menemukannya Rangga pergi untuk membeli beberapa cemilan dan minuman untuk kami berdua sedangkan aku menunggu ditempat duduk itu. Pemandangan taman bunga yang dihiasi banyak lampu ini benar-benar membuatku tak bisa mengalihkan pandanganku.
            “Hei cewek.” ujar seorang pria dengan rambut agak gondrong menggunakan jaket kulit berwarna hitam dan memakai celana jeans yang sudah agak kusam tiba-tiba menghampiriku lalu duduk disampingku. Dengan reflek aku langsung menjauh.
            “Jangan jauh-jauhlah neng abang ngga ngapa-ngapain kok.” ujarnya dengan menggerakan tubuhnya yang membuat posisinya lebih dekat denganku.
            “Rangga kamu dimana? Aku takut.” ujarku dalam hati. Pria itu semakin mendekat, saat aku berdiri pria itu malah memegang tanganku dengan erat yang membuat aku sulit untuk melepasnya.
            “Lepas!” ujarku agak berteriak tapi pria itu malah menariku seolah ingin aku duduk kembali disampingnya. “Rangga kamu dimana?” ujarku dalam hati, air mataku pun mulai menetes.
            “Kok nangin neng, sini makanya duduk sama abang. Ya udah deh kalo neng ngga mau duduk kita berdiri aja”. Pria itu mulai berdiri dan mendekatiku, aku hanya bisa terus mencoba melepaskan tanganku. Aku ingin coba berteriak tapi ntah kenapa tempat ini tiba-tiba sepi padahal saat sebelum Rangga pergi tempat ini begitu ramai. Pria itu terus berjalan mendekatiku, sampai tanganku benar-benar dipegang erat olehnya sehingga membuatku tidak bisa melangkah mundur. Pria itu mulai menggerakkan tanggan yang satunya mendekati mukaku.
            “Aku takut Rangga.” air mataku semakin deras keluar, jantungku berdetak kencang karena rasa takutku dan rasa sakit mulai terasa pada jantungku yang membuatku tak sadarkan diri.
            Didetik-detik kesadaranku pria itu malah mengarahkan tangannya untuk membelai rambutku, tapi tiba-tiba ada seseorang yang memukul pria itu setelah itu aku tak ingat apa pun pandanganku langsung hitam dan gelap.
            “Dinda kamu ngga apa-apa?” ujar seorang wanita yang suara tidak asing bagiku, saat mataku benar-benar terbuka ternyata itu ibuku dan aku sudah berada di rumah sakit.
            “Ma..ma?”
            “Syukurlah.” terlihat air mata yang keluar dari kedua mata ibuku.
            “Rangga mana ma? Kenapa Dinda bisa ada disini?”
            “Rangga ada di luar sedang berbicara dengan papamu, katanya tadi kamu pingsan.”
            “Dinda pengen ketemu Rangga ma, pasti Rangga yang udah nolongin Dinda, Dinda pengen ngucapin makasih ke Rangga ma.”
            “Iya sayang sebentar mama panggilin.”
            Ibuku pun keluar untuk memanggil Rangga, dan tak lama kemudian Rangga pun masuk ke kamarku.
            “Rangga..” ujarku.
            “Dinda, kamu ngga apa-apa? Maafin aku pergi terlalu lama gara-gara aku penyait kamu kambuh.” ujarnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
            “Ngga apa-apa, justru kalau ngga ada kamu yang mukul pria itu mungkin aku udah diapa-apain sama pria itu. Makasih ya.” ujarku tersenyum.
            “Tapi tetap saja aku terlambat, mafin aku Dinda.”
            “Udah ngga udah minta maaf kamu udah aku maafin kok.”
            “Dinda, kamu masih inget ciri-ciri pelakunya? Biar mama laporin polisi.”
            “Ngga udah ma, kayaknya Rangga juga udah bener-bener ngasih pelajaran ke dia. Dinda ngga mau nanti masalahnya tambah rumit kalau udah nyangkut pautin polisi.”
            “Kamu yakin ngga mau ngelaporin orang yang udah jahat sama kamu, nanti biar papa yang urus kok.”
            “Ngga usah pa. Dindanya juga udah ngga kenapa- kenapa kan.”
            Esok hari pun datang, aku sudah boleh pulang oleh dokter. Terpaksa hari ini aku tidak masuk sekolah karena baru bisa keluar dari rumah sakit saat sudah waktu istirahat di sekolah. Tapi Rangga sudah janji akan mengajarkan apa yang guru ajarkan kepadanya hari ini. Rangga memang termasuk orang yang bisa dibilang pintar, di sekolah lamanya dia juga mendapat juara satu.
            Beberapa jam yang membosankan pun berlalu, akhirnya terdengar suara bel yang menandakan ada seseorang yang datang. Dengan segera aku membuka pintu rumah berharap itu adalah Rangga. Dan saat pintu terbukaa…
            “Rangga?” sapaku dengan senyum.
            “Selamat sore Dinda.” balasnya dengan senyum.
            “Ayo masuk, aku udah ngga sabar denger materi hari ini.”
            “Kamu semangat banget sama yang namanya belajar, hhaha.”
            “Yeeh biarin kan bagus.”
            Aku pun segera menariknya masuk, karena jalannya lama sekali. Setelah dia duduk di kursi tamu, aku segera mengambilkannya minum dan menyediakan beberapa cemilan. Setelah itu akhirnya dia menjelaskan apa yang sudah diajarkan di sekolah tadi.
            Dia benar-benar pintar, dia benar-benar menjelaskan dengan detail yang membuat aku mengerti tiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Bahkan caranya dia menjelaskan bisa dibilang lebih baik dari guru di sekolah, rasa-rasanya jadi ingin tidak masuk tiap hari agar dia terus yang menjelaskan materi kepadaku *eh?*.
            Tanpa sadar selama penjelasannya aku selalu memperhatikannya, semua bagian mukanya aku perhatikan dengan  terkadang bibirku reflek tersenyum saat memandangnya yang membuat dia sadar dan berhenti menjelaskan.
            “Hei apa yang kamu lihat? Aku tau kok kalau aku ganteng ngga usah terkagum sampai segitunya.” ejeknya.
            “Yey PD, aku cuma aneh kenapa muka kamu tidak ada bekas berkelahi sama sekali.” Dengan reflek aku mengatakan itu, ntah kenapa tiba-tiba aku mengatakan itu yang membuat aku memperhatikan mukanya lagi dan benar tidak ada bekas berkelahi sama sekali.
            “Hah? M..mm.mm i.. iyalah kan aku udah jago berkelahi Cuma beberapa pukulan dia langsung tepar. Hhaha”
            “Bohong, kenapa jawabnya gugup? Hayo? Jangan-jangan bukan kamu ya yang waktu itu menolongku.” candaku.
            “Siapa yang ngga gugup dipandangin cewe yang cantik dan manis kayak kamu.”
            “Dih, gombal. Wle.” ujarku dengan menjulurkan lidah.
            “Udah cepet lanjut jelasin lagi.
            “Hhaha, ciiee yang mukanya merah.” godanya.
            “Iiiihh apaan sih, udah cepet kalo ngga mau ngejelasin lagi aku usir nih.”
            “Hhaha iya iya sabar nona manis. Ya udah kita lanjut lagi.”
            Akhirnya Rangga pun melanjutkan penjelasannya, ntah kenapa aku benar-benar suka saat dia menjelaskan, benar-benar membuatku terpesona karena pintar adalah salah satu tipe cowo yang aku suka.
            Malam pun tiba, jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan waktunya Rangga pulang karena aku rasa dia sudah cukup menjelaskan semua materi yang dia terima ditambah candaan-candaan yang membuat suasana tidak terlalu serius.
            “Waktunya kamu pulang, udah terlalu malem nanti ayah kamu khawatir.”
            “Bener nih nyuruh aku pulang, udah puas mandangin aku hari ini? Hhaha.”
            “Ih apa sih GR banger siapa yang mandangin kamu.”
            “Hhaha, ngaku aja kalau belum puas bilang aja aku ngga apa-apa kok disini sampai malem juga, ayah aku juga pulang tengah malam.”
            “Iiih udah pulang sana, makasih udah ngajarin hari ini.”
            “Ciiee hari ini, berarti ada hari esok juga. Hhihi.”
            “Mau kamu itu mah, udah sana ih pulang.”
            “Gitu kan udah ngga ngebutuhin ngusir.” ujarnya dengan ekspresi kecewa.
            “Ih bu..bukan gitu.” jawabku merasa bersalah.
            “Hhaha iya-iya aku ngerti. Ya udah aku pulang, anter aku sampe luar dong. Hhehe.”
            “Iya-iya.”
            Aku pun mengantarnya sampai gerbang rumahku, tak lama setelah itu dia pergi dengan mengelus dahulu kepalaku sebelum dia menggas motornya. Saat dia melakukan itu aku hanya bisa tertunduk malu, dan ntah kenapa aku senang saat dia mengelus kepalaku dengan lembut. Saat dia sudah tidak terlihat oleh mata, aku pun berbalik untuk menujuk pintu rumah tapi ternyata dibelakangku ada dua orang pria yang tidak aku kenal. Jarak pintu rumahku dengan gerbang memang cukup jauh dan terdapat pohon-pohon yang agak besar di halamanku yang membuat mungkin kedua orang asing ini bisa bersembunyi, tapi darimana mereka bisa masuk? Sedangkan pintu gerbang tidak pernah lepas dari gembok dan tidak ada jalan masuk lagi ke halaman rumahku selain harus melewati pintu gerbang setinggi dua meter. Selain itu apa tujuan kedua orang pria ini?
            Kedua pria it uterus mendekat, wajah mereka mulai terlihat karena lampu yang ada pada gerbang. Ternyata salah satu dari mereka adalah orang yang waktu itu di taman, aku mencoba berteriak tapi jarak rumah dengan gerbang yang cukup jauh membuat teriakanku sulit didengar dari dalam rumah, di luar gerbang pun sepi karena letak rumahku adalah perumahan yang mayoritas penguninya pulang pada tengah malam. Sedangkan satpan yang berkelilin malah melintas saat Rangga belum pergi dan belum terlihat kedua pria asing ini. Aku hanya bisa berteriak berharap ibuku sadar akan kepergianku yang terlalu lama dan berjalan mundur mencoba meraih bel yang berada di luar gerbang yang sudah aku kunci. Karena panik kunci gembok tersebut mendadak sulit dilepas dan kuncinya malah terjatuh. Jantungku mulai sakit, lututku tertekuk. Aku berusaha mengambil kunci itu, kedua pria it uterus mendekat dan malah mengeluarkan senjata tajam yang membuatku semakin takut dan membuat jantungku semakin sakit. Dengan susah payah akhirnya aku mendapatkan kunci gembokku kembali sebelum keuda penjahat itu benar-benar dekat denganku. Aku mencoba berdiri sembari menahan rasa sakit di dadaku. Saat sudah setengah berdiri terlihat dari luar seorang pria yang berlari menghampiriku.
            “Lemparkan kuncinya keluar!”
            Tanpa piker panjang aku melenparkan kunci itu keluar, tanpa berpikir dia itu akan membantu atau malah akan membuatku semakin terpojok? Tapi feeling ku mengatakan dia akan membantu sehingga tanpa ragu aku melempar kunci itu keluar. Kedua pria yang menyadari ada seorang pria yang mulai datang mempercepat langkahnya.
            “Cepaatt!!” teriakku pada pria itu.
            Kedua pria itu sudah berada tepat dihapapanku, sedangkan pria yang berada diluar sedang mencoba melepaskan gembok.
            “Jangan sakiti gadis itu!” ujar pria yang berada di luar gerbang. Bersyukur perkiraanku tidak salah dia memang pria yang baik yang ingin menolongku.
            “Mau apa kalian? Kenapa kalian mengincarku?” tanyaku pada kedua pria itu.
            “Kamu tidak tau apa yang kami bawa? Kalau tidak tau, kami beritahu kalau ini namanya pisau yang gunanya untuk memotong, menusuk, membelah, dan hal-hal lain. Hhahaha” jawab salah satu dari mereka yang diakhiri ketawa jahat dari keduanya.
            Jantungku semakin sakit, orang yang diluar belum juga berhasil membuka gerbang tapi memang sulit membuka gembok gerbang dari luar. Salah satu dari kedua orang itu mulai mengarahkan pisaunya ke leherku dan membuat badanku membentur gerbang.
            “Katakana apa salahku? Apa yang kalian mau?”
            “Kami ingin nyawamu gadis manis.”
            Pria yang di luar itu pun berhasil membuka gerbang dan masuk, tapi sebelum dia masuk aku sudah ditarik oleh orang yang mengarahkan pisaunya kepadaku. Kedua bahuku ditahan oleh tangan kiri dari orang itu dan tangan kanannya mengarahkan pisau ke leherku.
            “Jangan bergerak kalau kamu tidak ingin gadis ini mati.” ujar pria yang menahanku.
            “Aku tahu siapa yang member kalian perintah, aku akan membayar kalian lebih jika kalian melepaskan gadis itu.”
            Aku benar-benar tidak kuat menahan sakit pada dadaku, aku pun pingsan dengan posisi yang tetap berada pada pria yang menodongkan pisau kearahku.
            “Dia pingsan, menyusahkan saja.” ujar pria yang menodongkan pisau dan melemparku ke pria yang satunya setelah itu aku tidak merasakan dan melihat apa pun.
            Saat aku sadar, aku sudah berada di kamar tidurku.
            “Apa ini mimpi? Apa aku masih hidup?” tanyaku sembari mencubit tanganku yang ternyata terasa sakit artinya ini bukan mimpi aku masih hidup dan aku selamat. Ntah bagaimana caranya aku bisa ada disini. Saat aku melangkahkan kakiku ke jendela ternyata sudah pagi. Perlahan aku pun berjalan keluar rumah, ternyata di ruang keluar sudah ada kedua orang tuaku dan satu lagi pria yang tidak aku kenal dan aku rasa dia pria yang menolongku semalam.
            “O iya dia tau siapa yang memerintah kedua pria itu.” ucapku dalam hati yang membuatku agar berlalu menuju mereka.
            “Dinda kamu udah ngga apa-apa?” tanya ibuku yang masih panik.
            “Dinda udah ngga apa-apa kok ma, cuma leher Dinda sedikit sakit kayaknya tergores pisau yang arahkan ke leher Dinda kemarin.” jawabku lalu ikut duduk bersama semuanya.
            “Maafin mama ya Dinda, mama ngga denger teriakan kamu dan saat mama sadar kamu sudah pergi terlalu lama kamu sudah digendong oleh pria ini dengan keadaan pingsan.” ujar ibuku lalu duduk disampingku dan memelukku.
            “Ngga apa-apa ma, yang penting Dinda sekarang masih ada disini sama mama.” balasku memeluk ibuku yang tidak lama kami pun melepasnya bersamaan dengan senyuman yang terlihat diwajah ibuku.
            “O iya, terima kasih sudah menyelamatkanku. Kamu siapa? Bagaimana caramu untuk menyelamatkanku dari kedua pria itu?” tanyaku penasaran.
            “Namaku Candra, begini………..
*FLASHBACK ON(sudut pandang orang pertama tokoh Candra)*
            “Aku tahu siapa yang member kalian perintah, aku akan membayar kalian lebih jika kalian melepaskan gadis itu.”
            “Siapa kamu sebenarnya, kenapa kamu tahu bos kami dan bagaimana cara kami yakin kalau kamu akan membayar kami lebih?” ujar seorang pria yang awalnya mengarahkan pisau ke leher Dinda.
            “Bos kalian Rangga kan? Dia adikku, agar kalian yakin kalau aku akan membayar lebih aku sudah membawa uang yang jumlahnya dua kali lipat dari yang diberikan kepada kalian.”
           “Dia benar-benar tau nama bos kita.” bisik pria yang memegang Dinda kepada orang yang memegang pisau.
            “Bagaimana kami tau kalau uang yang ada di dalam tasmu itu benar-benar lebih dari yang bos kami berikan?”
            “Aku akan memperlihatkannya pada kaliat, dari jumlah kelihatannya sudah cukupkan tidak usah dihitung aku sudah menghitungnya dan aku tidak berbohong.” aku membukan isi tasku yang memang terdapat uang yang jumlahnya dua kali lipat dari jumlah uang yang dijanjikan oleh Rangga pada kedua orang itu.
            “Kayaknya dia ngga bohong, kenapa kakak adik ngga beda rencana gini ya? Memang cewek merubah segalanya.” ujar pria yang memegang Dinda agak pelan tapi cukup terdengar.
            “Baiklah, berikan dulu uang itu pada kami baru gadis ini kami lepas.” ujar pria yang memegang pisau.
            “Bagaimana aku bisa percaya kalau setelah aku berikan tas ini kalian tidak melakukan apa pun pada gadis itu?”
            “Kami melalukan ini demi uang, jadi kalo uang sudah ada buat apa kami melakukan ini?”
            “Baiklah aku harap kalian tidak bohong karena kalian akan tahu sendiri akibatnya jika berbohong.” Aku pun melempar tas yang berisi uang itu pada kedua pria tersebut. Pria yang memegang senjata langsung mengecek isi dalam tas itu sedangkan pria yang memegang Dinda menunggu perintah untuk melepaskan Dinda.
            “Oke ini uang asli. Lepaskan gadis itu.” ujar pria yang memegang tas dan Dinda pun dilempar. Aku segera menahan Dinda yang hampir terjatuh ke tanah.”
            Kedua pria itu mulai melangkahkan kaki keluar gerbang dengan wajah yang bahagia, mungkin karena mendapat uang milyaran. Sayangnya kebahagiaan kedua orang itu hanya sampai dua langkah diluar gerbang, karena mereka sudah disambut oleh polisi-polisi yang sengaja aku biarkan bersembunyi terlebih dahulu agar aku bisa memastikan kalau kedua pria itu memang diperintah oleh adikku. Polisi-polisi itu mulai datang dan bersembunyi saat Dinda pingsan.
*FLASHBACK OFF (sudut pandang orang pertama kembali ke Dinda)*
            “Kedua pria itu sudah dipenjarakan dan uang yang berasal dari khas polisi pun bisa kembali.” lanjutnya.
            Mendengar nama Rangga yang menjadi dalang dari semua ini mataku langsung berair dan mengeluarkan air mata. Ibuku yang menyadarinya langsung memelukku, yang membuat air mataku semakin deras mengalir.
            “Kenapa harus Rangga? Dia baik kepadaku selama ini? Kenapa?” tanyaku dalam hati.
            “Jangan nangis air mata kamu terlalu mahal untuk dia, Rangga bisa berbuat seperti itu karena ingin balas dendam atas meninggalnya almarhum mama. Sudah aku nasihati untuk tidak melakukan balas dendam tapi dia mengelak.”
            “Penyebab ibunya meninggal? Memang ulahku? Tapi dia ngga pernah bilang, dia hanya berkata kalau ibunya meninggal beberapa hari setelah aku meninggalkan rumah sakit.”
            “Sebenarnya ibu kami meninggal karena ayah kami yang tidak dapat mengeluarkan biaya untuk operasi, karena saat ingin melakukan operasi ayah kami malah dipecat tanpa diberi pesangon dan saat itu setahuku dan Rangga atasan ayah kami adalah ayah kamu Dinda jadi dia mebalaskan dendamnya kepada kamu.”
            “Saya atasannya? Saya tidak pernah memecat bawahan saya jika dia tidak melakukan kesalahan yang besar, tapi seingat saya beberapa hari setelah Dinda keluar dari rumah sakit beberapa tahun yang lalu saya tidak pernah memecat seseorang. Justru waktu itu saya naik jabatan dan jabatan saya sebelumnya sudah digantikan sebelum Dinda keluar rumah sakit.”
            “Sudah saya duga bapak pasti bukan orang yang seperti itu, berarti atasan ayah saya sudah berganti waktu itu dan ayah tidak sempat memberitahu kami atasannya yang baru. Karena saat ia masih bekerja di perusahaan itu hanya nama bapak yang disebut oleh ayah kami karena kebaikan bapak sebagai atasnya jadi yang dikenal oleh Rangga hanya nama bapak. Atas nama adik saya, saya memohon maaf atas perbuatan adik saya. Saya pasti akan memberikannya pelajaran, saya akan memenjarakannya atas dasar percobaan pembunuhan.”
            “Jangan!” ujarku agak berteriak.
            “Dinda? Dia sudah mencoba membunuhmu kenapa kamu masih membelanya?” ujar ibuku.
            “Dia baik sama Dinda ma, beberapa tahun yang lalu saat Dinda dirawat dia yang nemenin Dinda kalau mama dan papa sibuk kerja dan sekarang saat di SMA pun dia selalu ngejaga Dinda ma, Dinda yakin dia ngga bermaksud membunuh Dinda dia hanya belum ikhlas dengan kepergian ibunya.”
            “Dinda..” ibuku mencoba menenangkanku yang terus menangis dengan memelukku.
            “Hati anak ibu dan bapak memang benar-benar baik, sekali lagi maafkan kelakuan adik saya dan saya yang tidak bisa menjaga adik saya.”
            “Kami juga mengucapka terimakasih karena telah menyelamatkan Dinda.” ujar ayahku sembari memandangiku.
            “Kalau begitu saya permisi dan terimakasih karena sudah memaafkan adik saya.” ujar kak Candra dengan tersenyum.
            “Kalau boleh Dinda pengen ketemu Rangga kak.”
            “Dia ada diluar gerbang sejak tadi, karena menunggu keputusan dari kamu dan keluarga untuk hidupnya.”
            “Ma Pa Dinda pengen ketemu Rangga.” pintaku sembari memandang kedua orang tuaku satu persatu.
            “Tenang saja ada saya kok bu pak saya pasti ngejaga Dinda.”
            “Ba..baiklah, tapi jangan lama-lama yang sayang dan kamu harus kembali lagi kesini.”
            “Iya ma.” ujarku tersenyum.
            Aku dan kak Candra pun keluar.
            “Kalau kamu masih merasa takut dan trauma gara-gara kejadian di taman dan di halaman kamu, kamu bisa manggil aku kapan aja kok.” ujar kak Candra tersenyum.
            “Kok tahu kejadian yang di taman, jangan-jangan yang waktu itu menyelamatkaku juga kakak?” tanyaku yang hanya dibalas dengan senyuman oleh kak Candra.
            “Pantas saja waktu itu tidak ada bekas luka berkelahi sama sekali pada wajah Rangga ternyata.. tapi kenapa Rangga begitu baik kepadaku kalau dia ingin membunuhku?” ujarku dalam hati.
            “Makasih ya kak.” ujarku.
            Saat sampai di gerbang, ternyata benar ada Rangga disana. Terlihat wajah Rangga yang merasa bersalah, ketakutan, dan khawatir.
            “Maafin aku Dinda, aku salah maafin aku.” ujarnya menangis dan berlutut di hadapanku.
            Aku tidak bisa berkata apa-apa karena aku masih tidak percaya kalau dalang dari semua yang aku alami adalah Rangga. Melihat aku yang tidak bisa berkata apa-apa akhirnya kak Candra yang membantuku menjawab.
            “Dia sudah memaafkanmu, apa kamu sudah bisa berpikir sekarang? Dia baik, padahal nyawanya sering terancam akibat olehmu belum lagi yang penyakitnya jadi kambuh lagi akibat kamu. Dan ternyata apa? Atasan ayah waktu itu bukan ayah Dinda, kamu salah besar Rangga.”
            “Maafin Rangga kak, Rangga ngga pernah menyelidikin atasan ayah terlebih dahulu dan langsung merencanakan semua rencana jahat pada Dinda. Maafin Rangga yang ngga pernah denger kata-kata kakak. Maafin aku Din.” ujarnya dengan air mata yang terus menetes ke tanah.
            “Kamu denger kata-kata kakak kamu kan? Aku udah maafin kamu adik besar, ayo bangun nanti tinggi kamu kalah dari aku.” jawabku dengan tersenyum dan mencoba menerima semuanya walaupun dada tiba-tiba terasa sakit karena terkejut.
            Aku pun mengangkat bahu Rangga agar dia berdiri, dan mengusap air matanya. Tidak lama Rangga menatapku dia langsung memelukku.
            “Maafin aku Din, aku sayang kamu tapi dendamku yang membuat rasa sayangku aku kesampingkan. Aku sering bersedih setiap pergi dari rumah kamu, kenapa harus ayah kamu penyebab kematian ibuku? Dan ternyata bukan ayahmu, tindakanku benar-benar sudah tidak bisa dimaafkan Din.”
            “Udah Rangga, buktinya aku bisa maafin kamu kok. Aku tahu perasaan kamu, rasa kehilangan itu pasti menyakitkan.”
            “Iya sangat menyakitkan, dan hamper saja aku kehilangan satu wanita yang berharga lagi dihidupku.” ujarnya mencium keningku lalu memelukku beberapa detik setelah melepasnya dia memegang kedua bahuku dengan kedua tangannya.
            “Walaupun kamu sudah memaafkan aku, aku harus tetap dipenjara karena melakukan percobaan pembunuhan terhadap kamu Din. Aku akan mempertanggung jawabkan perbuatanku.” ujarnya dengan tatapan tajam yang membuatku tak bisa berkata apa-apa. Dia pun melepaskan tangannya dari bahuku dan memberikan kedua tangannya kepada kakaknya kak Candra yang seorang polisi.
            “Aku menyerahkan diri kak.”
            “Kak ngga bisa memenjarai kamu sekarang berhubung keluarga Dinda juga tidak menggugat kamu, jadi untuk sekarang kamu kakak biarkan. Tapi setelah lulus sekolah kakak tunggu kamu di kantor.”
            “Jangan mentang-mentang aku adik kakak jadi dibebasin dong kak, mana nih tanggung jawab kakak sebagai polisi?”
            “Hukuman kamu kakak ganti aja, daripada dipenjara mending kamu harus jadi bodyguard-nya Dinda selama-lamanya.”
            “Kalau itu mah bukan hukuman kak, dengan senang hati aku jalanin. Aku janji bakal ngejaga Dinda selamanya.” ujar Rangga tersenyum sembari menatapku.
            Terlalu lama ditahan dadaku benar-benar sakit kali ini. “Kenapa? Padahal aku sudah tidak terkejut. Sakit, sakiit.” ujarku dalam hati pandanganku mulai buram tubuhku mulai melemas, terlihat Rangga dan kakaknya yang awalya tersenyum mulai memasang wajah panik. Tidak lama kemudian aku pun pingsan.
            Saat tersadar aku sudah berada di rumah sakit, orang tuaku berada disampiingku berserta Rangga dan kakaknya pun ada disampingku. Semua memasang wajah panik, kedua orang tua ku menangis ini pertama kalinya aku melihat ayah menangis setelah terakhir kali aku benar-benar menghabiskan waktu yang lama di rumah sakit, Rangga pun menangis dan memukul-mukul tangannya ke tembok.
            “Semuanya kenapa?” tanyaku dengan menahan rasa sakit di dadaku yang semakin menjadi-jadi. Sebelum mereka semua menjawab pandanganku sudah buram dan tidak sadarkan diri kembali.
           Ternyata pisau yang ditusukkan pria tadi malam beracun, racun yang dapat merangsang penyakit jantungku. Karena Rangga sudah tau kalau aku memiliki penyakit jantung maka dengan mudah dia tahu kelemahanku.
            Suster dan dokter masuk ke kamar Dinda, semua yang tadi berada di kamar keluar ruangan.
           “Ini salah aku, hukum mati aku kak. Kenapa aku bisa lupa dengan racun itu? Maafin aku Dinda, maafin aku.”  ujar Rangga emosi.
            “Kamu tenangin diri kamu, racun ini pasti ada obatnya kan? Cepet kasih tahu penawarnya cepet sebelum terlanbat.”
            “Ini sudah terlanbat kak, penawar itu bisa berfungsi kalau Dinda belum merasakan sakit. Saat Dinda merasakan sakit obat itu benar-benar sudah sampai ke jantung Dinda.” Rangga terus menangis dan duduk bersandar ke dinding koridor rumah sakit dengan memukul-mukul lantai.
            “Makanya kamu sebelum buat rencana pembunuhan tu mikir dulu!” sentak ayahku pada Rangga.
            “Gara-gara kecerobohan kamu kami akan kehilanga Dinda, kami akan kehilangan anak kami satu-satunya. Puas kamu bisa membuat kami merasakan hal sama saat ibumu pergi hah!” lanjut ayahku.
            “Sudah pa sudah.” ibu Dinda mencoba menenagkan.
            Satu jam kemudia, dokter dan pada suster keluar ruangan. Semua menyambut dokter tersebut dan menanyakan keadaan Dinda.
            “Suatu keajaiban detak jantungnya kembali normal, tapi keadaanya masih tidak sadarkan diri.”
            Semua memasang wajah lega saat mendengar detak jantung Dinda kembali normal.
            “Apa kami boleh masuk?” ujar ibu Dinda.
            “Tentu saja.” ujar dokter itu.
            “Terimakasih dok.”
            “Sama-sama”
            Setelah dokter itu pergi, kedua orang tua Dinda, Rangga da Candra masuk ke kamar Dinda lagi. Semuanya hanya bisa terdiam melihat keadaan Dinda yang terbaring lemah.
            “Kak kamu ngga ada tugas hari ini?”
            “Tugas kakak hari ini cuma ngurus kasus kamu.”
            “Ampe segitunya.”
            Malam pun tiba dan Dinda masih belum sadarkan diri, Rangga menawarkan diri untuk menjaga Dinda karena Dinda bisa seperti ini karena salahnya jadi Rangga merasa ini tanggung jawabnya dan membiarkan orang tua Dinda beserta kakaknya untuk pulang dan beristirahat di rumah.
            “Bagaimana bisa saya percaya kepada orang yang sudah melakukan percobaan pembunuhan pada anak saya untuk menjaga anak saya?” ujar ayah Dinda.
            “Bapak boleh melakukan apa pun terhadap saya jika saya melalukan hal yang membahayakan Dinda lagi, saya mencintai Dinda pak saya benar-benar menyesal sudah melakukan hal-hal yang buruk pada Dinda.”
            “Percayakan Dinda pada adik saya pak, saya yakin adik saya sudah benar-benar menyesal.” bela Candra.
            “Baiklah kalau begitu kami pulang dulu, kamu harus bener-bener ngejaga Dinda.”
            “Siap pak.”
            Orang tua Dinda dan Candra pun pergi meninggalkan ruangan, hanya ada Rangga dan Dinda seperti sepuluh tahun yang lalu hanya ada mereka berdua di ruangan itu hanya ada Rangga yang menemani Dinda.
            Satu minggu pun berlalu Dinda masih tidak sadarkan diri, Rangga dan kedua orang tuanya benar-benar mengkhawatirka keadaan Dinda.
            “Ayolah nak, sadar mama tidak tega melihat kamu dipasang alat sebanyak itu untuk membantu kamu bertahan pasti rasanya sakit. Kalau kamu memang sudah tidak kuat mama rela kok kamu pergi, tapi jangan seperti ini. Mama bener-bener ngga tega ngeliat kamu disiksa oleh alat-alat bantu rumah sakit ini.” ujar ibuku menangis.
            “Iya nak, papa juga rela kalau memang kamu udah bener-bener ngga kuat, daripada kamu terus menahan rasa sakit akibat alat-alat rumah sakit ini.”
            “Oke Din aku juga rela, meskipun rasanya pasti menyakitkan harus kehilangan wanita yang berharga untuk kedua kalinya.”
            Beberapa menit kemudian, jari-jari Dinda mulai bergerak menandakan Dinda akan sadarkan diri. Tidak lama kemudian, mata Dinda yang mulai terbuka lalu memandang semuanya. Terlihat Dinda ingin berbicara sesuatu tetapi sulit karena alat-alat dimulutnya, Dinda mencoba melepaskan alat-alat itu.
            “Jangan dilepas sayang, nanti..” ujar ibu Dinda terpotong.
            “Inget mama udah ikhlas, mungkin Dinda ingin mengatakan kata-kata terakhirnya.” sela ayah Dinda menahan gerakan ibu Dinda lalu membantu Dinda melepaskan alat-alat yang membuatnya merasa sakit.
            Setelah alat-alat yang menghalanginya berbicara terlepas, Dinda pun mulai mencoba berbicara.
            “Mm.ma, pa, Ra..Rang..ga, Din..da sa..sa…yang sama kalian.  Wa..walaupun Dinda ha..rus pergi sekarang, Din..da udah seneng banget bisa dikasih waktu hidup sampai de..tik ini dan melihat mama dan papa ada disini. Dan kamu Rangga makasih u..dah ngejaga aku dan memeberi kasih sayang tambahan kepadaku, aku juga sa..yang kamu Rang..ga. Maafin Dinda ya ma pa, belum bisa ngebahagian mama dan papa sampai akhir hayat Dinda, padahal itu cita-cita Dinda.”
            “Mama dan papa udah seneng kok selama ini.” ujar ibu Dinda menangis.
            “Dinda pe..pengen ngeliat kalian tersenyum sebelum Dinda pergi.”
            “Bisa tersenyum gimana Din? Kami bakal kehilangan kamu.” ujar Rangga menangis.
            Tangan Dinda mencoba meraih Rangga yang membuat Rangga mendekat agar Dinda tidak banyak bergerak. Saat sudah terjangkau Dinda menarik Rangga kepelukannya.
            “Te..rimakasih karena sudah membuatku merasakan jatuh cinta untuk pertama dan terakhir kalinya.” ujarku lalu mencium kepala Rangga.
            Setelah melepas Rangga, Dinda mencoba meraih kedua orang tuanya yang membuat kedua orang tuanya mendekat, dengan cara yang sama Dinda memeluk kedua orang tuanya.
            “Dinda sayang sama mama dan papa, jangan bersedih ya pas Dinda ngga ada, Dinda se..lalu ada sama mama dan papa di hati mama dan papa.” pelukan untuk orang tuanya lebih lama dibanding saat untuk Rangga.
            “Ayo dong se..muanya tersenyum biar Dinda bisa pe.. pergi dengan bahagia.” ujarku dengan tersenyum.
            Semuanya pun memasang wajah tersenyum dan menahan tangis hingga akhirnya keluar kata “terimakasih” dari mulut Dinda lalu diikuti dengan mata Dinda yang mulai terpejam dengan air yang menetes dari mata Dinda. Setelah Dinda terpejam semua menangis, air mata yang mereka tahan benar-benar sudah tidak terbendung melihat Dinda benar-benar pergi walau pun pergi dengan tangis bahagia.
            “Dan akhirnya aku benar-benar kehilangan dua wanita berharga dalam hidupku, selamat tinggal Dinda semoga kamu tenang disana.” ujar Rangga.
            “Maaf ma kelakuan Rangga yang satu ini pasti bener-bener ngebuat mama kecewa.” lanjutnya.

Tamat
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Newer Posts
Older Posts

Follow Us

  • deviantart
  • instagram
  • twitter
  • wattpad

recent posts

Sponsor

Blog Archive

  • November 2017 (1)
  • June 2017 (1)
  • May 2017 (1)
  • November 2016 (1)
  • September 2016 (1)
  • August 2016 (3)
  • June 2015 (1)
  • November 2014 (1)
  • August 2014 (4)
  • May 2013 (3)
  • March 2013 (2)
  • January 2013 (1)
  • November 2012 (2)
  • September 2012 (1)
  • August 2012 (4)
  • November 2011 (1)

Pengunjung

I am in Google+

Unknown
View my complete profile

Followers

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates