Di salah satu kelas, di salah satu SMA negeri di Jakarta.
“Minggu depan udah libur semester nih, main ke dufan yuk?” ajak Via.
“Males, panas” keluh Raka.
“Yaelah, mana ada sih di sini ngga panas” ujar Gian.
“Aku sih ayo aja” jawab Luna.
“Tuh Luna udah mau, Gian juga mau, ayo ih Ka?”
“Lah kapan gua bilang mau?” protes Gian.
“Mau ngga?” tanya Via sembari menatap tajam(?) mata Gian.
“Oke caw” jawab Gian. “Udah lu ikut aja Ka, lu tau sendiri kalo si Via udah kepengen gimana” lanjut Gian.
“Errrr, oke ayo”
“Yeay, sabtu depan yaa”.
Via, Luna, Raka dan Gian adalah empat serangkai yang selalu bersama. Mereka bersahabat dari SD, dan mereka selalu masuk di sekolah yang sama. Kali ini selain di sekolah yang sama mereka dipertemukan dalam satu kelas. Via merupakan siswi yang aktif berorganisasi, dia ikut banyak kegiatan sekolah dan merupakan yang paling sibuk di antara mereka berempat. Sedangkan Gian merupakan siswa yang aktif dalam berolahraga, Gian sering ikut lomba yang mewakili sekolahnya. Raka dan Luna merupakan siswa dan siswi yang berprestasi, mereka sering ikut olimpiade untuk mewakili sekolah.
Hari sabtu pun tiba, mereka janjian di gerbang depan dufan. Seperti biasa, orang yang paling tepat waktu adalah Luna dan Raka.
“Mereka belum dateng?” tanya Raka pada Luna.
“Belum” jawab Luna sembari menggelengkan kepala.
“Kebiasaan.” ketus Raka.
Setelah sepuluh menit berlalu, Via datang dan segera lari menghampiri Raka dan Luna.
“Sorry, hehe” ujar Via pada Raka dan Luna.
Lima menit kemudian, Gian datang. Melihat hanya dia yang belum datang Gian langsung berlari menghampiri teman-temannya.
“Sorry, macet” ujar Gian terengah-engah.
“Klasik” ketus Raka.
“Gua ngga bilang ke lu, gua bilang bilang buat Luna sama Via yeee”
Luna dan Via tersenyum menahan tawa.
“Bodo, gua balik” ujar Raka.
“Yaelah ini anak satu pundungan amet. Candalah Ka, lu kayak yang baru kenal gua aja” ujar Gian sembari merangkul Raka.
Mereka berempat pun mulai mengantri untuk membeli tiket masuk.
“Vi, mau gua bantuin ngga biar lu bisa berdua sama Raka” bisik Gian pada Via.
“Apaan sih, bilang aja lu mau berdua sama Luna”
“Yaaa itu mah bonus” jawab Gian tertawa.
“Ngga usahlah, kita berempat aja tapi pas naik wahana lu tarik Luna. Wkwkwk”
“Tenanglah masalah Luna mah gua urus.”
“Iya seneng lu mah di kasih Luna”
“Eh baik gua mah, ngebantu lu deket sama Raka.”
“Buat alesan doang itu mah”
“Wkwkwk”
“Ngomongin apaan kalian” tanya Raka.
Serentak Via dan Gian menggelengkan kepala.
Mereka berempat pun masuk ke dufan dan menjajal semua wahana yang ada. Terkadang rencana Via dan Raka berhasil, yaitu memposisikan agar Via berdua sama Raka dan Gian berdua sama Luna atau agar Via bersampingan sama Raka dan Gian bersampingan sama Luna. Tapi kadang juga rencana itu gagal yang akhirnya malah Via berdua sama Gian dan Raka berdua sama Luna. Namun, mereka tetap meninkmati wahana dan kegiatan yang mereka lakukan bersama.
Malam pun tiba, waktunya dufan tutup. Mereka pun bersiap untuk pulang, karena memang sudah malam dan kebetulan Gian membawa mobil walaupun memang nekat karena belum punya sim tapi Gian selalu lolos dari razia polisi. Mereka berempat akhirnya pulang bersama dan di antar Gian. Posisi duduk pun sudah Gian rencanakan, Luna di depan yang artinya di samping Gian sedangkan Via dan Raka di belakang.
Selama di perjalanan, karena lelah Via dan Raka tertidur. Diantara mereka berempat memang Via dan Raka yang memiliki jam tidur lebih cepat dari Luna dan Gian. Karena tidak sadar, kepala Via menyender ke bahu Raka begitu pun kepala Raka yang menyender ke kepala Via.
“Mereka cocok ya?” ujar Gian.
“Iya” jawab Luna dengan anggukkan.
“Kalau lu suka sama siapa Lun?” tanya Gian.
“Ntah Gi, aku belum mikirin hal itu”
“Wajar kok Lun jatuh cinta tuh”
“Hhmm iya sih, tapi punya kalian aja udah cukup buat aku.”
“Unch, haha”
Rumah Via merupakan rumah yang paling dekat diantara mereka berempat. Setelah tiba di depan rumah Via, Luna pun memanggil nama Via agar Via terbangun.
“Vi? Bangun, udah nyampe.” ujar Luna
“Hm?” ujar Via masih belum membuka matanya. Namun panggilan itu malah membangunkan Raka. Raka yang memang ada di samping Via akhirnya ikut membangunkan Via dengan menggoyangkan tangan Via.
“Vi, bangun udah nyampe rumah kamu.” ujar Raka.
“Hm? Bentar ngantuk.” ujar Via dengan nada manja karena memang dibanding Luna Via lebih manja.
“Enak ya Vi tidur di mobil gua?” ujar Gian.
Via sadar kalau kepalanya bersender ke bahu Raka, dan akhirnya segera bangun.
“Cepet masuk, langsung tidur.” ujar Raka.
“Tuh nurut Vi, rumah paling deket aja telat.”
“Ih apaan sih kayak lu ngga telat aja.”
“Eh gua wajar, jauh” ujar Gian dengan sombong.
Via hanya mengulurkan lidah, lalu keluar mobil Gian.
“Makasiih yaaa. Hati-hati kalian.”
Luna, Raka dan Gian pun pamit dan melanjutkan mengantar Luna. Setelah Luna turun, Raka pindah ke depan.
“Ngapain lu Ka?” tanya Gian.
“Lu mau gua dibelakang? Ogah, jad kayak supir gua nanti lu.”
“Lah yang mau nganterin lu siapa?”
“Oke gua turun.”
“Hhahaha, lu mah ngomong doang tapi ngebuka pintu aja kagak” ejek Gian melanjutkan perjalanan.
“Ya kan gua udah tau lu”
“Okelah alasan diterima, haha”
Gian pun mengantar Raka sampai rumah, lalu terakhir Gian pulang ke rumahnya.
Keesokkan hari pun tiba. Semuanya berjalan seperti biasa, walaupun libur semester sibuk dengan organisasinya, Gian dengan olahraganya, Raka dan Luna merupakan yang paling sering punya waktu luang karena hanya sibuk ketika ada olimpiade. Karena Luna ingin membeli buku dan Via tidak bisa menemani Luna jadi Luna meminta Raka untuk menemani dia dan Raka menyetujuinya.
Raka menjemput Luna ke rumahnya, lalu mereka langsung menuju toko buku.
Sesampai di toko buku.
“Mau beli buku apa emang Lun?”
“Pengen beli novel aja sih, daftar bacaan aku habis.”
“Lu suka genre apa?”
“Fantasi sih, dan lebih suka novel terjemahan”
“Gua juga ngoleksi itu tuh, kok gua baru tau lu suka ngoleksi juga.”
“Aku biasanya minta temenin ke Via sih, tapi Vianya lagi sibuk sekarang. Dan emang aku ngga pernah bawa novel ke sekolah, yaa itu khusus bacaan kalau ada waktau luang di rumah aja”
Raka dan Luna pun mengobrol tentang judul-judul buku yang sudah mereka baca, saling memberikan komentar terhadap buku yang mereka baca dan diiringi tawa.
“Udah waktunya makan siang nih, mau nyari makan di luar dulu ngga?” tanya Raka.
“Boleh.”
Luna pun langsung pergi ke kasir untuk membayar buku-buku yang ia pilih. Setelah selesai membayar, mereka berdua pergi ke tempat makan yang tidak jauh dari situ.
“Lun?”
“Ya?”
“Menurut lu, Gian gimana?”
“Gian? Kenapa tiba-tiba nanya tentang Gian?”
“Yaa nanya aja.”
“Hhmm, dia baik, cepet akrab sama orang juga, suka nolong kalau aku butuh bantuan.. Hhmm apa lagi ya?”
“Masuk tipe lu ngga?”
“Hah? Maksudnya?”
“Yaaa Gian tu tipe lu ngga?”
“Hhhmm, ntah sih Ka lagi ngga pengen mikirin gituan”
“Ngga ada cowo yang lagi lu suka?”
“Kenapa sih pada nanyain itu? Kemarin Gian juga nanya itu?”
“Oh dia udah nanya, terus lu jawab apa?”
“Yaa aku bilang lagi ngga pengen mikirin itu”
“Sebenernya aku suka sama kamu Ka, tapi aku tau kalau Via suka sama kamu” lanjut Luna dalam hati.
“Sebenernya gua suka sama lu Lun, tapi gua tau kalau Gian juga suka sama lu” ujar Raka dalam hati.
Pelayan yang mengantar makanan pun tiba. Mereka pun mulai makan makanan yang mereka pesan. Karena lokasi mereka duduk merupakan lokasi yang dekat dengan jendela otomatis mereka akan terlihat dari luar, dan Via tidak sengaja melihat Raka dan Luna. Via pun berjalan menuju tempat makan itu berniat menghampiri mereka, namun Via melihat kedua temannya itu memancarkan wajah bahagia yang biasanya tidak dipancarkan oleh mereka berdua. Melihat hal tersebut, Via menghentikan langkahnya dan meneruskan jalan kembali ke rumah.
“Apa merekaa…….. Ngga ngga Vi, mereka wajar deket kayak gitu mereka sering ada kegiatan sekolah bareng.” ujar Via dalam hati dan terus berjalan.
Waktu libur pun berlalu, mereka berempat akhirnya harus masuk sekolah kembali. Saat mulai masuk, Via melihat kalau Luna dan Raka memang semakin dekat. Walaupun Luna memang masih sering membantu Via untuk dekat dengan Raka, tapi Via merasa kalau Luna dan Raka memang lebih dekat dari sebelumnya. Ada obrolan yang hanya mereka berdua yang mengerti sedangkan Via dan Gian tidak mengerti, sehingga hanya Luna dan Raka yang tertawa. Awalnya Via merasa biasa saja, tapi lama-lama ketika hal itu terjadi Via memilih untuk mencari alasan agar meninggalkan mereka. Gian yang menyadari Via bertingkah aneh akhirnya menyusul Via.
“Lo kenapa?”
“Ngga apa-apa.”
“Cemburu?”
Via hanya terdiam.
“Gue juga sadar kok kalau mereka semakin deket.
“Kayaknya Luna suka sama Raka deh Gi, dan kayaknya Raka juga suka sama Luna”
“Ngga mungkin, bisa aja mereka deket gara-gara yaaa emang mereka suka bareng-bareng.”
“Ngga Gi, pas libur kemarin gue ngeliat mereka makan bareng. Dan lo mau tau ekspresi mereka gimana? Dua-duanya mancarin aura bahagia Gi”
Karena Via dan Gian pergi cukup lama, dan Luna menyadari kalau mungkin Via pergi karena cemburu akhirnya Luna menyusul Via dan disusul oleh Raka.
“Kalian ngapain di sini? Vi, bukannya lu bilang mau ke toilet?” tanya Raka yang tiba-tiba datang.
“Gi, urus ya gue mau ke toilet.” bisik Via lalu pergi tanpa melihat ke arah Raka maupun Luna.
Gian melihat air mata menetes dari mata Via.
“Via kenapa?” tanya Raka.
“Tadi gua cegat dulu dia, salah gua sih jadi dia langsung buru-buru sekarang.”
Melihat Luna yang terlihat merasa bersalah, Gian menggelengkan kepalanya mengartikan kalau itu bukan salah Luna.
“Ka, lu dipanggil guru” ujar salah satu siswa yang sekelas dengan mereka.
“Arrgh, gua tinggal dulu ya” Raka pun pergi ke ruang guru.
“Via kenapa Gi?”
“Ngga apa-apa Lun, biasa.”
Tidak lama kemudian, Via kembali lagi ke tempat Gian dan Luna.
“Hai Lun, kenapa jadi ke sini? Raka mana?”
“Dia dipanggil guru tadi, kamu lama soalnya Vi terus tiba-tiba Gian juga pergi. Kamu kenapa?”
“Hehe, ngga apa-apa Lun itu ngga tau si Gian aja maen cegat jadi ngga bisa langsung ke toilet. Yuk balik lagi ke kelas.”
“Maaf Vi”
“Lah kenapa minta maaf?”
Keesokkan hari pun tiba, menyadari kalau kemungkinan Via cemburu akhirnya Luna mengambil jarak dari Raka. Tidak ada lagi percakapan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Semuanya kembali normal, namun justru terkesan Luna menghindari Raka. Raka yang mengadari kalau Luna mulai menghindar tidak terlalu memperdulikan hal itu, karena dekat pun Raka tetap tidak akan mengutarakan apa yang ia rasakan untuk menjaga perasaan Gian.
Beberapa hari berlalu, Via akhirnya menyadari kalau Luna dan Raka malah jadi canggung. Akhirnya Via mengajak Gian keluar setelah pulang sekolah.
“Gi, ngerasa ada yang aneh ngga sih Luna sama Raka?”
“Ngga, bagus-bagus aja sih menurut gua mah”
“Yeeeeh”
“Hehe, iya iya mereka beda sama waktu pertama masuk. Setelah kejadian lu tiba-tiba pergi.”
“Kok gue jadi ngerasa bersalah.”
“Lah lu gimana sih, mereka deket salah mereka jauh salah.”
“Yaaa ngga jauh kayak gitu juga.”
“Kita tu jahat loh Gi” lanjut Via.
“Lah kenapa bawa-bawa gua?”
“Gue ngga mau Raka deket Luna gara-gara gue suka sama Raka, dan lu ngga mau Luna deket sama Raka gara-gara lu suka sama Luna. Jahat ngga? Kita mentingin ego kita disbanding perasaan mereka. Dan gue punya feeling kalau Luna ngejauh gara-gara ngga enak sama gue.”
“Pernyataan terakhir setuju sih, karena waktu itu Luna sempet sadar kalo dia udah ngebuat lu cemburu.”
(Via menghela nafas)
“Gi?”
“Ya?”
“Gimana kalau kita pura-pura jadian aja?”
“Hah? Buat apa?”
“Biar mereka bisa deket lagi”
“Kalau Luna tau gue udah ngga ngejar Raka, dan Raka tau kalau lu udah ngga ngejar Luna mungkin mereka bakal lebih terus terang.”
“Lo yakin bisa ngerelain Raka?”
“Ya buat sahabat gue sendiri, kenapa ngga?”
“Yakin?”
“Yakin Gi, karena gue sadar ada hal-hal yang emang ngga bisa dipaksakan”
“Nah lu sendiri gimana? Ikhlas Luna sama Raka?” lanjut Via.
“Yaa kayak kata lu, buat sahabat sendiri kenapa ngga?”
“Fix nih ya, kita pura-pura jadian depan mereka aja.”
“Iyaa”
Keesokkan harinya, Via dan Gian datang bersama ke sekolah.
“Lah tumben” ujar Raka.
“Gua jadian sama Via” ujar Gian sembari mengangkat tangan yang memegang tangan Via, ditambah dengan senyuman Via.
“Bukannya..” ujar Luna dan Raka serempak.
“Yang gua ceritain ke lu itu bohong.” ujar Gian pada Raka.
“Yang gue ceritain ke lu juga bohong Lun” ujar Via ke Luna.
“Serius Vi?” tanya Luna masih heran, walaupun memang kedekatan Via dan Gian lebih terlihat dari awal mereka sahabatan.
“Serius, hehe” ujar Via tersenyum.
Raka pun berdiri dari kursinya dan melepaskan tangan Gian yang memegang tangan Via.
“Maaf Vi, gua udah tau dari Luna. Jangan salahin Luna kenapa dia cerita, karena dia cerita gara-gara gua yang maksa. Gua ngeliat lo nangis waktu itu, dan setelah itu Luna menjauh dari gua akhirnya gua tanya sebenernya ada apa dan akhirnya dia cerita. Lo suka sama gua Vi? Dan Luna juga udah tau Gi kalau lo suka sama Luna. Gua tau ini pasti Via yang punya rencana biar kalian pura-pura pacaran, gua udah kenal lo lama Vi, gua tau mana senyum lo yang emang senyum dan mana yang pura-pura.” ujar Raka.
Via mulai meneteskan air mata dan menunduk. Raka mengangkat dagu Via lalu berkata “Maafin gua yang ngga peka sama perasaan lo, tapi gua yakin lo ngelakuin ini gara-gara lo tau kalau gua suka sama Luna. Maafin gua Vi, gua belum bisa bales perasaan lo. Tapi gua ngga akan jadian sama Luna, jujur gua ngga mau ngeliat lo nangis lagi Vi. Via yang gua kenal ngga pernah nangis di depan kita apalagi di depan orang.” lanjut Raka.
“Maafin gue, maafin keegoisan gue.” ujar Via.
“Ini keputusan gua sama Luna kok Vi bukan gara-gara lo.” ujar Raka.
“Iya Vi, aku juga ngaku kalau aku punya rasa sama Raka tapi rasa aku ke Raka ngga sebesar rasa aku ke kalian. Jadi aku dan Raka milih buat lebih mentingin persahabatan kita.” ujar Luna sembari memeluk Via.
“Maafin gue Lun.” ujar Via.
“Jadi ngga usah pura-pura jadian ya, hapus juga air mata lo. Awas aja kalau keliatan nangis lagi.” ujar Raka sembari meletakkan tangannya di kepala Via dan menatap mata Via. Via hanya menganggukkan kepala lalu mengusap air matanya.
“Mmmm, teman-teman by the way kita ada di kelas nih dan sepertinya jadi tontonan.” ujar Gian sembari melihat sekeliling diikuti Via, Luna dan Raka. Ada yang ikut terharu, ada yang bingung, ada yang tidak peduli, dan ada yang ngabadikan gambar (?).
“Oke, ceritanya bersambung. Silahkan kembali ke pekerjaan kalian masing-masing.” ujar Gian agak berteriak. Karena sadar menjadi pusat perhatian, Gian, Via, Luna dan Raka kembali ke bangku mereka masing-masing dengan perasaan malu.
“Lu ngga ngingetin dari awal kita lagi di kelas” bisik Raka.
“Helloo tokoh utama yang diperebutkan, matanya dipake makanya” ketus Gian.
“Sirik aja lu”
“Iyalah, gua kapan diperebutin? Padahal biasanya cewe lebih suka sama cowo yang suka olahraga, tapi kenapa malah lo?” ujar Gian dengan memasang ekspresi miris(?).
“Sabar ya” ujar Raka menepuk pundak Gian.
“Kok gua benci ya kalau lu udah songong”
Raka hanya menaikan bahunya.
“Tch” ketus Gian.
“Minggu depan udah libur semester nih, main ke dufan yuk?” ajak Via.
“Males, panas” keluh Raka.
“Yaelah, mana ada sih di sini ngga panas” ujar Gian.
“Aku sih ayo aja” jawab Luna.
“Tuh Luna udah mau, Gian juga mau, ayo ih Ka?”
“Lah kapan gua bilang mau?” protes Gian.
“Mau ngga?” tanya Via sembari menatap tajam(?) mata Gian.
“Oke caw” jawab Gian. “Udah lu ikut aja Ka, lu tau sendiri kalo si Via udah kepengen gimana” lanjut Gian.
“Errrr, oke ayo”
“Yeay, sabtu depan yaa”.
Via, Luna, Raka dan Gian adalah empat serangkai yang selalu bersama. Mereka bersahabat dari SD, dan mereka selalu masuk di sekolah yang sama. Kali ini selain di sekolah yang sama mereka dipertemukan dalam satu kelas. Via merupakan siswi yang aktif berorganisasi, dia ikut banyak kegiatan sekolah dan merupakan yang paling sibuk di antara mereka berempat. Sedangkan Gian merupakan siswa yang aktif dalam berolahraga, Gian sering ikut lomba yang mewakili sekolahnya. Raka dan Luna merupakan siswa dan siswi yang berprestasi, mereka sering ikut olimpiade untuk mewakili sekolah.
Hari sabtu pun tiba, mereka janjian di gerbang depan dufan. Seperti biasa, orang yang paling tepat waktu adalah Luna dan Raka.
“Mereka belum dateng?” tanya Raka pada Luna.
“Belum” jawab Luna sembari menggelengkan kepala.
“Kebiasaan.” ketus Raka.
Setelah sepuluh menit berlalu, Via datang dan segera lari menghampiri Raka dan Luna.
“Sorry, hehe” ujar Via pada Raka dan Luna.
Lima menit kemudian, Gian datang. Melihat hanya dia yang belum datang Gian langsung berlari menghampiri teman-temannya.
“Sorry, macet” ujar Gian terengah-engah.
“Klasik” ketus Raka.
“Gua ngga bilang ke lu, gua bilang bilang buat Luna sama Via yeee”
Luna dan Via tersenyum menahan tawa.
“Bodo, gua balik” ujar Raka.
“Yaelah ini anak satu pundungan amet. Candalah Ka, lu kayak yang baru kenal gua aja” ujar Gian sembari merangkul Raka.
Mereka berempat pun mulai mengantri untuk membeli tiket masuk.
“Vi, mau gua bantuin ngga biar lu bisa berdua sama Raka” bisik Gian pada Via.
“Apaan sih, bilang aja lu mau berdua sama Luna”
“Yaaa itu mah bonus” jawab Gian tertawa.
“Ngga usahlah, kita berempat aja tapi pas naik wahana lu tarik Luna. Wkwkwk”
“Tenanglah masalah Luna mah gua urus.”
“Iya seneng lu mah di kasih Luna”
“Eh baik gua mah, ngebantu lu deket sama Raka.”
“Buat alesan doang itu mah”
“Wkwkwk”
“Ngomongin apaan kalian” tanya Raka.
Serentak Via dan Gian menggelengkan kepala.
Mereka berempat pun masuk ke dufan dan menjajal semua wahana yang ada. Terkadang rencana Via dan Raka berhasil, yaitu memposisikan agar Via berdua sama Raka dan Gian berdua sama Luna atau agar Via bersampingan sama Raka dan Gian bersampingan sama Luna. Tapi kadang juga rencana itu gagal yang akhirnya malah Via berdua sama Gian dan Raka berdua sama Luna. Namun, mereka tetap meninkmati wahana dan kegiatan yang mereka lakukan bersama.
Malam pun tiba, waktunya dufan tutup. Mereka pun bersiap untuk pulang, karena memang sudah malam dan kebetulan Gian membawa mobil walaupun memang nekat karena belum punya sim tapi Gian selalu lolos dari razia polisi. Mereka berempat akhirnya pulang bersama dan di antar Gian. Posisi duduk pun sudah Gian rencanakan, Luna di depan yang artinya di samping Gian sedangkan Via dan Raka di belakang.
Selama di perjalanan, karena lelah Via dan Raka tertidur. Diantara mereka berempat memang Via dan Raka yang memiliki jam tidur lebih cepat dari Luna dan Gian. Karena tidak sadar, kepala Via menyender ke bahu Raka begitu pun kepala Raka yang menyender ke kepala Via.
“Mereka cocok ya?” ujar Gian.
“Iya” jawab Luna dengan anggukkan.
“Kalau lu suka sama siapa Lun?” tanya Gian.
“Ntah Gi, aku belum mikirin hal itu”
“Wajar kok Lun jatuh cinta tuh”
“Hhmm iya sih, tapi punya kalian aja udah cukup buat aku.”
“Unch, haha”
Rumah Via merupakan rumah yang paling dekat diantara mereka berempat. Setelah tiba di depan rumah Via, Luna pun memanggil nama Via agar Via terbangun.
“Vi? Bangun, udah nyampe.” ujar Luna
“Hm?” ujar Via masih belum membuka matanya. Namun panggilan itu malah membangunkan Raka. Raka yang memang ada di samping Via akhirnya ikut membangunkan Via dengan menggoyangkan tangan Via.
“Vi, bangun udah nyampe rumah kamu.” ujar Raka.
“Hm? Bentar ngantuk.” ujar Via dengan nada manja karena memang dibanding Luna Via lebih manja.
“Enak ya Vi tidur di mobil gua?” ujar Gian.
Via sadar kalau kepalanya bersender ke bahu Raka, dan akhirnya segera bangun.
“Cepet masuk, langsung tidur.” ujar Raka.
“Tuh nurut Vi, rumah paling deket aja telat.”
“Ih apaan sih kayak lu ngga telat aja.”
“Eh gua wajar, jauh” ujar Gian dengan sombong.
Via hanya mengulurkan lidah, lalu keluar mobil Gian.
“Makasiih yaaa. Hati-hati kalian.”
Luna, Raka dan Gian pun pamit dan melanjutkan mengantar Luna. Setelah Luna turun, Raka pindah ke depan.
“Ngapain lu Ka?” tanya Gian.
“Lu mau gua dibelakang? Ogah, jad kayak supir gua nanti lu.”
“Lah yang mau nganterin lu siapa?”
“Oke gua turun.”
“Hhahaha, lu mah ngomong doang tapi ngebuka pintu aja kagak” ejek Gian melanjutkan perjalanan.
“Ya kan gua udah tau lu”
“Okelah alasan diterima, haha”
Gian pun mengantar Raka sampai rumah, lalu terakhir Gian pulang ke rumahnya.
Keesokkan hari pun tiba. Semuanya berjalan seperti biasa, walaupun libur semester sibuk dengan organisasinya, Gian dengan olahraganya, Raka dan Luna merupakan yang paling sering punya waktu luang karena hanya sibuk ketika ada olimpiade. Karena Luna ingin membeli buku dan Via tidak bisa menemani Luna jadi Luna meminta Raka untuk menemani dia dan Raka menyetujuinya.
Raka menjemput Luna ke rumahnya, lalu mereka langsung menuju toko buku.
Sesampai di toko buku.
“Mau beli buku apa emang Lun?”
“Pengen beli novel aja sih, daftar bacaan aku habis.”
“Lu suka genre apa?”
“Fantasi sih, dan lebih suka novel terjemahan”
“Gua juga ngoleksi itu tuh, kok gua baru tau lu suka ngoleksi juga.”
“Aku biasanya minta temenin ke Via sih, tapi Vianya lagi sibuk sekarang. Dan emang aku ngga pernah bawa novel ke sekolah, yaa itu khusus bacaan kalau ada waktau luang di rumah aja”
Raka dan Luna pun mengobrol tentang judul-judul buku yang sudah mereka baca, saling memberikan komentar terhadap buku yang mereka baca dan diiringi tawa.
“Udah waktunya makan siang nih, mau nyari makan di luar dulu ngga?” tanya Raka.
“Boleh.”
Luna pun langsung pergi ke kasir untuk membayar buku-buku yang ia pilih. Setelah selesai membayar, mereka berdua pergi ke tempat makan yang tidak jauh dari situ.
“Lun?”
“Ya?”
“Menurut lu, Gian gimana?”
“Gian? Kenapa tiba-tiba nanya tentang Gian?”
“Yaa nanya aja.”
“Hhmm, dia baik, cepet akrab sama orang juga, suka nolong kalau aku butuh bantuan.. Hhmm apa lagi ya?”
“Masuk tipe lu ngga?”
“Hah? Maksudnya?”
“Yaaa Gian tu tipe lu ngga?”
“Hhhmm, ntah sih Ka lagi ngga pengen mikirin gituan”
“Ngga ada cowo yang lagi lu suka?”
“Kenapa sih pada nanyain itu? Kemarin Gian juga nanya itu?”
“Oh dia udah nanya, terus lu jawab apa?”
“Yaa aku bilang lagi ngga pengen mikirin itu”
“Sebenernya aku suka sama kamu Ka, tapi aku tau kalau Via suka sama kamu” lanjut Luna dalam hati.
“Sebenernya gua suka sama lu Lun, tapi gua tau kalau Gian juga suka sama lu” ujar Raka dalam hati.
Pelayan yang mengantar makanan pun tiba. Mereka pun mulai makan makanan yang mereka pesan. Karena lokasi mereka duduk merupakan lokasi yang dekat dengan jendela otomatis mereka akan terlihat dari luar, dan Via tidak sengaja melihat Raka dan Luna. Via pun berjalan menuju tempat makan itu berniat menghampiri mereka, namun Via melihat kedua temannya itu memancarkan wajah bahagia yang biasanya tidak dipancarkan oleh mereka berdua. Melihat hal tersebut, Via menghentikan langkahnya dan meneruskan jalan kembali ke rumah.
“Apa merekaa…….. Ngga ngga Vi, mereka wajar deket kayak gitu mereka sering ada kegiatan sekolah bareng.” ujar Via dalam hati dan terus berjalan.
Waktu libur pun berlalu, mereka berempat akhirnya harus masuk sekolah kembali. Saat mulai masuk, Via melihat kalau Luna dan Raka memang semakin dekat. Walaupun Luna memang masih sering membantu Via untuk dekat dengan Raka, tapi Via merasa kalau Luna dan Raka memang lebih dekat dari sebelumnya. Ada obrolan yang hanya mereka berdua yang mengerti sedangkan Via dan Gian tidak mengerti, sehingga hanya Luna dan Raka yang tertawa. Awalnya Via merasa biasa saja, tapi lama-lama ketika hal itu terjadi Via memilih untuk mencari alasan agar meninggalkan mereka. Gian yang menyadari Via bertingkah aneh akhirnya menyusul Via.
“Lo kenapa?”
“Ngga apa-apa.”
“Cemburu?”
Via hanya terdiam.
“Gue juga sadar kok kalau mereka semakin deket.
“Kayaknya Luna suka sama Raka deh Gi, dan kayaknya Raka juga suka sama Luna”
“Ngga mungkin, bisa aja mereka deket gara-gara yaaa emang mereka suka bareng-bareng.”
“Ngga Gi, pas libur kemarin gue ngeliat mereka makan bareng. Dan lo mau tau ekspresi mereka gimana? Dua-duanya mancarin aura bahagia Gi”
Karena Via dan Gian pergi cukup lama, dan Luna menyadari kalau mungkin Via pergi karena cemburu akhirnya Luna menyusul Via dan disusul oleh Raka.
“Kalian ngapain di sini? Vi, bukannya lu bilang mau ke toilet?” tanya Raka yang tiba-tiba datang.
“Gi, urus ya gue mau ke toilet.” bisik Via lalu pergi tanpa melihat ke arah Raka maupun Luna.
Gian melihat air mata menetes dari mata Via.
“Via kenapa?” tanya Raka.
“Tadi gua cegat dulu dia, salah gua sih jadi dia langsung buru-buru sekarang.”
Melihat Luna yang terlihat merasa bersalah, Gian menggelengkan kepalanya mengartikan kalau itu bukan salah Luna.
“Ka, lu dipanggil guru” ujar salah satu siswa yang sekelas dengan mereka.
“Arrgh, gua tinggal dulu ya” Raka pun pergi ke ruang guru.
“Via kenapa Gi?”
“Ngga apa-apa Lun, biasa.”
Tidak lama kemudian, Via kembali lagi ke tempat Gian dan Luna.
“Hai Lun, kenapa jadi ke sini? Raka mana?”
“Dia dipanggil guru tadi, kamu lama soalnya Vi terus tiba-tiba Gian juga pergi. Kamu kenapa?”
“Hehe, ngga apa-apa Lun itu ngga tau si Gian aja maen cegat jadi ngga bisa langsung ke toilet. Yuk balik lagi ke kelas.”
“Maaf Vi”
“Lah kenapa minta maaf?”
Keesokkan hari pun tiba, menyadari kalau kemungkinan Via cemburu akhirnya Luna mengambil jarak dari Raka. Tidak ada lagi percakapan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Semuanya kembali normal, namun justru terkesan Luna menghindari Raka. Raka yang mengadari kalau Luna mulai menghindar tidak terlalu memperdulikan hal itu, karena dekat pun Raka tetap tidak akan mengutarakan apa yang ia rasakan untuk menjaga perasaan Gian.
Beberapa hari berlalu, Via akhirnya menyadari kalau Luna dan Raka malah jadi canggung. Akhirnya Via mengajak Gian keluar setelah pulang sekolah.
“Gi, ngerasa ada yang aneh ngga sih Luna sama Raka?”
“Ngga, bagus-bagus aja sih menurut gua mah”
“Yeeeeh”
“Hehe, iya iya mereka beda sama waktu pertama masuk. Setelah kejadian lu tiba-tiba pergi.”
“Kok gue jadi ngerasa bersalah.”
“Lah lu gimana sih, mereka deket salah mereka jauh salah.”
“Yaaa ngga jauh kayak gitu juga.”
“Kita tu jahat loh Gi” lanjut Via.
“Lah kenapa bawa-bawa gua?”
“Gue ngga mau Raka deket Luna gara-gara gue suka sama Raka, dan lu ngga mau Luna deket sama Raka gara-gara lu suka sama Luna. Jahat ngga? Kita mentingin ego kita disbanding perasaan mereka. Dan gue punya feeling kalau Luna ngejauh gara-gara ngga enak sama gue.”
“Pernyataan terakhir setuju sih, karena waktu itu Luna sempet sadar kalo dia udah ngebuat lu cemburu.”
(Via menghela nafas)
“Gi?”
“Ya?”
“Gimana kalau kita pura-pura jadian aja?”
“Hah? Buat apa?”
“Biar mereka bisa deket lagi”
“Kalau Luna tau gue udah ngga ngejar Raka, dan Raka tau kalau lu udah ngga ngejar Luna mungkin mereka bakal lebih terus terang.”
“Lo yakin bisa ngerelain Raka?”
“Ya buat sahabat gue sendiri, kenapa ngga?”
“Yakin?”
“Yakin Gi, karena gue sadar ada hal-hal yang emang ngga bisa dipaksakan”
“Nah lu sendiri gimana? Ikhlas Luna sama Raka?” lanjut Via.
“Yaa kayak kata lu, buat sahabat sendiri kenapa ngga?”
“Fix nih ya, kita pura-pura jadian depan mereka aja.”
“Iyaa”
Keesokkan harinya, Via dan Gian datang bersama ke sekolah.
“Lah tumben” ujar Raka.
“Gua jadian sama Via” ujar Gian sembari mengangkat tangan yang memegang tangan Via, ditambah dengan senyuman Via.
“Bukannya..” ujar Luna dan Raka serempak.
“Yang gua ceritain ke lu itu bohong.” ujar Gian pada Raka.
“Yang gue ceritain ke lu juga bohong Lun” ujar Via ke Luna.
“Serius Vi?” tanya Luna masih heran, walaupun memang kedekatan Via dan Gian lebih terlihat dari awal mereka sahabatan.
“Serius, hehe” ujar Via tersenyum.
Raka pun berdiri dari kursinya dan melepaskan tangan Gian yang memegang tangan Via.
“Maaf Vi, gua udah tau dari Luna. Jangan salahin Luna kenapa dia cerita, karena dia cerita gara-gara gua yang maksa. Gua ngeliat lo nangis waktu itu, dan setelah itu Luna menjauh dari gua akhirnya gua tanya sebenernya ada apa dan akhirnya dia cerita. Lo suka sama gua Vi? Dan Luna juga udah tau Gi kalau lo suka sama Luna. Gua tau ini pasti Via yang punya rencana biar kalian pura-pura pacaran, gua udah kenal lo lama Vi, gua tau mana senyum lo yang emang senyum dan mana yang pura-pura.” ujar Raka.
Via mulai meneteskan air mata dan menunduk. Raka mengangkat dagu Via lalu berkata “Maafin gua yang ngga peka sama perasaan lo, tapi gua yakin lo ngelakuin ini gara-gara lo tau kalau gua suka sama Luna. Maafin gua Vi, gua belum bisa bales perasaan lo. Tapi gua ngga akan jadian sama Luna, jujur gua ngga mau ngeliat lo nangis lagi Vi. Via yang gua kenal ngga pernah nangis di depan kita apalagi di depan orang.” lanjut Raka.
“Maafin gue, maafin keegoisan gue.” ujar Via.
“Ini keputusan gua sama Luna kok Vi bukan gara-gara lo.” ujar Raka.
“Iya Vi, aku juga ngaku kalau aku punya rasa sama Raka tapi rasa aku ke Raka ngga sebesar rasa aku ke kalian. Jadi aku dan Raka milih buat lebih mentingin persahabatan kita.” ujar Luna sembari memeluk Via.
“Maafin gue Lun.” ujar Via.
“Jadi ngga usah pura-pura jadian ya, hapus juga air mata lo. Awas aja kalau keliatan nangis lagi.” ujar Raka sembari meletakkan tangannya di kepala Via dan menatap mata Via. Via hanya menganggukkan kepala lalu mengusap air matanya.
“Mmmm, teman-teman by the way kita ada di kelas nih dan sepertinya jadi tontonan.” ujar Gian sembari melihat sekeliling diikuti Via, Luna dan Raka. Ada yang ikut terharu, ada yang bingung, ada yang tidak peduli, dan ada yang ngabadikan gambar (?).
“Oke, ceritanya bersambung. Silahkan kembali ke pekerjaan kalian masing-masing.” ujar Gian agak berteriak. Karena sadar menjadi pusat perhatian, Gian, Via, Luna dan Raka kembali ke bangku mereka masing-masing dengan perasaan malu.
“Lu ngga ngingetin dari awal kita lagi di kelas” bisik Raka.
“Helloo tokoh utama yang diperebutkan, matanya dipake makanya” ketus Gian.
“Sirik aja lu”
“Iyalah, gua kapan diperebutin? Padahal biasanya cewe lebih suka sama cowo yang suka olahraga, tapi kenapa malah lo?” ujar Gian dengan memasang ekspresi miris(?).
“Sabar ya” ujar Raka menepuk pundak Gian.
“Kok gua benci ya kalau lu udah songong”
Raka hanya menaikan bahunya.
“Tch” ketus Gian.
.
.
.
TAMAT