Dimana Keajaiban Itu?

by - August 26, 2012

Di pagi yang sangat dingin, tiba – tiba handphoneku berbunyi. Saat aku mengangkatnya, terdengar suara yang tidak asing lagi, suara yang selalu bisa membuatku nyaman. Ya, benar yang menelepon adalah kekasihku.
“Happy Universary” ujar suara dibalik telepon genggam itu.
          Aku tak bisa menahan senyumanku, karena untuk pertama kalinya dia yang mengingatkan aku, di hari ketiga tahun aku bersamanya. Dia pun mengajakku pergi ke suatu tempat, awalnya aku menolak karena sepertinya cuaca hari ini tidak mendukung. Tetapi, dia selalu bisa merayuku hingga aku mengatakan iya.
          Namanya Dion, dia memang bukan siapa – siapa, hanya anak pemalas yang sifatnya sering berubah – ubah. Tetapi dia adalah segalanya untukku, dia selalu mengerti dan ada untukku disaat aku sedang senang atau sedih. Mungkin ini yang namanya keajaiban, keajaiban yang membuat hidupku lebih berarti disaat aku mulai kehilangan orang – orang yang aku sayang.
         Tidak lama setelah menutup telepon, aku segera ganti baju dan berdandan. Padahal aku bukan tipe cewe yang suka berdandan, tapi entah kenapa hari ini aku ingin sekali terlihat beda dan membuatnya senang.
Tepat pukul 9.00 WIB, dia datang ke rumah untuk menjemputku. Seolah kami memang jodoh, tanpa ada perjanjian pakaian yang kami pakai warnanya sama yaitu warna coklat, hanya dia menambahkan jaket berwarna hitam pada pakaiannya.
          Tidak lama berbincang – bincang, kami pun lanngsung pergi dan tentunya izin dulu ke pamanku. Pamanku kenal dengan orang tua Dion jadi tanpa bicara panjang lebar pamanku mengijinkan kami pergi.
          Tiga puluh menit pun berlalu, kami sampai di tempat yang sangat indah. Banyak pepohonan dan pemandangan dari atas yang membuatku kagum akan keindahan alam. Dia tau aku lebih suka tempat yang indah dari pada mall dan sejenisnya, mungkin itu alasannya dia membawaku ke sini.
          Setelah berkeliling dan bernarsis ria bersamanya, sekitar pukul 12.30 WIB dia mengajakku turun untuk makan di sebuah kedai kecil. Kedainya memang kecil tetapi makanannya begitu enak sepertinya tempat ini sudah tidak asing buatnya hingga dia tau dimana tempat yang makanannya enak.
          Saat sedang makan, dia terus memperhatikanku, tatapannya berbeda dengan biasanya. Tangannya pun mulai meraih tanganku. Aku baru pertama melihat ekspresinya yang serius seperti ini.
“Jangan pernah tinggalin aku ya, aku sayang sama kamu.” ujarnya sambil memegang tanganku dan memancing air mataku keluar.
Aku hanya bisa mengangguk. Dia membalas anggukanku dengan senyumannya, dan melepas tangannya dariku lalu mengusap air mataku. Tetapi air mataku semakin deras, seolah – olah aku merasa bahwa aku akan kehilangan dia. Melihat air mataku terus keluar, dia pun menarikku pada dekapannya.
“Lepasin, malu tau.” ujarku dengan nada manja.
“Biarin, yang penting orang lain ngga boleh ngeliat kamu nangis. Cukup aku yang boleh ngeliat kamu sedih.” ujarnya yang membuat senyumku kembali.
          Setelah kami menghabiskan pesanan kami, dia membayar bonnya dan membelikan aku minuman yang paling aku suka. Dia pun memberikan minuman itu padaku dan menyuruhku untu menunggu di dalam karena ia ingin mengambil motornya dulu di atas karena kami tidak menggunakan motor saat ke tempat makan jadi motor tetap di parkir di tempat awal kami singgah.
          Beberapa menit setelah ia pergi, di luar terjadi keributan.
 “Ada kecelakaan motor.” ujar salah satu penduduk setempat.
 “Warna pakaiannya apa?” tanyaku cemas.
“Memakai kaos berwarna coklat seperti yang anda pakai.” jawab pria itu.
          Dengan reflek aku berlari ke tempat kejadian dan berharap kalau itu bukan Dion. Baru setengah jalan ke tempat kejadian, ada motor dari arah atas yang menabrakku. Aku tidak bisa melihat orang itu, penglihatanku mulai buram. Yang aku lihat hanya seseorang yang berjaket hitam turun dari motor yang menabrakku. Setelah itu aku tidak ingat apa pun, mataku perlahan tertutup.
          Perlahan aku mencoba membuka mataku, ternyata aku sudah sampai di tempat yang asing bagiku.
“Dimana aku?” ujarku dalam hati.
          Saat aku ingin beranjak dari tempat tidur, aku tidak dapat merasakan pergelangan kaki kananku, dengan reflek aku berteriak. Teriakanku membuat pamanku yang berada di luar segera masuk ke ruang tempatku dirawat.
“Kamu sudah sadar?” ujar pamanku dilapisi senyuman dibibirnya.
Aku hanya menangis melihat kakiku yang mati rasa, pamanku yang melihat aku menangis memelukku dan berkata, “Tenanglah itu hanya sementara.”  ujarnya mencoba menenangkanku.
          Di tengah – tengah tanngisanku, aku teringat pada Dion.
“Paman, apa Dion ada?”
“Setelah mengantarmu ke sini, dia langsung pergi karena tahu pergelangan kakimu lumpuh karenanya. Dan berkata ‘Tenang aja om, Kirana ngga akan ngerasa sakit sendirian.”
Aku hanya terdiam, entah harus sedih karena dia pergi atau harus marah karena telah membuatku seperti ini.
          Keesokan harinya, kata dokter aku sudah boleh pulang dari rumah sakit tetapi aku masih tidak melihat sosok Dion yang menjemputku, hanya ada orang tuanya yang terus melontarkan kata maaf padaku. Aku hanya bisa tersenyum dan berjalan dengan kaki kanan yang diselimuti gips dan dua alat bantu berjalan ditemani oleh kedua orang tuaku.
          Tiga hari pun berlalu, aku merasa ada yang hilang dari hidupku rasa yang dulu pernah aku rasakan saat ditinggal kedua orang tuaku. Tiba – tiba kenangan – kenangan bersama Dion muncul dibenakku.
“Apa harus beakhir seperti ini? Aku butuh keajaiban itu lagi. Aku masih membutuhkannya.” ujarku dalam hati sembari melihat foto – foto bersamanya.
          Satu minggu pun berlalu, masih belum ada kabar darinya, kakiku pun masih belum sembuh total.
“Dimana keajaiban itu sekarang? Aku benar – benar sangat membutuhkannya Tuhan. Aku ingin dia ada disisiku dan menyemangati hidupkku lagi.”
          Tidak lama kemudian, handphoneku berbunyi.
“Kirana, Dion sekarang di rumah sakit. Tante harap kamu bersedia datang kesini.” Ujar seorang wanita dibalik telepon yang merupakan ibunya Dion.
“Genggamanku langsug melonggar, handphoneku yang terjatuh aku tinggalkan begitu saja dan langsung bergegas ke rumah sakit tanpa menghiraukan rasa sakit pada kaki kananku.
          Sesampai di rumah sakit, aku langsung menanyakan kamar Dion dirawat pada bagian pendaftaran dan langsung menuju kamar tersebut.
          Terlihat orang tua Dion yang dilapisi wajah cemas dan memandangi kakiku.
“Udah ngga terlalu parah kok om tante.” ujarku.
“Kirana boleh liat Dion?” lanjutku.
“Tentu.” ujar ibunya Dion.
          Aku pun langsung masuk ke kamar tempat Dion dirawat. Aku melihatnya terbaring lemah di tempat tidur air mataku tak bisa ku tahan lagi dan keluar begitu saja. Aku meraih tangannya yang ditempeli jarum infus dan memegangnya dengan erat.
          Tiba – tiba orang tua Dion masuk ke ruangan.
“Kaki kirinya lumpuh permanen.”  ujar ibunya Dion sembari menangis.
Aku langsung terdiam dan memandangi kakinya.
“Mungkin ini karma karena Dion sudah membuatmu seperti itu.” lanjut ibu Dion.
“Sssttt, tante. Jangan ngomong sembarangan ah.” ujarku.
“Sepanjang perjalanan ke rumah sakit dia terus menyebut – nyebut namamu. Mungkin cuma kamu yang bisa membuat Dion bertahan. Tante mohon jangan tinggalin Dion.” lanjut ibu Dion lagi sembari menangis.
Lagi – lagi aku mendengar kata itu, kalimat yang menyuruhku untuk berada disisinya.
          Beberapa menit kemudian, tangan yang kupegang itu mulai bergerak dan perlahan menggenggam tanganku. Matanya perlahan terbuka dan memandangku dengan senyuman khasnya.
“Ma..a..ah pa..a..ah, bi...sa ti...ting..ga..lin Dion ss..sa..ma Ki..ra..na dulu?” ujarnya dengan susah payah.
Orang tua Dion pun keluar ruangan dengan senyum bahagia karena akhirnya Dion sadar.
“Akhirnya aku bisa ngerasain apa yang kamu rasain gara – gara kebodohanku.” ujarnya sembari tersenyum.
“Jadi kamu sengaja? Dion bodoh, kamu orang terbodoh yang pernah aku temui.” kataku dengan nada marah dan melepaskan tangannya.
“Hahaha, sudah lama aku tidak mendengar kata – kata itu.”
“Dion bodooooohhhh.” ujarku diikuti air mata yang terus mengalir.
“Dengan keadaan aku yang seperti ini, kamu boleh kok ninggalin aku.”
“Ninggalin?”
“Yaps, mana ada sih cewe secantik kamu yang mau sama orang cacat kayak aku. Hahaha.”
“Cukup, jangan pernah mengatakan kalau kamu cacat. Aku akan nepatin janji aku, aku akan selalu ada disamping kamu. Aku sayang sama kamu Dion, jangan buat aku khawatir lagi ya?” ujarku sambil memegang tangannya dengar erat.
"Makasih sayang." ujarnya sembari menarik tanganku lalu menciumnya. Terlihat air mata juga keluar dari mata Dion.

Tamat

You May Also Like

0 comments