• Home
  • Fanfictions
    • Naruto
    • Sword Art Online
  • Short Stories
    • Teens
    • Romance
    • Comedy
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Ru'fatiani Blog



BRUKK!
   Terdengar suara motor yang terjatuh ke aspal. Ternyata ada sebuah kecelakaan motor yang menabrak seorang pejalan kaki. Korban terluka cukup parah dibagian kaki, karena tabrakan terjadi cukup keras, sedangkan pengendara terluka dibagian tangan dan kaki namun tidak terlalu parah. Para pejalan kaki dan pedagan yang ada dipinggir lokasi kejadian dengan segera membopong korban dan pengendara ke pinggir jalan, dan seorang membawa motor yang tergeletak ke pinggir jalan.
“Ah!” gerutu pengemudi pelan.
“Kau tidak apa-apa?” ujar pengemudi yang ternyata seorang remaja SMA kepada korban. Sebelum korban menjawab pertanyaan dari pengemudi, dia melihat darah yang cukup banyak di kaki korban. “Ah, aku benar-benar minta maaf. Aku akan membawamu ke rumah sakit.” lanjut gadis itu.
“E..erin?” ujar korban sambal menahan rasa sakit.
“Kau tau namaku?” ujar Erin bingung. Erin melihat seragam yang dipakai korban, ternyata merupakan seragam yang sama yang berarti mereka satu sekolah.
“Tentu saja, kita satu kelas.” jawab sang korban.
   Erin masih kebingungan dan tidak mengenali siapa korban yang iya tabrak. “Pokoknya ayo kita ke rumah sakit dulu, aku tidak mau bertanggung jawab lebih berat hanya karena aku telat bertindak.”
Erin dan sang korban pun menuju rumah sakit, dan korban langsung diberi perawatan. Kaki kanan korban ternyata memang terluka cukup parah, ada bagian yang retak sehingga perlu di gips dan korban terpaksa berjalan menggunakan tongkat untuk sementara.
“Kau masih tidak mengingatku?”
Erin tidak menjawab dan hanya memberikan ekspresi bingung.
“Aku ketua kelas dan kau tidak mengenalku?”
“Oh, Zean?” tanya Erin.
“Kau hanya tau namaku?”
“Maaf, aku tidak mengingat muka semua orang di kelas bahkan nama mereka. Namamu pun aku tau karena tugas harus selalu dikumpul melalui ketua kelas.”
“Kenapa kau tidak pernah berbaur dengan teman yang lain?”
“Bukan urusanmu”
“Baiklah, karena kau yang menabrakku kau harus membantu pekerjaanku sebagai ketua kelas hingga kakiku benar-benar pulih”
“Hah?!”
 “Atau aku akan melaporkanmu ke guru BK kalau kau ngebut di jalan?” Zean tertawa kecil.
“Cih, iya iya”
   Keesokan harinya, akhirnya Erin menyadari kalau ternyata Zean teman sekelasnya dan duduk tepat di depan bangkunya. Sesuai perjanjian yang mereka buat di rumah sakit, Erin benar-benar membantu tugas Zean sebagai ketua kelas.
Satu minggu pun berlalu. Erin masih melakukan pekerjaannya untuk membantu Zean karena memang kakinya belum pulih. Walaupun setiap melakukan pekerjaan itu mereka berdua hanya saling diam, namun terkadang Zean mengerjai Erin yang diakhiri dengan senyum kecil di wajah Erin.
“Kenapa kau tidak mencoba berteman?” tanya Zean.
“Percuma, cepat atau lambat mereka akan menghilang” jawab Erin lalu pergi.
“Tunggu!” Zean berusaha mengejar Erin. “Maksudmu?”
“Mempunyai teman hanya akan membuatmu bergantung pada mereka.”
“Kan justru itu gunanya teman, sebagai orang yang selalu ada.”
“Lalu, apa yang kamu lakukan ketika mereka menghilang?”
“Menghilang?”
“Yap, menghilang. Ketika kau sudah benar-benar bergantung padanya lalu tiba-tiba dia menghilang.”
Zean hanya terdiam sejenak. “Aku tidak akan menghilang.” tegas Zean.
   Erin tidak merespon dan pergi dengan berjalan lebih cepat agar tidak dapat dikejar oleh Zean.
Hari demi hari pun berlalu, hingga akhirnya Zean sembuh dan bisa berjalan normal kembali. Karena Zean sudah sembuh, kewajiban Erin pun sudah terlunasi. Erin menjalani sekolahnya seperti biasa dan sudah tidak bersama Zean lagi. Namun ketika waktu istirahat, Zean menghampiri Erin yang selalu pergi ke taman belakang sekolah pada waktu istirahat.
“Hai, jadi aku bisa menjadi temanmu?” ujar Zean sembari melangkah untuk duduk di samping Erin.
“Urus saja hidupmu sendiri!” ketus Erin.
“Aku janji aku ngga akan menghilang, aku ngga akan seperti orang yang ada di masa lalumu.”
   Erin terdiam, tiba-tiba bayangan tentang masa lalunya datang membuat Erin melamun sesaat dan mengeluarkan sedikit air mata. Ketika sadar, Erin pun menarik nafas dan mengusap matanya. “Aku ke kelas.” ujarnya sembari berjalan cepar menuju kelas.
Zean POV: “Dia menangis.”
   Zean pun menyusul ke kelas, namun tidak mengejar Erin karena Zean berpikir kalau Erin butuh waktu. Sesampai di kelas, Zean masih membayangkan ekspresi Erin ketika air matanya keluar. Seolah Erin dapat membaca apa yang dipikirnya Zean, Erin berkata “Lupakan apa yang kau lihat tadi.” ketika Zean menatapnya. Zean hanya mengangguk pelan.
    Sepulang sekolah, Zean mendekati Erin lagi dan berkata “ Ayo berteman, aku janji aku ngga akan mengecewakan kamu”.
“Kenapa kamu pengen banget?”
“Aku pernah ada di posisi kamu, aku pernah ngerasain hal yang sama, jadi aku ngga mungkin ngelakuin apa yang mungkin dia lakuin.”
“Terserahlah”
“Yes!” Zean tersenyum kemenangan(?).
    Keesokkan harinya, karena Zean sudah merasa sebagai teman Erin, dia mulai berada disekeliling Erin. Ada Erin pasti ada Zean, begitu pula sebaliknya. Zean pula mengajak Erin untuk kumpul bersama teman-temannya, namun tidak memaksa Erin untuk menganggap mereka sebagai temannya juga.
“Sekarang sering bareng Erin ya?” canda temannya.
“Lah kan temen kita juga.”
“Temen apa demen? Hahaha” ejek temannya.
“Temenlah, buat saat ini.” jawab Zean sembari melihat kea rah Erin yang berada di bangkunya.
“Cieee ada yang kasmaran.”
“Loh, siapa yang tau masa depan kan? Lagian Erin cantik, baik, pinter cowo mana yang ngga suka sama dia kalau bukan gara-gara dia yang menutup diri.”
    Semakin lama Zean semakin dekat dengan Erin, mulai dari Zean yang sering bercerita hingga akhirnya Erin yang mulai bercerita. Ada waktu yang membuat Zean sangat merasa benar-benar dianggap sebagai teman, yaitu untuk pertama kalinya setelah satu bulan deklarasi(?) pertemanan mereka akhirnya Erin meminta tolong padanya. Walaupun bisa dibilang itu memang sudah tugas ketua kelas untuk memberi kabar ke guru kalau ada siswa yang absen. Tapi, biasanya Erin tidak memberitahunya biasanya ia akan memberitahu alasannya ketika ia masuk atau bahkan hanya akan menitip surat susulan tanpa memberitahu alsannya. Namun, hari ini ia memberitahu Zean melalui pesan singkat di malam sebelum ia akan absen.

Hai, Zean. Aku besok izin ngga masuk, ada acara keluarga. Nanti suratnya menyusul. Makasih :)

Begitu pesan singkat dari Erin, yang ntah kenapa sepertinya kemunculan emot senyum juga mempengaruhi tingkat kebahagiaan Zean.
    Hari terus berlalu, Zean dan Erin semakin dekat semakin terlihat sebagai seorang ‘teman’. Sifat Erin yang sebenarnya pun mulai keluar. Ternyata Erin punya sifat manja yang membuat Zean mengerti kenapa Erin bilang ‘bergantung’ waktu itu. Namun Zean tidak terlalu keberatan dengan sifat Erin, karena Erin pun tidak keberatan dengan sifat buruk Zean yang moody-an. Mereka mulai sering main keluar bersama, ntah hanya untuk makan atau sekedar jalan-jalan. Kadang juga ada teman-teman Zean yang ikut bersama mereka.
RINGGG! RINGGGG! RINGGGG!
Handphone Zean bordering, dan ternyata telpon dari Erin.
“Hallo? Zean?”
“Hhmm? Erin?” suara Zean yang masih malas karena terbangun oleh suara telpon.
“Maukah kau menemaniku ke toko buku hari ini?”
“Hah? Sekarang? Aaah, aku lelah kemarin main futsal. Bisakan ajak temanmu yang lain?”
“Temanku? Yang lain? Hhmmm, baiklah. Maaf mengganggu.”
Beberapa menit hingga Zean sadar. “Tunggu, aku ngomong apa barusan? Ah sh*it.”. Akhirnya Zean mengirim pesan singkat pada Erin.
Zean    : Jam berapa?
Erin tersenyum ketika membaca pesan dari Zean. Lalu membalas:
Erin    : Jam 10?
Zean    : Oke, nanti aku jemput.
Erin    : Ngga usah maksain ya~
Zean    : Ngga kok, pengen keluar juga. Maaf tadi baru bangun tidur, hehe

Erin POV: “Kadang aku takut, kalau aku membebani temanku. Aku tidak benar-benar tau kapan mereka benar-benar ingin dan kapan mereka terpaksa untuk ingin. Aku harap kamu tidak menyesal dan menepati janjimu Zean”
   Puku 9.30 pun tiba, Zean berangkat dari rumahnya untuk menuju rumah Erin. Seperti biasa, Erin sudah menunggunya di luar rumah.
“Kenapa kau tidak pernah membiarkanku masuk ke rumahmu terlebih dulu?”
“Harus?”
“Haruslah, aku harus minta ijin sama orang tua kamu buat bawa kamu keluar.”
“Alay”
“Hah?!”
Erin tertawa kecil, “Aku udah minta ijin, mereka tau aku pergi sama kamu dan mereka ngijini, beres.”
“Tetep aja beda kalau aku yang minta ijin langsung, mereka lebih tau bisa percaya atau ngganya”
“Udah cepet ayo, cape abis futsal kan? Pengen cepet pulang kan? Yaudah cepet berangkat”
“Iya iya”
Mereka berdua pun pergi ke toko buku. Erin mulai mencari buku-buku yang ia perlukan, karena Zean memang hanya berniat menemani jadi dia hanya mengikuti Erin.
“Zean?”
“Ya?”
“Aku ngga mau pulang.” ujar Erin dengan mata yang mulai berlinang air.
“Hah? Kenapa?” Zean melangkah ke depan dan melihat wajah Erin.
Zean POV: “Dia menangis lagi”
“Baiklah, kalau kamu emang ngga mau pulang. Kita main” lanjut Zean sembari tersenyum.
“Aku egois ya?” ujar Erin. “Mungkin itu alesan lain kenapa dulu temen-temen aku ninggalin aku. Aku tau kamu cape, aku tau kemarin kamu main futsal semalaman tapi aku tetep ngajak kamu buat nemenin aku. Ini yang aku takutin ketika aku mulai bergantung sama seseorang.”
“Ssssttt. Aku ngga apa-apa Erin, aku ngga apa-apa. Aku seneng bisa jadi orang yang selalu ada buat kamu.” jawab Zean tersenyum sembari memegang kedua bahu Erin.
DEGG!
“Jangan mikir kayak gitu, udah sifat manusia kok kalau egois. Yaa aku juga seringkan minta tolong ke kamu tanpa mikirin kamunya terpaksa atau ngga.” lanjut Zean.
“Aku ngga kebaratan kok”
“Nah, aku juga sama. Aku ngga keberatan buat bantu kamu Erin” sekali lagi Zean tersenyum.
DEGG!
“Kalau kamu ngga mau pulang, ayo kita ke tempat makan. Udah waktunya makan siang juga, dan aku lapar. Haha”
Erin tersenyum lalu mengangguk.
   Akhirnya mereka pun pergi ke tempat makan, di situ Erin mulai cerita tentang keluarganya bahwa keluarganya bukan keluarga yan harmonis. Mulai memberitahu alasan kenapa dia ngebut waktu itu, yaitu karena dia muak dengan kondisi keluarganya. Karena waktu itu Erin dia punya teman, tidak ada tempat cerita untuk meluapkan apa yang dia rasakan jadi dia melampiaskannya dengan ngebut di jalan. Waktu itu Erin tau resiko terburuknya tapi dia tetap melakukannya. Sekarang semenjak ada Zean, Erin mulai mengganti cara melampiaskan kekesalannya yaitu dengan pergi keluar dengan Zean atau bersama teman-temannya Zean juga. Selain gara-gara itu, Erin berhenti juga gara-gara Zean melarang dan bahkan Zean melarang Erin untuk sering berkendara. Zean menawarkan akan mengantar Erin kemana pun, jika Erin ingin keluar. Dari situ, Erin jadi selalu minta Zean untuk mengantarnya.
“Zean?”
“Ya?”
“Aku ngga mau ngerasa kehilangan lagi, kamu bakal nepatin janji kamu kan?”
“Iya, aku janji. Kamu boleh bergantung sama aku, aku janji selama aku bisa aku bakal selau ada buat kamu.”
DEGGG!
    Setelah cerita panjang, akhirnya Erin mau untuk diajak pulang. Zean pun mengantar Erin hingga rumahnya. Akhirnya Zean tau alasan kenapa Erin tidak pernah mengajaknya masuk. Setelah mengantar Erin hingga rumahnya, Zean langsung pulang menuju rumahnya.
“Ma, tadi jantung Erin berdetak kencang lagi.”
“Ketika kamu sedang bersama orang yang namanya Zean?”
“Mmm, iya.”
Ibu Erin tertawa kecil. “Kamu suka sama Zean?”
“Eh?! Ngga mungkinlah, Zean sama Erin cuma temenan”
“Semua juga berlawal dari Cuma temenan” goda ibu Erin.
“Ah tau ah, Erin ke kamar dulu.” Ujar Erin dengan wajah memerah.
Di kamar Erin.
“Aku? Suka sama Zean?”
    Keesokkan harinya, Erin sekolah seperti biasa dan dijemput Zean seperti biasa. Hanya saja karena ucapan ibu Erin semalam, Erin jadi sering memikirkan hal itu. Sesekali mempertanyakan sembari melihat ke arah Zean, dan ketika Zean balik melihatnya Erin langsung memalingkan wajahnya.
    Tampaknya sikap aneh Erin disadari oleh Zean, sehingga membuatnya bertanya “Kamu kenapa?”.
“Hah? Ngga-ngga apa-apa”.
DEGG! DEGG! DEGG!
 “Tunggu, kenapa jadi makin sering?” ujar Erin dalam hati.
“Hey, aku bukan orang yang baru kenal kamu. Aku tau kalau ada perubahan disifat kamu.”
“Aaaaa, udah stop. Aku ngga apa-apa, udah jangan liat aku.”
“Oke oke” Zean pun mengalah dan memalingkan wajahnya.
“Masa sih aku suka Zean?” tanya Erin dalam hati.
“Dia baik sih, nerima sifat aku, selalu ada juga. Ah mungkin ini cuma perasaan sesaat.” lanjut Erin.
    Ketika waktu istirahat tiba, seperti biasa Erin dan Zean istirahat bersama. Kali ini teman-teman Zean tidak ikut karena mereka ada kegiatan lain.
“Zean?”
“Ya?”
“Gimana rasanya suka sama seseorang?”
“Hah? Tunggu, jangan-jangan…..” goda Zean.
“Apa sih, aku cuma nanya.”
“Suka sama seseorang ya? Lawan jenis?”
“Iyalah!”
“Hahaha. Mmm.. Mungkin ketika kamu senang bersamanya, kamu senang melihat dia tertawa, pokoknya semua hal tentang dia membuat kamu senang.”
“Apa kadang jantung berdegup lebih kencang?”
“Yap, ketika kamu sedang bersamanya mungkin itu akan terjadi.”
“Hhmm, jadi aku bener-bener suka Zean?” tanya Erin dalam hati.
“Aku mau bertanya lagi…”
“Tungguu, aku dulu ingin bertanya. Jadi siapa pria beruntung yang bisa ngebuat seorang Erin suka? Haha” goda Zean.
“Kepo.”
“Kamu pernah suka sama seseorang?” lanjut Erin.
“Pernahlah, aku normal. Bahkan, aku benar-benar sangat menyukainya. Mungkin aku punya rasa takut kehilangan yang sama dalam hal ini.” ujar Zean tersenyum.
DEGG!
“Tunggu, kamu kenapa Erin. Perasaan apa ini, kenapa aku berharap kalau gadis yang Zean maksud itu aku?” ujar Erin dalam hati.
“Si..” pertanyaan Erin terpotong.
“Dia teman di masa kecilku. Sudah lama, tapi aku masih menyukainya hingga sekarang.” lanjut Zean sembari tersenyum.
Kali ini berbeda, senyum yang diberikan Zean justru membuat hati Erin merasa sakit.
“Ciieee, ungkapinlah” ujar Erin menahan rasa sakit.
“Udah pernah, dan sempat jadian tapi lima bulan kemudian putus. Mungkin gara-gara aku belum bisa ngambil keputusan dengan kepala dingin waktu itu. Tapi masing sering kontekan kok.”
“Bagus kalau gitu” ujar Erin ‘tersenyum’.
“Jadi, siapa cowo yang berhasil ngebuat kamu suka sama dia? Perlu aku bantu?” goda Zean.
“Ngga, ngga usah. Mungkin yang aku rasain juga cuma sesaat. Lagi pula, dia suka sama cewe lain.” ujar Erin tersenyum lalu pergi.
“Hah? Tau darimana?” Zean mengejar Erin.
“Dia ngomong sendiri.”
“Tunggu, kok aku ngga tau ada yang deket sama kamu juga selain aku. Ah atau jangan-jangan salah satu dari temen-temen aku?”
“Udahlah, ngga usah dibahas. Aku pengen lupain juga.”
“Eh? Kenapa? Kalau bener salah satu dari mereka, aku bantu.”
“Ngga Zean, stop! Dia udah suka sama orang laen, kamu percaya pepatah yang bilang kalau cinta itu ngga bisa dipaksa?”
Zean terdiam, “tapi..”
“Udah, ngga apa-apa. Toh aku masih punya temen kan?” ujar Erin tersenyum.
“Tentu, kamu masih punya aku.”
Erin POV: “Senang tentang semua hal tentang dia, yap mungkin aku juga harus senang dan siap ketika dia jadi miliki orang lain. Asal kamu tetep jadi temen aku dan kamu bahagia, ngga apa-apa Zean ngga apa-apa, biar aku yang mengurus perasaan aku.”
   Keesokkan harinya, Zean ngga masuk. Zean bilang ke Erin kalau dia ada urusan keluarga. Tapi, bahkan lusanya Zean ngga masuk lagi. Zean pun tetap memberi kabar ke Erin kalau dia masih ada urusan keluarga. Esok setelah lusa, Zean masih absen dengan alasan yang sama.
Setelah satu minggu berlalu, Zean tidak memberi kabar kepada Erin sehingga membuat Erin senang karena berpikir kalau Zean akan masuk hari ini. Namun ternyata Zean masih absen.
“Erin? Masa kamu ngga tau sih Zean kenapa? Kamu kan selalu bersama dia?” ketus Putri.
“Hey Put, kamu cemburu sama Erin biasa aja dong.” bela salah satu temannya Zean.
“Jangan dimasukin ke hati ya Rin” ujar salah satu temannya Zean.
“Rin, kalau misal Zean ngga ada ingetnya kamu masih punya kita.” ujar salah temannya Zean yang lain.
“Ssstt, ngomong apa sih? Maksud dia kalau Zean ngga masuk kayak gini.”
Erin hanya mengangguk pelan sembari cemas karena baru pertama kali Zean tidak memberinya kabar.
    Tiga hari berlalu, Zean masih tidak memberikan kabar. Hal tersebut membuat Erin cemas.
“Zean, kamu kemana? Kamu janji ngga akan pergi kan?” keluh Erin dalam hati.
“Rik, kasih tau aja, aku ngga tega liat Erin. Biarin dia tau, dan ngejenguk Zean.” bisik salah satu temannya.
“Kita udah janji sama Zean ngga akan ngasih tau ini ke Erin, lagian Zean janji bakal sembuh kok.”
“Kamu denger sendiri kan pas dokternya ngomong? Kemungkinannya kecil, biarin ajalah Erin liat Zean, gimana kalau ternyata itu buat yang terakhir?”
    Teman-teman Zean pun akhirnya memutuskan untuk memberitahu Erin kalau ternyata Zean sakit. Zean punya kanker yang udah lama dia derita, tiap dia beralasan ijin, sebenarnya dia pergi ke rumah sakit. Hanya saja akhir-akhirnya semakin parah, hingga membuat Zean harus dirawat inap. Setelah tau semuanya, Erin menangis dan langsung pergi ke tempat Zean di rawat.
    Sesampai di rumah sakit, Erin langsung menuju kamar Zean. Erin melihat Zean yang terbaring lemas di ranjang.
“Erin?” ujar Zean.
Erin berjalan perlahan menuju Zean sembari menangis. “Kenapa kamu ngga bilang? Kenapa kamu ngga bilang kalau kamu sakit?”
“Ah, pasti dari merka.” ketus Zean.
“Jangan salahin mereka, kalau bukan gara-gara mereka aku baka jadi teman terbodoh yang bahkan ngga tau kalau temannya sakit”
“Maaf Erin.”
“Kamu bakal sembuh kan Zean?”
Zean hanya terdiam.
“Ayo Zean jawab, jawab kayak Zean yang biasanya, ini bukan kamu, Zean yang aku kenal ngga pernah putus asa.” ujar Erin dalam hati.
“Harus! Aku bakal dateng ke sini tiap hari. Kamu harus sembuh, kamu punya janji loh sama aku.” ujar Erin.
Zean hanya menjawab dengan senyuman.
   Hari demi hari berlalu, kondisi Zean tidak tentu kadang membaik kadang malah semakin buruk. Sampai hari itu tiba, ketika Erin datang ke kamar Zean dan Zean tidak ada di tempat tidurnya. Kamarnya rapih, seperti sudah tidak ada tanda-tanda ada orang yang menginap. Air mata Erin langsung mengalir, kakinya lemas.
“Zean?”
    Terdengar suara kursi roda.
“Hai, Erin”
    Mendengar suara itu tidak asing di telinganya, Erin langsung menoleh. Dan ternyata bernar itu Zean, tanpa sadar Erin langsung berlari dan memeluk Zean yang berada di kursi roda.
“Maaf, aku baru saja ingin memberitahumu kalau aku sudah boleh pulang karena kondisiku membaik”
“Ah syukurlah kau menepati janjimu.”
“Berkat kamu aku masih ingin ada di sini.”
“Yakin? Bukan berkat seseorang di masa lalu?”
“Haha ayolah, aku baru sadar kalau pria yang kau maksud itu aku. Maaf Erin, sepertinya aku juga masih harus belajar apa itu rasa suka yang sebernarnya. Karena aku lebih takut kehilangan kamu daripada kehilangan dia.”
“Huh, gombal. Lagi pula aku ngga terlalu pengen dibales, asal kamu tetep ada buat aku itu udah lebih dari cukup. Terimakasih udah ngebuat aku percaya kalau teman itu benar-benar ada.” ujar Erin tersenyum.
DEGG!

Tamat
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Follow Us

  • deviantart
  • instagram
  • twitter
  • wattpad

recent posts

Sponsor

Blog Archive

  • November 2017 (1)
  • June 2017 (1)
  • May 2017 (1)
  • November 2016 (1)
  • September 2016 (1)
  • August 2016 (3)
  • June 2015 (1)
  • November 2014 (1)
  • August 2014 (4)
  • May 2013 (3)
  • March 2013 (2)
  • January 2013 (1)
  • November 2012 (2)
  • September 2012 (1)
  • August 2012 (4)
  • November 2011 (1)

Pengunjung

I am in Google+

Unknown
View my complete profile

Followers

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates